A. Pendapat Para Imam Abu Hanifah tentang Masalah Tauhid.

Pertama :

Aqidah beliau tentang tauhid (pengesaan Allah) dan tentang tawassul syar’i serta kebatilan tawassul bid’i.

  • Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak pantas bagi seseorang untuk berdo’a kepada Allah kecuali dengan asma’ Allah. Adapun do’a yang diizinkan dan diperintahkan adalah keterangan yang terambil dari firman Allah :

    وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

    “Bagi Allah ada nama-nama yang bagus (al-asma’ul-husna), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang yang ilhad (tidak percaya) kepada asma Allah. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (al-A’raf:180) [1]

  • Imam Abu Hanifah berkata: “Makruh hukumnya seseorang berdo’a dengan mengatakan; saya mohon kepadamu berdasarkan hak si fulan, atau berdasarkan hak para Nabi-Mu, atau berdasarkan hak al-Bait al-Haram dan al-Masy’ar al-Haram. [2]

  • Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak pantas seseorang berdo’a kepada Allah kecuali dengan menyebut asma’ Allah. Dan saya tidak suka bila ada orang berdo’a seraya menyebutkan ‘dengan sifat-sifat kemuliaan pada ‘arsy-Mu’ [3], atau dengan menyebutkan ‘dengan hak makhluq-Mu’. [4]

Kedua :

Pendapat Imam Abu Hanifah tantang penetapan sifat-sifat Allah dan bantahan terhadap golongan Jahmiyah.

  • Imam Abu Hanifah berkata: “Allah tidak disifati dengan sifat-sifat makhluk. Murka dan ridha Allah adalah dua dari sifat-sifat Allah yang tidak dapat diketahui keadaannya. Ini adalah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Allah murka dan ridha. Namun tidak dapat dikatakan, bahwa murka Allah itu adalah siksa-Nya dan ridha-Nya itu pahala-Nya.

    Kita menyifati Allah sebagaimana Allah menyifati diri-Nya sendiri. Allah adalah Esa, Dzat yang padanya-Nya para hamba memohon, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, dan tidak ada satu pun yang menyamai-Nya. Allah juga hidup, berkuasa, melihat, dan mengetahui.” Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka yang menyatakan janji setia kepada Rasul. Tangan Allah tidak seperti tangan makhluk-Nya. Wajah Allah tidak seperti wajah-wajah makhluknya.” [5]

  • Imam Abu Hanifah berkata: “Allah juga memiliki tangan, wajah, dan diri seperti disebutkan sendiri oleh Allah dalam Al-Qur’an. Maka apa yang disebutkan oleh Allah tentang wajah, tangan, dan diri menunjukkan bahwa Allah mempunyai sifat yang tidak boleh direka-reka bentuknya. Dan juga tidak boleh disebutkan bahwa tangan Allah itu artinya kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena hal itu berarti meniadakan sifat-sifat Allah, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar dan golongan Mu’tazilah.” [6]

  • Imam Abu Hanifah juga berkata: “Tidaklah pantas bagi seseorang untuk bebicara tentang Dzat Allah. Tetapi, hendaknya ia menyifati Allah dengan sifat-sifat yang disebutkan oleh Allah sendiri. Ia tidak boleh berbicara tentang Allah dengan pendapatnya sendiri. Maha Suci Allah Rabbul ‘Alamin. [7]

  • Ketika ditanya tentang turunnya Allah, Imam Abu Hanifah menjawab,“Allah itu turun tanpa cara-cara seperti halnya turunnya makhluk.” [8]

  • Beliau juga berkata: “Dalam berdo’a kepada Allah, kita memanjatkan do’a ke atas, bukan ke bawah, karena bawah tidak mengandung sifat Rububiyyah dan Uluhiyah sedikitpun. [9]

  • Beliau juga berkata: “Allah itu murka dan ridha. Namun tidak dapat disebutkan bahwa murka Allah itu siksa-Nya, dan ridha Allah itu pahala-Nya.” [10]

  • Beliau juga berkata: “Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya, dan makhluk-Nya juga tidak serupa dengan Allah. Allah itu tetap akan selalu memiliki nama-nama dan sifat-sifat-Nya. [11]

