Argumentasi Setiap Madzhab

Perbedaan pendapat di antara madzhab yang telah diikuti oleh kebanyakan kaum Muslimin dalam permasalahan ini, sebagaimana berikut;

  • Madzhab asy-Syafi’iyah;

    Diharamkan bagi orang yang junub berdiam diri di dalam masjid, baik dalam keadaan duduk, berdiri, atau dalam keadaan apapun, dan apakah dia telah berwudhu atau dalam keadan selain yang demikian. Dan diperbolehkan baginya melewati dengan tidak berdiam diri (mendiami), apakah dalam keadaan ada kepentingan atau tidak.

    Mereka berdalil dengan firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala,

    يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَقْرَبُوا الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَاتَقُولُونَ وَلاَجُنُبًا إِلاَّعَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا

    Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi” (Q.S an-Nisa’:43)

    Mereka juga beralasan dengan hadits Jasrah (Dinukil oleh al-Imam an-Nawawiy dalam Majmu’ 2/173).

  • Madzhab al-Hanabilah;

    Madzhab ini mencocoki madzhab asy-Syafi’iyah, hanya saja mereka membolehkan berlalu saja manakala ada kepentingan tertentu, seperti mengambil sesuatu, meninggalkan sesuatu, atau karena merupakan jalan. Adapun selain yang demikian maka tidaj boleh. (Lihat al-Mughni, Ibnu Qadamah, 1/200-201, tahqiq at-Turkiy dan al-Halwa)

    Mereka juga beralasan dengan ayat (Q.S an-Nisa’:43) dan hadits Hasrah dan hadits ‘Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkata kepadanya: “Siapkanlah al-Humrah (semacam sajadah) dari masjid. Lalu ‘Aisyah berkata: Saya sedang haid. Beliau bersabda: Sesungguhnya haid kamu tidak di tanganmu” (HR. Muslim dan at-Turmudzi, no. 134, dan Abu Dawud, no. 261, dan an-Nasa’i, no. 272, dan Ibnu Majah, no. 632)
    Mereka juga melarang bagi seorang wanita haid sekedar berlalu saja kalau dikhawatirkan akan mengotori masjid.

    Mereka mengatakan, apabila seorang junub telah berwudhu maka bagi dia boleh menetap di masjid (Lihat al-Mughni, Ibnu Qadamah, 1/135-137)

    Mereka beralasan dengan hadits Jaid bin Aslam dari para sahabat, bahwa mereka suatu ketika berhadats sedang mereka berada di dalam masjid tanpa berwudhu, dan ketika itu seorang laki-laki dalam keadaan junub kemudian bermudhu, dan masuk masjid dalam keadaan berhadast.

    Hal ini menunjukkan isyarat kesepakatan (ijma’) mereka dalam masalah ini, di mana yang demikian merupakan pengkhususan dari dalil yang bermakna umum. Dan disamping juga dengan berwudhu maka hukum hadast besar (junub) menjadi lebih ringan sebagaimana tayamum manakala tidak mendapati air berdasarkan perintah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang junub agar berwudhu apabila ingin tidur, dan dianjurkan apabila hendak makan dan mengulangi hubungan suami istri (jima’). Adapun wanita yang sedang haid maka tidak diperbolehkan berdiam diri di masjid, karena berwudhunya dalam kondisi demikian tidak sah (Lihat, al-Mughniy, Ibnu Qatamah, 1/135-137). Dan yang demikian adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih juga.

  • Madzhab al-Hanafiyah dan al-Malikiyah;

    Mereka berpendapat bahwa orang junub diharamkan menetap masjid atau hanya sekedar lewat dalam kondisi dan dalam bentuk apapun.

    Mereka beralasan dengan hadits Jasyrah dan hadits Abu Sa’id al-Khudriy, dan mereka berkomentar bahwa hadits yang diriwayatkan oleh keduanya adalah merupakan dalil al-Imam asy-Syafi’i perihal diperbolehkannya orang junub masuk masjid secara muthlaq walaupun hanya berjalan, (karena di dalamnya tidak isyarat yang membedakan antara berjalan/melewati dengan berdiam diri/menetap).

    Adapun Madzhab al-Hanafiyah membolehkan baginya melewati jika mengharuskanya lewat, dengan cara berwudhu atau tayamum lalu lewat, sebagaimana pendapat ini dinukil dari Sufyan al-Tsauri dan Ishaq bin Rahawaih juga. (Lihat, al-Muhallaa, 2/184-187 dan al-Mujmu’, 1/173)

  • Mazdhab adh-Dhahiriyah: Dawud dan Ibnu Hazm;

    Mereka berpendapat diperbolehkan bagi seorang yang junub, haid dan nifas berdiam diri di masjid secara muthlaq dan tidak terbatas pada syarat tertentu.

    Dan di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Mundzir dan al-Muzanniy sebagaimana yang dinukil dari Zaid bin Aslam (dinukil oleh an-Nawawiy dalam al-Majmu’, 2/173), mereka beralasan bahwa pada asalnya segala sesuatu tidak terlarang untuk dilakukan, dan bagi yang berpendapat haram tidak berdasarkan atas dalil yang shahih dan jelas, dan argumentasi yang lain bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang muslim tidak najis” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Dan manakala seorang wanita diperbolehkan berdiam diri di masjid, maka seorang yang sedang junub lebih-lebih lagi.(Lihat, al-Muhallaa, Ibnu Hazm, 2/184-185 dan al-Majmu’, 1/174).

    Begitu juga suatu ketika ahlu Shufa pada masa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bermalam di masjid, sementara di antara mereka ada yang bermimpi namun yang lain dari mereka tidak memberikan peringatan apapun, dan hadits ‘Aisyah mengkhabarkan bahwa bahwa walidah Sauda’ suatu saat adalah milik sekelompok masyarakat Arab, kemudian mereka memerdekakannya. Lalu beliau datang kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan masuk Islam sementara pada saat itu dia memiliki rumah kecil yang terbuat dari bulu-bulu hewan di dalam masjid.”