Seorang remaja putri yang enerjik dan lincah … dengan senyum senantiasa menyertai keseharaiannya, keceriaan selalu menghiasi wajahnya! Namun tiba-tiba saja ia jadi pemurung, pendiam dan sering melamun … Kedua matanya telah terpana oleh teman sejenis, sama-sama wanita. Ia rela berjalan sekedar untuk bertemu dengannya, bersusah payah lelah hanya karena ingin mendengarkan suara dan bicaranya. Jika wanita tersebut memakai suatu model pakaian iapun ikut-ikutan memakainya, meniru tingkah laku, gerak gerik dan gayanya … kecantikan dan keelokan wanita tersebut telah membiusnya sehingga hatinya telah tertambat pada sang idola. Ia telah terjatuh dalam sebuah lembah yang sebut denga istilah I’jab, yakni berlebihan dalam mengidolakan seseorang.

Fenomena I’jab ini banyak merebak dikalangan remaja terutama pelajar dan kalangan kampus, karena suasana dan lingkungan memang sangat mendukung untuk terjadinya kasus tersebut. Banyak diantara mereka yang tidak bisa lagi membedakan antara cinta karena Allah dan penyakit I’jab. Peran dan nasehat ulama dalam hal ini tentu sangat penting untuk mengatasi dan mengantisipasi persoalan ini sebab jika dibiarkan berlarut-larut dapat membahayakan keimanan dan kejiwaan orang yang tertimpa fitnah ini.

Berikut ini penjelasan dan fatwa ulama berkenaan dengan masalah I’jab:

  • Ada sebuah pertanyaan yang disampaikan kepada Syaikh Abdullah bin Jibrin berkenaan dengan masalah I’jab ini:

    Banyak kita temui di sekolah-sekolah adanya fenomena I’jab, yakni ketergantungan seorang siswi terhadap pengajarnya disebabkan kecantikan, kharisma dan keelokan yang dimilikinya (cinta yang bersifar keduniaan). Juga tak jarang terjadi seorang pelajar sangat mengagumi pelajar yang lain, sehingga setiap pembicaraan selalu berkisar tentangnya, menulis namanya dalam buku catatan dan agenda, membuat surat untuknya dan menyampaikan rasa kagum terhadap pribadinya, pokoknya dirinya telah menjadi kekasih dan idolanya yang selalu mengisi hari dan kesibukannya. Apa hukum cinta yang seperti ini, karena terkadang ada diantara mereka yang terjerumus dalam hubungan sejenis (lesbi/homo), na’udzu billah min dzalik?

    Yang mulia Syaikh menjawab: “Telah disebutkan dalam sebuah hadits shahih, nabi bersabda tentang tiga hal yang jika terdapat pada seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman (yaitu): Allah dan Rasulnya lebih ia cintai diatas segala-galanya, dan jika mencintai seseorang maka cintanya itu hanya semata-mata karena Allah, serta benci terhadap kekufuran sebagaimana bencinya jika dilemparkan ke neraka. Dari hadits ini maka jelas bahwa cinta yang dibolehkan atau bahkan diharus-kan adalah cinta karena Allah dan dalam rangka mencintai Allah, karena akan mendatangkan pengaruh positif seperti akan mengikuti perbuatan-perbuatan baik dari orang yang dicintainya, menurut jika dinasehati dan jika ternyata ia terjerumus dalam kesalahan maka sudah barang tentu kita akan mengingatkannya. Sedangkan cinta yang disebabkan karena pengaruh I’jab (kagum) terhadap kecantikan keelokan dan kedudukan maka akan mendatang-kan pengaruh negatif seperti ketergan-tungan hati terhadapnya, bercerita tentang sepak terjang dan aktivitasnya, meniru-niru cara berjalan, berbicara dan seluruh yang ada pada dirinya yang kesemuanya menunjukkan sikap fanatis-me dan ketergantungan terhadapnya. Cinta yang seperti ini adalah cinta syahwat (nafsu), emosi dan kecende-rungan jiwa yang dapat menjurus pada perbuatan dosa. Hal ini dapat terjadi antara seorang laki-laki terhadap wanita sehingga jatuh cinta dan tergila-gila, terus menyebut-nyebut namanya dan menuliskannya dalam syair sebagaima-na dalam kisah Laila Majnun, bisa juga terjadi antara laki-laki terhadap laki-laki lain, atau antara wanita terhadap laki-laki sebagaimana cinta butanya istri Al Aziz seorang pembesar di Mesir terhadap nabi Yusuf as. Adapun wanita terhadap wanita lain memang boleh dibilang jarang ada dalam catatan sejarah, namun itu bisa saja terjadi apalagi dizaman ini, … hubungan antara wanita dengan wanita atau yang lebih dikenal dengan istilah lesbi walau tidak separah liwath (homoseksual) namun tetap diharamkan, demikian pula sarana yang mengantarkan kearah itu berupa berlebihan dalam mencintai orang lain hanya sekedar karena kecantikan atau keelokannya. Hendaknya ia segera bertaubat dari semua itu dan menjadi-kan hati selalu tertambat kepada Rabb Allah Subhaanahu wa Ta’ala .