  • Beliau juga berkata: “Sifat-sifat Allah itu berbeda dengan sifat-sifat makhluk. Allah itu, mengetahui tetapi tidak seperti mengetahuinya makhluk. Allah itu mampu (berkuasa) tetapi tidak seperti mampunya (berkuasanya) makhluk. Allah itu melihat, tetapi tidak seperti melihatnya makhluk. Allah itu mendengar tetapi tidak seperti mendengarnya makhluk. Dan Allah itu berbicara tetapi tidak seperti berbicaranya makhluk.” [12]

  • Beliau juga berkata: “Allah itu tidak boleh disifati dengan sifat-sifat makhluk.” [13]

  • Beliau berkata: “Siapa yang menyifati Allah dengan sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir.” [14]

  • Beliau juga berkata: “Allah memiliki sifat-sifat dzatiyah dan fi’liyah. Sifat-sifat dzatiyah Allah adalah hayah (hidup), qudrah (mampu), ‘ilm (mengetahui) sama’ (mendengar), basher (melihat), dan iradah (kehendak). Sedangkan sifat-sifat fi’liyah Allah adalah menciptakan, memberi rizki, membuat, dan lain-lain yang berkaitan dengan sifat-sifat perbuatan. Allah tetap dan selalu memiliki asma’-asma, dan sifat-sifat-Nya.” [15]

  • Beliau juga berkata: “Allah tetap melakukan (berbuat) sesuatu. Dan melakukan (berbuat) itu merupakan sifat azali. Yang melakukan (berbuat) adalah Allah yang dilakukan (obyeknya) adalah makhluk dan perbuatan Allah bukanlah makhluk.” [16]

  • Beliau juga berkata: “Siapa yang berkata, ‘Saya tidak tahu Tuhanku itu di mana, di langit atau di bumi’, maka orang tersebut telah menjadi kafir. Demikian pula orang yang berkata: “Tuhanku itu di atas ‘Arsy. Tetapi saya tidak tahu ‘arsy itu di langit atau di bumi.” [17]

  • Ketika ada seorang wanita bertanya kepada beliau: “Di mana Tuhan Anda yang Anda sembah itu?”. Beliau menjawab: “Allah Subhaanahu Wata’ala ada di langit, tidak di bumi.” Kemudian ada seseorang bertanya: “Tahukah Anda bahwa Allah berfirman وَهُوَ مَعَكُمْ (Allah itu bersama kamu)?” [18] Beliau menjawab: “Ungkapan itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang, “Saya akan selalu bersamamu”, padahal kamu jauh darinya.” [19]

  • Beliau juga berkata: “Demikian pula tentang tangan Allah di atas tangan-tangan mereka yang menyatakan janji setia kepada Rasul, tangan Allah itu tidak sama dengan tangan makhluk.” [20]

  • Beliau juga berkata: “Allah Subhaanahu Wata’ala ada di langit, tidak di bumi.” Kemudian ada orang yang bertanya: “Tahukah Anda bahwa Allah berfirman, “Allah itu bersamamu.” [21] Beliau menjawab: “Ungkapan itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang, “Saya akan selalu bersamamu”, padahal kamu jauh darinya.” [22]

  • Beliau juga berkata: “Bahwa Allah itu mempunyai sifat kalam (berfirman) sebelum Allah berfirman kepada Nabi Musa ‘alaihis salam.” [23]

  • Kata beliau: “Allah berfirman dengan kalam-Nya, dan kalam adalah sifat azali.” [24]

  • Beliau berkata lagi: “Allah itu berbicara, tetapi tidak seperti berbicaranya kita.” [25]

  • Kata beliau: “Nabi Musa ‘alaihis salam mendengar kalam Allah, sebagaimana ditegaskan sendiri oleh Allah [26]: “ وكلم الله موسى تكليما ” (Dan Allah telah berfirman langsung kepada Nabi Musa). Allah telah berfirman dan tetap akan berfirman, Allah tidak hanya berfirman kepada Nabi Musa saja.” [27]

  • Beliau berkata: “al-Qur’an itu kalam Allah, tertulis dalam mushhaf dan tersimpan (terjaga) di dalam hati, terbaca oleh lisan, dan diturunkan kepada Nabi Muhammad.” [28]

  • Kata beliau lagi: “Al-Qur’an itu bukan makhluk.” [29]

B. Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Qadar

  • Seorang datang kepada Imam Abu Hanifah dan mendebat beliau tentang masalah qadar. Kata beliau: “Tahukan Anda, bahwa orang yang melihat masalah matahari dengan matanya, semakin lama ia melihat, ia makin bingung.” [30]

  • Beliau berkata: “Allah telah mengetahui segala sesuatu sejak masa azali, sebelum segala sesuatu itu terwujud.” [31]

