Ada dua kesalahpahaman tentang amal ibadah yang dilakukan di kuburan, baik berupa nadzar, thawaf, dan sebagainya.

  • Anggapan sementara orang yang kurang pengetahuannya yang menyatakan bahwa orang yang melakukan amalan-amalan di atas kuburan itu tidak dapat disebut musyrik. Mereka itu mempercayai adanya Allah sebagai Pencipa Alam, mereka juga mempercayai Syari’at Islam dan Hari Kiamat. Mereka itu hanya tawassul (berperantara) dengan orang-orang yang shaleh, mereka tidak mau disebut musyrikin, bahkan mereka menghindari kemusyrikan. Bagaimana mungkin mereka disebut orang-orang musyrik?

  • Kekafiran orang-orang musyrik itu adalah karena mereka mengingkari ketuhanan Allah, bukan karena membelokkan ibadah untuk selain Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhaanahu Wata’ala:

    قَالُوا وَمَا الرَّحْمَنُ

    “Mereka bertanya, apakah ar-Rahman itu?” (Al-Furqan: 60)

    Dan firman Allah Subhaanahu Wata’ala:

    وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَنِ

    “Padahal mereka itu kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.” (ar-Ra’d: 30)

Imam Ahmad bin Hajar Ali Buthami asy-Syafi’i menjawab kedua kesalahpahaman itu sebagai berikut:

  • Orang-orang yang melakukan ibadah untuk selain Allah itu tetap disebut musyrik meskipun mereka menjalankan Syariat Islam. Hal itu karena kekafiran dan kemusyrikan itu bercabang-cabang dan bermacam-macam. Sebagaimana juga iman bercabang-cabang. Apabila ada orang yang menjalankan cabang-cabang iman, tetapi ia juga menjalankan sedikit cabang kemusyrikan, maka ia disebut musyrik. Misalnya, ada orang yang menjalankan ibadah shalat, puasa, dan beriman kepada kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Hari Kiamat, dan hidupnya selalu zuhud, serta berakhlaq mulia, tetapi ia punya keyakinan bintang anu mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi orang. Atau dia punya keyakinan, bahwa di tanganyalah kekuasaan mendatangkan keberuntungan atau kecelakaan. Atau dia punya keyakinan tantang malaikat atau rasul, di mana hal itu tidak boleh diimani kecuali kepada Allah saja. Maka orang tersebut disebut musyrik, meskipun ia beramal shaleh. Bila tidak demikian, maka apa artinya ada kitab ar-Riddah (murtad)? Seseorang bisa disebut kafir atau musyrik meskipun tidak menjalankan semua macam dan jenis perbuatan kekafiran.

    Tentang mereka melakukan tawassul karena mereka beranggapan bahwa mereka itu banyak dosanya, sementara para wali itu lebih dekat kepada Allah, sehingga mereka menjadikan para wali itu sebagai perantara antara mereka dengan Allah, maka kemusyrikan seperti inilah yang justru dilakukan orang-orang musyrik Arab pada masa jahiliyah. Sementara bahwa mereka itu mengucapkan dua kalimat syahadat, maka dengan sendirinya ucapan shahadat itu batal atau gugur oleh perbuatan mereka yang bertentangan dengan maksud dua kalimat shahadat itu sendiri, sebagaimana halnya hadats sesudah wudhu’. Pengakuan mereka tentang adanya Tuhan Pencipta Alam tidak ada artinya apa-apa, sebab orang-orang musyrikin juga mengaku adanya Tuhan, tetapi mereka tidak disebut muslim.

    Adapun pendapat yang mengatakan bahwa orang-orang musyrik Arab mengingkari kebangkitan dari alam kubur, maka hal itu dapat dijawab, bahwa keyakinan mereka yang disebut di atas, adalah termasuk faktor-faktor yang menyebabkan seseorang dapat menjadi kafir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengkafirkan mereka, bahkan membolehkan untuk memerangi mereka, karena faktor-faktor yang banyak jumlahnya. Dan yang terbesar dari faktor-faktor ini adalah mereka menyembah berhala. Faktor lainnya adalah, mereka mengingkari kebangkitan dari kubur (al-ba’ts).

    Iman seseorang itu tidak akan diterima oleh Allah, apabila hanya separuh-separuh saja; separuh iman, separuh kafir. Ia wajib tunduk seraya meyakini terhadap apa yang disebutkan oleh Al-Qur’an dan dibawa oleh Rasulullah, serta mengamalkannya. Orang yang beriman dengan sebagian ajaran al-Qur’an dan tidak beriman kepada sebagian yang lain, maka dia termasuk kafir. Allah berfirman tentang orang-orang seperti itu :

    وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا

    “Orang-orang kafir itu mengatakan:”Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir)” (An-Nisa :150)

    Sekadar mengucapkan dua kalimat shahadat saja tidak akan ada gunanya bagi mereka, sampai mereka mau mengamalkan isi maksud dari dua kalimat syahadat, yaitu melepaskan diri dari menyembah selain Allah dan hanya beribadah (menyembah) kepada Allah saja.