  • Syaikh shalih Al Fauzan ditanya sebagai berikut: “Apakah boleh mencintai seseorang bukan karena Allah, Mengingat bahwa saya sangat tertarik dengan guru (wanita) saya disekolah?(yang mengajukan pertanya-an adalah seorang pelajar putri)

    Jawaban yang beliau sampaikan sebagai berikut: “Jika guru saudari seorang mukminah maka cintailah ia karena Allah, jika bukan mukminah maka jangan mencintainya sebab tidak tidak diperbolehkan mencintai musuh Allah dari kalangan kaum kafir dan munafiq. Cinta dan kasih hanya diperuntukkan bagi sesama ahli iman (muslim), sebagaimana difirmankan Allah, artinya: Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.

    Dan dalam firman yang lain disebutkan: artinya:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin-(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al Maidah: 54)
    Makna menjadikan wali disini ialah mencintai mereka, menjadikan pemim-pin, saling membantu dan membela bersama-sama mereka dan memuji-muji mereka.

    Dalam sebuah ayat secara tegas Allah melarang menjadikan musuh-musuh Allah dan musuh orang mukmin sebagai wali: yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu. (Al Mumtahanah: 1)

    Maka wajib bagi setiap mukmin untuk berwala’ (memberikan loyalitas) dan mencintai sesama wali Allah yakni sesama mukmin dan memusuhi musuh-musuh Allah. Mencintai dan membenci karena Allah ini merupakan ikatan terkuat dalam iman serta merupakan landasan pokok agama dan aqidah. Cinta dan benci semacam ini merupakan tuntutan kalimat la ilaaha illallah dan jalan hidup Al Khalil kekasih Allah Nabi Ibrahim AlaihisSalam, seperti difirmankan oleh Allah, artinya: Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuh-an dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. (Al Mumtahanah)

    Seorang muslim wajib berlepas diri (bara’) dari kesyirikan, maka secara otomatis ia harus bara’ dari orang musyrik, kafir dan mulhidin para penyeleweng. Dan wajib baginya hanya mencintai ahlul iman dan ahlut tho’ah yang konsisten terhadap keimananya meskipun ia adalah orang yang jauh dari segi nasab dan tempat tinggalnya. Sebaliknya meskipun ia kerabat sendiri dan rumahnya berdekatan namun jika seorang kafir maka yang pantas untuknya adalah permusuhan. Demikianlah tuntunan al wala’ dan al bara’ dalam Islam.

  • Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.

    Pertanyaan: Ada kasus yang sering menimpa pelajar yakni adanya seorang siswi yang sangat mencintai dan mengagumi siswi lainnya semata-mata karena kecantikannya bukan karena agamanya, terkadang ada yang saling mengikat janji dan seakan-akan saling memiliki, duduk dan berbincang selalu berdua saling meniru tingkah laku dan gaya masing-masing bahkan ada yang sampai tidur berdua, menciuminya, menulis namanya atau huruf yang mengindikasikan namanya pada tas sekolah, pakaian seragam dan lebih dari itu ada yang sampai layaknya kehidupan berumah tangga antara suami istri yang masing-masing punya hak dan kewajiban walau tak sebanyak dan sebesar hubungan rumah tangga yang sesungguh-nya. Bagaimana pandangan syara’ dalam hal ini dan apa nasehat yang syaikh berikan jika seseorag tertimpa fitnah seperti ini?

    Jawab: Penyakit seperti ini sering disebut dengan istilah “al isyq” yakni semacam keterpesonaan yang berlebihan, dan ini hanya menimpa hati yang kosong dari mencintai Allah entah itu benar-benar kosong (blong, red) atau sebenarnya ada cinta kepada Allah namun porsinya sangat kecil. Orang yang terkena penyakit ini harus capat-cepat menjauhi sumber penyakit tersebut, jangan lagi duduk-duduk dan berbincang-bincang dengannya, apalagi asyik mencurahkan perasaan dan kasih sayang. Hal itu harus terus dilakukan hingga rasa ketergantungan itu benar-benar lenyap dari hati. Peran wali atau orang tua kedua belah pihak dalam hal sangatlah besar, sebisa mungkin mereka melarang putrinya untuk terus menjalin hubungan. Dengan terus menambatkan hati hanya kepada Allah dan bergantung kepadaNya, maka penyakit semacam ini tak akan lagi mampu menembus nurani karena telah terbenteng denga kokoh. Semoga Allah senantiasa menjaga dan melimpahkan keselamatan kepada kita semua.

    (Disarikan dari mathwiyat “al-i’jab ila aina “, Abdul Malik Al-Qasim).