  • Beliau juga berkata: “Allah juga mengetahui sesuatu yang tidak ada ketika hal itu tidak ada, dan juga Allah mengetahui bagaimana hal itu akan ada apabila Allah mewujudkannya. Allah juga mengetahui sesuatu yang ada ketika hal itu ada, dan Allah juga mengetahui bagaimana kehancuran sesuatu itu.” [32]

  • Imam Abu Hanifah berkata: “Taqdir Allah adalah di Lauh Mahfuzh.” [33]

  • Beliau juga berkata: “Kita menetapkan, bahwa Allah telah memerintahkan kepada al-Qalam dan ia berkata, “Apa yang akan saya tulis wahai Tuhanku?” Allah menjawab: “Tulislah apa yang ada dan terjadi sampai Hari Kiamat.” Hal ini berdasarkan firman Allah:

    وَكُلُّ شَيْءٍ فَعَلُوهُ فِي الزُّبُرِ (52) وَكُلُّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ مُسْتَطَرٌ

    “Segala sesuatu yang mereka lakukan tertulis di dalam al-Kitab. Dan segala yang kecil dan besar tertulis.” (al-Qamar: 52-53) [34]

  • Beliau juga berkata: “Di dunia ini dan akhirat tidaklah ada dan terjadi sesuatu kecuali berdasarkan kehendak Allah.” [35]

  • Kata beliau lagi: “Allah menciptakan segala sesuatu tanpa bahan apa-apa.”

  • Beliau juga berkata: “Allah adalah Maha Pencipta sebelum Dia menciptakan.”

  • Beliau juga berkata: “Kita menetapkan, bahwa hamba bersama amal-amalnya. Penetapannya dan pengetahuannya adalah makhluk. Apabila yang berbuat saja makhluk, maka perbuatan-perbuatannya lebih tepat untuk disebut makhluk.”

  • Beliau berkata lagi: “Semua perbuatan hamba, baik yang bergerak ataupun diam, merupakan usahanya, dan Allah yang menciptakannya. Semua perbuatan itu berdasarkan kehendak, pengetahuan, penetapan dan qadar Allah.”

  • Beliau berkata: “Semua perbuatan hamba, baik yang bergerak maupun diam, adalah betul-betul upaya mereka, dan Allah menciptakannya. Semua perbuatan itu berdasarkan kehendak, ilmu, penetapan, dan qadar Allah. Semua ketaatan adalah wajib berdasarkan perintah Allah, dan hal itu disukai, diridhai, diketahui, dikehendaki, ditetapkan, dan ditaqdirkan Allah. Sedangkan maksiat semuanya diketahui, ditetapkan, ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah, tetapi Allah tidak menyukai dan tidak meridhai hal itu, bahkan Allah juga tidak memerintahkannya.” [36]

  • Beliau juga berkata: “Allah menciptakan makhluk berdasarkan fithrahnya, suci dari perbuatan yang terlarang. Kemudian Allah menyuruh mereka untuk berbuat kebajikan dan melarang untuk berbuat yang tercela. Maka, di antara mereka kemudian ada yang kafir dengan melakukan perbuatan-perbuatan kekafiran dan mengingkari kebenaran (hak). Ada juga di antara mereka yang beriman, baik melalui perbuatannya, iqrar lisannya, dan pembenaran hatinya. Dan hal itu merupakan taufiq dan pertolongan Allah kepadanya.” [37]

  • Beliau juga berkata: “Allah telah mengeluarkan anak cucu Adam dari tulang punggungnya dalam bentuk sel-sel, kemudian mereka diberi akal, lalu Allah menyuruh mereka untuk beriman dan melarang mereka melakukan kekafiran. Kemudian mereka mengakui ketuhanan (rububiyyah) Allah. Maka hal itu merupakan iman mereka. Kemudian mereka dilahirkan berdasarkan fithrah tersebut. Karenanya, sebenarnya ia telah mengubah dan mengganti fithrah itu. Sedangkan orang yang beriman dengan penuh keyakinan hatinya, maka ia tetap berada dalam fithrah tersebut.” [38]

  • Beliau juga berkata: “Allah-lah yang menetapkan segala sesuatu. Tidak ada sesuatu pun dunia dan akhirat kucuali atas kehendak, pengetahuan, dan qadha serta qadar Allah. Dan hal itu telah ditulis di lauh Mahfuzh.” [39]

  • Beliau juga berkata: “Allah tidak memaksa seorang pun dari makhluk-Nya untuk menjadi kafir atau mukmin. Tetapi Allah menciptakan mereka menjadi orang-orang. Sementara beriman atau menjadi kafir itu adalah perbuatan hamba. Allah mengetahui orang yang kafir pada saat ia kafir. Manakala setelah itu ia beriman, Allah juga mengetahuinya dan dia akan dicintai Allah. Dan ilmu Allah tidak berubah.” [40]

C. Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Pengertian Iman.