    Tetapi seseorang tertentu, atau kelompok tertentu, yang dirinya tercemar dengan melakukan perbuatan-perbuatan seperti di atas yang bertentangan dengan makna tauhid, apakah bisa disebut musyrik atau kafir? Padahal dia itu beriman kepada Allah, para Rasul, dan juga menjalankan syari’at Islam?.

    Jawabannya adalah, bahwa perbuatan itu dapat disebut syirik dan kufur. Misalnya sujud kepada para wali, thawaf di kuburannya, dan bernadzar untuk wali. Tetapi tentang person-nya, orang tertentu atau kelompok tertentu, kita tidak boleh terburu-buru menuding langsung bahwa dia itu kafir. Kita wajib menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan tentang kufur dan syirik kepada orang tersebut. Kita sampaikan juga ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang perbuatan tersebut, dan yang menerangkan bahwa orang yang melakukan perbuatan tersebut tidak akan masuk surga, dan bahwa perbuatan itu termasuk syirik.

    Apabila orang tadi, atau kelompok tadi tetap melakukan perbuatan itu, bahkan dia membangkang dan tidak mau menerima keterangan yang kita sampaikan kepadanya, maka pada saat itu kita boleh menyebut orang tersebut sebagai musyrik. Tetapi seseorang hendaknya dapat membedakan antara syirik kecil dan syirik besar. Riya’ misalnya adalah syirik kecil, sedangkan sujud dan nadzar kepada selain Allah adalah syirik besar.

    Apabila ada orang yang meyatakan bahwa pendapat anda itu akan mambawa konsekuensi, bahwa mayoritas umat Islam dapat dicap sebagai kafir, sebab mereka itu melakukan apa yang disebut sebagai syirik, seperti nadzar untuk para wali dan menyembelih binatang untuk mereka, maka hal ini dapat dijawab sebagai berikut:

    Pertama, berbicara tentang masalah umum itu berbeda dengan berbicara tentang masalah khusus. Kedua, ketidaktahuan dan sedikit pengetahuan tentang tauhid, sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam, serta hal-hal yang berkaitan dengan kemusyrikan termasuk macam-macamnya dan perbuatan-perbuatan yang dapat menyebabkan kemusyrikan, di mana hal itu banyak mendominasi berbagai tempat dan negara, hal inilah yang menjadi faktor untuk tidak segera memvonis bahwa mereka itu musyrik, kecuali apabila di antara mereka itu sudah memperoleh penjelasan dan dalil-dalil agama yang berkaitan dengan kemusyrikan, kemudian mereka tetap tidak mau menerima dalil-dalil itu, barulah pada saat itu mereka dapat disebut musyrik. [1]

  • Jawaban untuk kesalahpahaman yang ke dua adalah, bahwa ayat yang pertama itu (al-Furqan: 60) adalah sebuah pertanyaan tentang apa ar-Rahman. Sedangkan orang yang bertanya tentang sesuatu tidak berarti dia itu mengingkari hal tersebut. Hal itu sekiranya kita berpendapat bahwa pertanyaan itu termasuk katagori pertanyaan bantahan, karena keterkejutan akan hal yang belum dikenal (istifham inkari), maka yang dibantah sebenarnya hanyalah penamaan ar-Rahman itu saja. Seperti yang diterangkan dalam masalah Perjanjian Hudaibiyah.

    Sedangkan ayat kedua (ar-Ra’d : 30), maksudnya adalah mereka kafir terhadap ar-Rahman, dan kafir terhadap sesuatu itu bukan berarti mengingkarinya. Seperti ada orang yang melakukan perbuatan kekafiran, anda kemudian mengatakan, “Orang itu telah kafir”. Hal itu menunjukkan bahwa orang itu mengingkari Tuhan, karena ia menentang terhadap ayat-ayat yang memberitahukan, bahwa mereka itu mengaku Tuhan. [2]

Dari keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan, betapa para ulama dari madzhad Syafi’i itu sebenarnya telah berupaya untuk mengingatkan secara maksimal tentang bahaya kemusyrikan di dunia dan akhirat. Akhirnya, Allah-lah tempat kita mohon pertolongan, dan kepada-Nya kita menyerahkan segala urusan.

Catatan Kaki :

[1] al-‘Aqa’id as-Salafiyah bi Adillatiha an-Naqliyyah wa al-‘Aqliyyah, hal. 37,40

[2] Ibid, hal. 44