Lembaga Anti Pemaksaan Beragama Mesir, mengecam keras tindakan pemerintahnya yang menyerahkan dua orang pemudi, asal dari etnis Qibthi yang masuk Islam di al-Fayyum beberapa waktu yang lalu kepada pihak gereja tanpa mempedulikan ketetapan konstitusi atas kemerdekaan beragama.

Lembaga tersebut di dalam keterangan persnya mengatakan, “Untuk kesekian kalinya negara beserta instansi dan aparatnya membuktikan bahwa mereka tidak menjalankan amanah konstitusi negara yang melindungi kemerdekaan dalam hal yang paling prinsipil, yaitu kemerdekaan berkeyakinan dan beragama. Negara beserta instansi dan aparatnya telah ikut mendukung penuh ekstremitas beragama yang dilakukan oleh segelintir kaum ekstrem Qibthi yang didukung penuh oleh kekuasan tertinggi lembaga kegerejaan.”

Keterangan pers tersebut menambahkan bahwa dengan sikap kerdilnya itu, negara telah mengumumkan kepada segenap warganya bahwa ia tidak lagi bertanggung jawab atas penerapan undang-undang atau pun penegakan konstitusi yang seharusnya memerintah dan mengarahkan roda pemerintahan serta mengatur hubungan antar warga dan instansi-instansi negara.

Lembaga tersebut juga menegaskan bahwa negara sekali lagi telah membuktikan bahwa dirinya sama sekali tidak berkepentingan dengan urusan perlindungan terhadap warganya atau membela hak-hak asasinya bahkan bisa terlibat dalam tindakan kekerasan dan ekstremitas bila hal itu menguntungkan sebagian oknum berkepentingan di dalamnya, sekali pun sudah jelas-jelas merupakan tindak kriminal yang diancam sanksi oleh undang-undang.

Keterangan itu mengisyaratkan bahwa dengan peran negara yang kerdil tersebut telah menunjukkan bahwa ia negara yang tanpa instansi, undang-undang dan rasa keadilan. Ia telah kehilangan alasan untuk menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah negara ketika dengan seluruh instansi dan aparatnya secara sengaja tidak berbuat apa-apa di hadapan histeria dua warganya yang tertindas, dalam menjalankan agama dan membawa lari keyakinan yang telah dipilih mereka dari tindakan kekerasan dan penindasan.

Keterangan itu juga mengkritik dengan pedas peran aparat keamanan yang telah menyerahkan Therreza Ibrahim dan Maryan ‘Ayyad kepada kaum ekstrem yang telah memburu mereka yang pada dasarnya telah kabur dari mereka dan juga dari negara yang kerdil, yang sudah kehilangan hak untuk menjadi sebuah negara. Akibatnya, kaum ekstrem tersebut dengan semena-mena mencukur habis rambut mereka dan mengirim mereka secara paksa ke salah satu biara guna menjalani hukum tahanan yang diberlakukan pihak gereja sebagai sanksi atas pemikiran mereka untuk melakukan hak yang sebenarnya telah dijamin konstitusi negara.

Selanjutnya, keterangan tersebut juga menegaskan bahwa kejadian ini merupakan tindak kriminal terhadap moral, undang-undang bahkan konstitusi. Permasalahannya bukan seperti yang digembar-gemborkan sebagian orang-orang dungu bahwa apa artinya masuknya orang Nashrani ke dalam Islam tetapi jauh lebih dalam dari itu, yaitu penodaan secara sengaja terhadap konstitusi dan undang-undang.

Keterangan tersebut menutup, “apa yang terjadi dan terus terulang setiap hari di Mesir merupakan warning buruk bagi negeri dan umat manusia. Dan bila sudah terjadi bencana besar dan nampaknya bukan mustahil di mana pada hari-hari ini seluruh lapisan masyarakat merasakan sesak nafas di seluruh pelosok Mesir, maka siapa pun tidak akan dapat memadamkan apinya. Dan ketika itulah kita akan menyesali tindakan gegabah kita semua karena telah menodai undang-undang dan konstitusi serta hilangnya peran negara di dalam menjalankan peran yang semestinya di mana sebaliknya ia telah memperkuat dan memperdalam peran negara gereja.” (istod/AH)