  • Beliau berkata: “Imam itu iqrar (pengakuan) dan tashdiq (pembenaran).” [41]

  • Kata beliau lagi: “Iman itu adalah iqrar dengan lisan dan tashdiq dengan hati. Iqrar saja belum disebut iman.” [42]
    Keterangan ini dinukil oleh ath-Thahawi dari Imam Abu Hanifah dan dua orang muridnya. [43]

  • Beliau juga berkata: “Iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang”. [44]

    Menurut saya pendapat Imam Abu Hanifah bahwa “Iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang” dan bahwa yang disebut iman itu adalah “tashdiq dalam hati dan iqrar dalam lisan, sementara perbuatan (amal) tidak termasuk dalam pengertian iman”, adalah masalah yang membedakan antara beliau dengan imam-imam Islam yang lain, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ishaq, Imam Bukhari, dan lain-lain. Yang benar adalah pendapat para imam itu. Sementara pendapat Abu Hanifah adalah tidak benar. Namun demikian beliau tetap mendapat pahala, baik hasil ijtihad beliau itu benar atau pun salah. Kemudian ada keterangan dari Imam Ibn ‘Abdul Bar dan Ibn Abi ‘Izz, bahwa Imam Abu Hanifah mencabut pendapatnya itu. Wallahu a’lam. [45]

D. Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Sahabat .

  • Imam Abu Hanifah berkata: “Kita tidak boleh menyebutkan seorang pun dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali dengan sebutan yang baik.” [46]

  • Kata beliau juga : “Kita juga tidak boleh berlepas diri dari salah satu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak boleh pula mencintai yang satu dan mengesampingkan yang lain.” [47]

  • Beliau juga berkata: “Keberadaan salah seorang sahabat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sesaat saja, hal itu lebih bagus dari pada amal kita sepanjang umur, meskipun umur itu panjang.” [48]

  • Kata beliau lagi: “Kita menetapkan, bahwa di antara umat Islam ini, orang yang paling mulia sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian Umar, kemudian Utsman dan kemudian Ali radhiyallahu ‘anhum. [49]

  • Beliau juga berkata: “Manusia paling mulia setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman dan kemudian Ali. Selanjutnya kita tidak boleh membicarakan tentang para sahabat kecuali dalam hal-hal yang baik-baik saja.” [50]

E. Larangan Abu Hanifah terhadap Ilmu Kalam dan Berdebat dalam Masalah Agama.

  • Imam Abu Hanifah berkata: “Di kota bashrah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu (selera) sangat banyak. Saya datang di bashrah lebih dari dua puluh kali. Terkadang saya tinggal di bashrah lebih dari satu tahun, terkadang satu tahun, dan terkadang kurang dari satu tahun. Hal itu karena saya mengira bahwa Ilmu Kalam itu adalah ilmu yang paling mulia.” [51]

  • Beliau menuturkan: “Saya pernah mendalami Ilmu Kalam, sampai saya tergolong manusia langka dalam Ilmu Kalam. Suatu saat saya tinggal dekat pengajian Hammad bin Abu Sulaiman. Lalu ada seorang wanita datang kepadaku, ia berkata: “Ada seorang lelaki mempunyai seorang istri wanita sahaya. Lelaki itu ingin menalaknya dengan talak yang sesuai sunnah. Berapakah dia harus menalaknya?” Pada saat itu saya tidak tahu apa yang harus saya jawab. Saya hanya menyarankan agar ia datang ke Hammad untuk menanyakan hal itu, kemudian kembali lagi ke saya, dan apa jawaban Hammad. Ternyata Hammad menjawab: “Lelaki itu dapat menalaqnya ketika istrinya dalam keadaan suci dari haid dan juga tidak dilakukan hubungan jima’, dengan satu kali talak saja. Kemudian istrinya dibiarkan sampai haid dua kali. Apabila istri itu sudah suci lagi, maka ia halal untuk dinikahi. Begitulah, wanita itu kemudian datang lagi kepada saya dan memberitahukan jawaban Hammad tadi. Akhirnya saya berkesimpulan, “Saya tidak perlu lagi mempelajari Ilmu Kalam. Saya ambil sandalku dan pergi untuk berguru kepada Hammad.” [52]

