A. Pendapat Imam Ahmad tentang Tauhid

  • Di dalam kitab Thabaqat al-Hanabilah, terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad pernah ditanya tentang tawakkal. Jawab beliau: “Tawakkal itu adalah mengandalkan sepenuhnya kepada Allah dan tidak mengharapkan dari manusia.” [1]

  • Di dalam kitab al-Mihnah terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad berkata: “Allah itu sejak azali terus berfirman. Al-Qur’an adalah firman-firman Allah dan bukan makhluk, dan Allah tidak boleh disifati dengan sifat-sifat selain yang telah ditetapkan sendiri oleh Allah.” [2]

  • Imam Abu Ya’la meriwayatkan dari Abu Bakr al-Marwazi, katanya, saya bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah, melihat Allah, Isra’, dan kisah ‘Arsy, yang ditolak oleh kelompok Jahmiyah. Ternyata menurut beliau, hadits-hadits tersebut shahih, dan beliau berkata: “Hadits-hadits itu telah diterima oleh umat Islam, dan jalankanlah (pahamilah) hadits-hadits itu seperti apa adanya.” [3]

  • Abdullah bin Ahmad berkata di dalam kitab as-Sunnah, bahwa Imam Ahmad berkata: “Barangsiapa yang berpendapat bahwa Allah itu tidak berfirman, maka telah kafirlah dia. Kita meriwayatkan hadits-hadits itu seperti apa adanya.” [4]

  • Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari Hanbal bahwa ia bertanya kepada Imam Ahmad tentang ru’yah (melihat Allah di Akhirat). Jawaban beliau: “Hadits-Hadits mengenai ru’yah itu shahih. Kita mengimani dan menetapkannya. Dan semua hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sanad-sanad yang bagus, kita mengimaninya dan menetapkan keshahihannya.” [5]

  • Imam Ibn al-Jauzi menuturkan dalam kitab al-Manaqib tentang kitab Imam Ahmad bin Hanbal karya Musaddad. Di dalam kitab tersebut ada keterangan di mana Imam Ahmad berkata: “Sifatilah Allah dengan sifat-sifat yang dipakai oleh Allah untuk mensifati diri-Nya sendiri, dan tinggalkanlah hal-hal yang ditinggalkan oleh Allah untuk mensifati diri-Nya sendiri.” [6]

  • Di dalam kitab ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah karya Imam Ahmad, beliau mengatakan: “Jahm bin Shafwan berpendapat, bahwa orang yang mensifati Allah dengan sifat-sifat yang dipakai Allah untuk mensifati diri-Nya sendiri seperti yang terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka orang itu telah menjadi kafir dan termasuk kelompok musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).” [7]

  • Imam Ibn Taimiyah menuturkan dalam kitab Dar’u Ta’arud al-‘Aql wa an-Naql, ucapan Imam Ahmad: “Kami mengimani bahwa Allah ada di atas ‘Arsy, bagaimana Dia berkehendak dan seperti apa yang Allah kehendaki, tanpa batasan dan sifat yang dipakai oleh seseorang untuk mensifati dan membatasi sifat itu. Sifat-sifat Allah adalah sifat-sifat yang digunakan untuk Allah, yaitu seperti Allah mensifati diri-Nya sendiri, bahwa Dia tidak dapat dilihat oleh mata.” [8]

  • Imam Abi Ya’la juga meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa beliau berkata: “Orang yang berpendapat bahwa Allah itu tidak dapat dilihat di Akhirat, maka dia telah kafir dan mendustakan Al-Qur’an.” [9]

  • Imam Ibnu Abi Ya’la juga meriwayatkan dari Abdullah putera Imam Ahmad, katanya, saya pernah bertanya kepada ayah saya tentang orang-orang yang berpendapat bahwa ketika Allah berfirman kepada Nabi Musa, Allah berfirman tanpa suara. Kemudian ayah saya berkata: “Allah berfirman dengan suara. Hadits-hadits ini kita riwayatkan sesuai apa adanya.” [10]

  • Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari Abdus bin Malik al-Attar, katanya, saya mendengar bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk. Dan janganlah kamu lemah untuk berkata bahwa al-Qur’an itu bukan makhluk, karena Kalamullah itu dari Allah, dan tidak ada sesuatu yang keluar dari Allah itu disebut makhluk.” [11]


B. Pendapat Imam Ahmad tentang Qadar

  • Imam Ibn al-Jauzi menuturkan dalam kitab al-Manaqib tentang kitab Imam Ahmad bin Hanbal karya Musaddad. Dalam kitab itu terdapat keterangan bahwa Imam Ahmad berkata: “Kita mengimani taqdir, yang baik, yang buruk, yang manis, yang pahit, semuanya dari Allah.” [12]

  • Imam al-Khallal meriwayatkan dari Abu Bakr al-Marwazi, katanya, Imam Ahmad pernah ditanya: “Apakah kebaikan dan keburukan itu ditaqdirkan kepada hamba Allah, dan apakah Allah menciptakan kebaikan dan keburukan?” Beliau menjawab: “Ya, Allah telah menetapkannya.” [13]

  • Dalam kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad beliau mengatakan: “Taqdir itu, yang baik dan yang buruk, yang sedikit dan yang banyak, yang lahir dan yang batin, yang manis dan yang pahit, yang disuka dan yang dibenci, yang elok dan yang jelek, yang awal dan yang akhir, semuanya sudah ditetapkan oleh Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Dan tidak ada seorang pun dari hamba Allah yang dapat keluar dari kehendak dan ketetapan Allah. ” [14]

  • Imam al-Khallal juga meriwayatkan dari Muhammad bin Abu Harun, dari al-Harits, katanya, saya mendengar Imam Ahmad berkata: “Allah Subhaanahu Wata’ala telah mentaqdirkan ketaatan dan maksiat, kebaikan dan keburukan. Orang yang telah ditetapkan sebagai orang yang berbahagia, maka ia berbahagia, dan orang yang telah ditetapkan sebagai orang yang celaka, ia akan celaka.” [15]

  • Abdullah putera Imam Ahmad berkata, “Saya mendengar ayah saya, ketika beliau ditanya Ali bin Jahm tentang “Orang yang berbicara tentang qadar, apakah ia menjadi kafir?” Beliau menjawab: “Ya apabila ia mengingkari ilmu Allah. Apabila ia berpendapat bahwa Allah itu tidak mengetahui, sampai Allah menciptakan ilmu, dan barulah Allah mengetahui, maka ia mengingkari ilmu Allah, dan dengan demikian ia menjadi kafir.” [16]

  • Abdullah, putera Imam Ahmad juga menuturkan, saya pernah bertanya kepada ayah saya sekali lagi tentang shalat menjadi makmum di belakang imam yang berpaham Qadariyah. Beliau menjawab: “Apabila penganut Qadariyah itu selalu berdebat dan menyebarkan paham tersebut, maka kamu jangan shalat di belakangnya.” [17]

C. Pendapat Imam Ahmad tentang Iman

  • Imam Abu Ya’la meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa beliau berkata: “Di antara yang paling mulia dari masalah-masalah iman adalah cinta karena Allah dan marah karena Allah.” [18]

  • Imam Ibn al-Jauzi meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa beliau berkata: “Iman itu bertambah dan berkurang, seperti diterangkan dalam hadits :

    أَكْمَلُ الْمُؤْ مِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

    “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang mukmin yang paling bagus akhlaknya.” [19]

  • Imam al-Khallal meriwayatkan dari Sulaiman bin Asy’ats, katanya, bahwa Imam Ahmad mengatakan: “Shalat, zakat, haji dan berbuat kebajikan adalalah sebagian dari iman. Sedangkan menjalankan maksiat dapat mengurangi iman.” [20]

  • Abdullah, putera Imam Ahmad, mengatakan, saya pernah bertanya kepada ayah saya tentang “Seseorang yang berpendapat bahwa iman itu adalah ucapan dan pengamalan, bertambah dan berkurang tanpa menyebut insya Allah, apakah ia seorang Murji’ah?” Beliau menjawab: “Saya berharap mudah-mudahan orang tersebut bukan penganut paham Murji’ah.” Abdullah berkata lagi, saya mendengar ayah berkata: “Dalil yang melawan pendapat orang yang tidak menyebutkan insya Allah dalam menyatakan iman adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada penghuni kubur:

    وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَ حِقُوْنَ

    “Kami insya Allah menyusul kamu.” [21]

  • Abdullah juga menuturkan, saya mendengar ayah saya, ketika ditanya tentang paham Murji’ah, beliau menjawab: “Kami mengatakan bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Apabila seseorang melakukan zina atau minum khamar, maka imannya berkurang.” [22]


D. Pendapat Imam Ahmad tentang Sahabat

  • Dalam kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad ada keterangan sebagai berikut:
    “Di antara ajaran as-Sunnah adalah menyebut-nyebut kebaikan semua sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menahan diri tidak menyebutkan ketidakbaikan dan pertentangan yang terjadi antara mereka. Orang yang mencaci para sahabat, atau salah seorang saja di antara mereka, maka ia telah berbuat bid’ah, berpaham Rafidhi (Syi’ah), dan berlaku buruk. Allah tidak akan menerima amal kebajikannya.
    Mencintai Sabahat adalah ajaran as-Sunnah, mendo’akan mereka adalah termasuk ibadah, mengikuti mereka adalah cara yang benar, dan memakai pendapat-pendapat mereka adalah suatu kemuliaan. Kemudian, para sahabat itu, sesudah al-Khulafa’ ar-Rasyidin, adalah manusia-manusia terbaik. Tidak boleh ada orang yang menjelek-jelekan mereka dan sebagainya. Apabila ada yang melakukan hal itu, maka Sultan (Pemerintah) wajib memberinya “pelajaran” dan sanksi, dan tidak boleh membebaskannya.” [23]

  • Imam Ibn al-Jauzi meriwayatkan sepucuk surat dari Imam Ahmad yang beliau kirimkan kepada Musaddad. Di dalam surat itu terdapat keterangan sebagai berikut, “Hendaknya Anda menjadi saksi bahwa sepuluh orang sahabat itu telah diberi tahu akan masuk surga. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, az-Zubair, Sa’ad, Sa’id, Abdurrahman bin Auf dan Ubaidah bin al-Jarrah. Orang yang telah disaksikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk surga, kita juga menjadi saksi.” [24]

  • Abdullah putera Imam Ahmad, menuturkan, saya pernah bertanya kepada ayah saya tentang siapa imam-imam ummat ini. Beliau menjawab: “Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.” [25]

  • Abdullah juga mengatakan, bahwa ia pernah bertanya kepada ayahnya tentang “Orang-orang yang berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib itu bukan seorang Khalifah”. Beliau menjawab: “Itu pendapat yang buruk dan jelek.” [26]

  • Imam Ibn al-Jauzi meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa beliau berkata, “Orang yang tidak mengakui, bahwa Ali bin Abi Thalib itu khalifah, maka ia lebih sesat daripada keledai piaraan yang hilang.” [27]

  • Imam Ibn Abi Laila juga meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa beliau berkata: “Orang yang tidak mau mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, jangan kamu ajak bicara dan jangan kamu menikahi keluarganya.” [28]


E. Larangan Imam Ahmad terhadap Ilmu Kalam dan Berdebat dalam Agama.

  • Imam Ibnu Baththah meriwayatkan dari Abu Bakar al-Marwazi, katanya, saya mendengar Imam Ahmad menyatakan: “Siapa yang mengkaji Ilmu Kalam, ia tidak akan beruntung, dan ia tidak akan terlepas dari mengikuti kelompok Jahmiyah.” [29]

  • Dalam kitab Jami’ Bayan al-‘Ilm wa al-Fadhlih, Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa beliau berkata, “Tidak akan beruntung selamanya, orang yang mengkaji Ilmu Kalam, dan Anda hampir tidak akan melihat orang yang mempelajari Ilmu Kalam itu kecuali di dalam hatinya ada ketidakberesan.” [30]

  • Imam al-Harawi meriwayatkan dari Abdullah, putera Imam Ahmad, katanya, Ayah saya pernah menulis surat kepada Ubaidillah bin Yahya bin Khaqan. Dalam surat itu ayah saya berkata: “Kamu itu bukan termasuk ahli Kalam. Kalam yang benar adalah Kitabullah atau Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berbicara di luar itu tidak terpuji.” [31]