  • Beliau berkata lagi: “Semoga Allah melaknati Amr bin Ubaid, karena telah merintis jalan untuk orang-orang yang mempelajari Ilmu Kalam, padahal ilmu ini tidak ada gunanya bagi mereka.” [53]

  • Beliau juga pernah ditanya seseorang, “Apakah pendapat Anda tentang masalah baru yang dibicarakan orang-orang dalam Ilmu Kalam, yaitu masalah sifat-sifat dan Jism?” Beliau menjawab, “Itu adalah ucapan-ucapan para ahli filsafat. Kamu harus mengikuti hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan metode para ulama salaf. Jauhilah setiap hal yang baru, kerena hal itu adalah bid’ah.” [54]

  • Putra Imam Abu Hanifah, yang namanya Hammad, menuturkan, “Pada suatu hari ayah datang ke rumahku. Waktu itu di rumah ada orang-orang yang sedang menekuni Ilmu Kalam, dan kita sedang berdiskusi tentang suatu masalah. Tentu saja suara kami keras, sehingga tampaknya ayah terganggu. Kemudian saya menemui beliau, “Hai Hammad, siapa saja orang-orang itu?”, tanya beliau. Saya menjawab dengan menyebutkan nama mereka satu persatu. “Apa yang sedang kalian bicarakan?”, tanya beliau lagi. Saya menjawab, “Ada suatu masalah ini dan itu”. Kemudian beliau berkata: “Hai Hammad, tinggalkanlah Ilmu Kalam.” Kata Hammad selanjutnya: “Padahal setahu saya, ayah tidak pernah berubah pendapat, tidak pernah pula menyuruh sesuatu kemudian melarangnya.” Hammad kemudian berkata kepada beliau, “Wahai Ayahanda, bukankah ayahanda pernah menyuruhku untuk mempelajari Ilmu Kalam?” “Ya, memang pernah”. Jawab beliau, “Tetapi itu dahulu. Sekarang saya melarangmu, jangan mempelajari Ilmu Kalam”, tambah beliau. Kenapa, wahai ayahanda?”, tanya Hammad lagi. Beliau menjawab, “Wahai anakku, mereka yang berdebat dalam Ilmu Kalam, pada mulanya adalah bersatu pendapat dan agama mereka satu. Namun syetan mengganggu mereka sehingga mereka bermusuhan dan berbeda pendapat.” [55]

  • Kepada Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah berkata: “Jangan sekali-kali kamu berbicara kepada orang-orang awam dalam masalah ushuluddin dengan mengambil pendapat Ilmu Kalam, karena mereka akan mengikuti kamu dan akan merepotkan kamu.” [56]

Inilah rangkuman dari pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah, tentang aqidah beliau dalam masalah Ushuluddin dan sikap beliau terhadap Ilmu Kalam dan ahli-ahli Ilmu Kalam.

Catatan Kaki:

[1] ad-Durr al-Mukhtar ma’a Hasyiyat Radd al-Mukhtar, VI/ 396-397

[2] Syarh al-Aqidah ath-Thawiyah, hal. 234, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, II/ 285, Syarah al-Fiqh al-Akbar, hal.108

[3] Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad bin Hasan tidak suka apabila seseorang berdo’a dengan menyebutkan, “Wahai Allah, saya mohon kepada-Mu dengan tempat kemuliaan dari ‘arsy-Mu.” Karena do’a seperti ini tidak ada petunjuk tekstual (nash) yang membolehkan.
Sementara Imam Abu Yusuf membolehkan do’a seperti itu, karena menurut beliau ada nash dari hadits untuk hal itu, yaitu sebuah hadits di mana Nabi berdo’a, “Wahai Allah, saya mohon kepada-Mu dengan tempat-tempat kemuliaan di ‘arsy-Mu dan puncak rahmat dari kitab-Mu.”
Hadits ini ditulis Imam al-Baihaqi dalam kitabnya, ad-Da’-wat al-Kabirah, ditulis dalam kitab al-Binayah, IX/ 382, dan kitab Nasb ar-Rayah, IV/ 272. Di sanadnya terdapat 3 hal yang dapat menyacatkan hadits :
1). Daud bin Abu ‘Ashim tidak pernah mendengar hadits dari Ibnu Mas’ud.
2). Abdul Malik bin Juraij adalah seorang mudallis (menyembunyikan kecacatan hadits) dan mursil (menyebutkan hadits dengan sanad tidak bersambung).
3) Umar bin Harun dituduh sebagai pendusta. Oleh karena itu, Ibnu al-Jauzi berkata sebagaimana terdapat dalam kitab, al-Binayah, IX/ 382, bahwa hadits ini adalah palsu tanpa diragukan lagi dan sanadnya sangat parah seperti anda lihat. Lihat, Tahdzib at-Tahdzib, III/198, VI/405, VII/501 Tarqib at-Tadhzib, I/520.

[4] at-Tawassul wa al-Wasilah hal, 82. Lihat juga, Syarh al-Fiqh al-Akbar, hal. 198.

[5] al-Fiqh al-Absath, hal. 56

[6] al-Fiqh al-Akbar, hal. 302

[7] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, II/ 427, Editor Dr. At-Turki, Jala ‘al-‘Ainain, hal. 368

[8] Aqidah as-Salaf Ashhab al-Hadits, hal. 42, Dar as-Salafiyah. Al-Baihaqi, al-Asma’ wa as-Sifat, hal. 456, Syarh al-Aqidah ath Thahawiyah,hal. 245. Takhrij al-Albani. al-Qari, Syarh al-Fiqh al-Akbar, hal. 60

[9] al-Fiqh al-Absath, hal. 51

[10] Ibid, hal. 56

[11] al-Fiqh al-Akbar, hal. 301

[12] al-Fiqh al-Akbar, hal. 302

[13] al-Fiqh al- Absath, hal. 56

[14] al-Aqidah ath-Thahawiyah, dengan komentar al-Albani, hal. 25

[15] al-Fiqh al-Akbar, hal. 301

[16] Ibid

[17] al-Fiqh al-Absath, hal.46. Pernyataan seperti ini juga dinukil dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa, V/ 48. Ibnu al-Qayyim dalam Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah, hal. 139. Adz-Dzahabi dalam al-‘Uluw, hal. 101-102. Ibnu Qadamah dalam al-‘Uluw, hal, 116. Dan Ibnu Abi al-‘Izz dalam Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah. Hal. 301

[18] Surah al-Hadid, ayat 4

[19] al-Asma wa ash Shifat, hal. 429

[20] al-Fiqh al-Absath, hal. 56

[21] Surah al-Hadid, ayat 4

[22] al-Asma’ ash shifat, II/ 170

[23] al-Fiqh al-Akbar, hal. 302

[24] Ibid, hal. 301

[25] Ibid, hal. 302

[26] Surah an-Nisa’ , ayat 164

[27] al-Fiqh al-Akbar, hal. 302

[28] Ibid, hal. 301

[29] Ibid

[30] Qalaid ‘Uqud al-Aqyan, lembar 77-A

[31] al-Fiqh al-Akbar, hal. 302-303

[32] Ibid

[33] Ibid, hal, 302

[34] al-Washiyah bersama Syarhnya, hal.21

[35] al-Fiqh al-Akbar, hal. 303

[36] Ibid

[37] Ibid, hal. 302-303

[38] Ibid, hal. 302

[39] Ibid

[40] Ibid, hal. 303

[41] al-Fiqh al-Akbar, hal. 304

[42] Kitab al-Washiyyah bersama Syarhnya, hal. 2

[43] ath-Thahawiyyah berikut Syarhnya, hal. 360

[44] Kitab al-Washiyah berikut Syarhnya, hal. 3

[45] Ibn ‘Abd al-Bar, at-Tamhid, IX/ 247. Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 395

[46] al-Fiqh al-Akbar, hal. 304

[47] al-Fiqh al-Absath, hal. 40

[48] al-Makki Manaqib Abi Hanifah, hal.76

[49] Kitab al-Washiyah beserta Syarhnya, hal.14

[50] an-Nur al-Lami’, lembar 119-A

[51] al-Kurdi, Manaqib Abi Hanifah, hal. 137

[52] Tarikh Baghdad. XIII/ 333

[53] al-Harawi, Dzamm ‘Ilm al-Kalam, hal. 28-31

[54] al-Harawi, Dzamm al-Kalam, lembar 194-B

[55] al-Makki, Manaqib Abu Hanifah, hal. 183-184

[56] Ibid, hal.373