  • Imam Ibnu al-Jauzi meriwayatkan dari Musa bin Abdillah al-Turtusi, katanya, saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Jangan kamu duduk bersama ahli Kalam, meskipun dia itu kelihatannya membela sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” [32]

  • Imam Ibnu Baththah meriwayatkan dari Abu al-Harits ash-Shayigh, katanya, “Orang yang mencintai Ilmu Kalam, maka sebenarnya hal itu tidak keluar dari hatinya. Dan anda tidak akan melihat orang yang mempelajari Ilmu Kalam itu beruntung.” [33]

  • Imam Ibnu Baththah menuturkan dari Ubaidillah bin Hanbal, katanya, saya mendengar Imam Ahmad berkata: “Berpeganglah kamu dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah akan memberikan manfaat kepadamu. Dan hindarilah perdebatan dalam masalah agama, karena orang yang menyukai Ilmu Kalam tidak akan beruntung. Orang yang membuat perdebatan dalam Kalam, ujung-ujungnya adalah membuat bid’ah, karena Ilmu Kalam tidak membawa kepada kebaikan. Saya tidak menyukai Ilmu Kalam, apalagi ikut perdebatan.

    Kamu harus berpegang teguh kepada sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pendapat-pendapat para sahabat, Fiqih yang dapat kamu manfaatkan. Tinggalkanlah perdebatan dan pendapat orang-orang yang hatinya bengkok. Orang-orang yang saya temui, ternyata mereka tidak pernah mengenali para ahli Kalam, mereka juga menjauhi para ahli Kalam. Kalam itu pada akhirnya tidak baik. Semoga Allah menjaga kita semuanya dari fitnah (ujian hati), dan menyelamatkan kita dari kehancuran.” [34]

  • Dalam kitab al-Ibanah, Ibnu Baththah meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa beliau berkata: “Waspadalah terhadap orang yang menyukai Ilmu Kalam.” [35]

Inilah rangkuman pendapat Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah tentang masalah-masalah Ushuluddin dan sikap beliau terhadap Ilmu Kalam.

Catatan Kaki:

[1] Thabaqat al-Hanabilah, I/416

[2] as-Sunnah, hal. 68

[3] Thabaqat al-Hanabilah, I/56

[4] as-Sunnah, hal. 71

[5] Syarah I’tiqad Ahl as-Sunnah, II/507

[6] Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 221

[7] ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah, hal. 104

[8] Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa an-Naql, II/30

[9] Thabaqat al-Hanabilah, I/58, 145

[10] Ibid, I/185

[11] Syarh Ushul I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, I/157

[12] Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 169, 172

[13] al-Khallal, as-Sunnah, lembar 85

[14] as-Sunnah, hal. 68

[15] al-Khallal, as-Sunnah, lembar 85

[16] Abdullah bin Ahmad, as-Sunnah, hal. 119

[17] as-Sunnah, I/384

[18] Thabaqat al-Hanabilah, II/275

[19] Musnad al-Imam Ahmad, II/250. Sunan Abi Daud, V/60 Sunan at-Tirmidzi, III/457. Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 153, 168,173.

[20] al-Khallal, as-Sunnah, lembar 96.

[21] Hadits riwayat Muslim, Shahih Muslim, II/669. Abdullah bin Ahmad, as-Sunnah, I/307-308

[22] Ibid

[23] as-Sunnah, karya Imam Ahmad, hal. 77-78

[24] Ibn al-Jauzi, Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 170

[25] as-Sunnah, hal. 235

[26] Ibid

[27] Manaqib al-Imam Ahmad, hal. 163

[28] Thabaqat al-Hanabillah, I/45

[29] al-Ibanah, II/538

[30] Jami’ Bayan al-‘Ilm wa al-Fadhlih, II/95

[31] Dzamm al-Kalam, lembar 216-B

[32] Manaqib al-Imam Ahmad, hal.205

[33] Ibn Baththah, al-Ibanah, II/539

[34] Ibid

[35] Ibid, II/540