Al-Baqarah: 159-160)
Dalam ayat di atas Allah memperingatkan kita dari menyembunyikan ilmu sekaligus memberi ancaman serta melaknat pelakunya. Dan agar kita semua selamat dari laknat dan ancaman tersebut Allah menjelaskan tiga perkara yang harus ditempuh, yaitu taubat, ishlah dan bayan. Taubat dari berbagai dosa dan kekurangan di masa lalu, ishlah atau memperbaiki diri dalam berbagai segi dan bayan atau menjelaskan ilmu atau amalan yang dulu disembunyi-kan, ta’wil yang salah karena adanya tujuan pribadi yang sifatnya sementara.

1. Setiap penuntut ilmu berkewajiban untuk memiliki akhlak yang luhur sebagaimana yang dicontohkan Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam

Dia harus jujur dihadapan Allah dalam perbuatan dan bicaranya, menyampaikan perintah dan larangan Allah, beramar ma’ruf nahi mungkar kepada orang lain sesuai kemampuan-nya. Hal ini merupakan keharusan apalagi di zaman sekarang ini di mana kemaksiatan dan kemungkaran merajalela sedangkan jumlah ulama sangatlah sedikit, tak seimbang dengan umat yang harus ditanganinya.

Hampir tak terhitung penyeru-penyeru yang mengajak kepada kebatilan, perilaku rendah dan mengajak ke neraka dengan berbagai macam bentuk, cara dan sarana. Maka dibutuhkan pasukan kebaikan sebanyak mereka bahkan jika perlu lebih banyak lagi untuk membendung para antek kemungkaran tersebut.
Tidak lain yang diinginkan syetan dan bala tentaranya dengan seruannya, melainkan kehancuran umat Islam dan menggiring mereka ke neraka. Mereka semua menginginkan agar kita kaum muslimin sama dengan mereka dalam tingkah laku, kehidupan dan gaya sehingga akhirnya bersama-sama pula masuk Neraka menemani mereka. Sebagaimana difrmankan Allah:
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syetan-syetan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)

2. Seorang penuntut ilmu pantang untuk bersikap lemah dan patah semangat dalam menyampai-kan agama Allah kepada manusia

Di manapun berada terus berusaha untuk saling menasehati dengan segenap kemampuan. Menasehati siapa saja yang ia mampu, pemimpin, tokoh masyarakat, para pemuka atau siapa saja yang terpandang dan punya kedudukan di desa maupun di kota. Berbicara dengan mereka secara baik-baik dan saling menolong dalam kebaikan dan takwa, menasihati dan saling meng-ingatkan dengan ucapan yang sopan, lembut dan tidak saling mencela.
Demikian pula jika mampu ia dapat menasihati para pejabat dan petinggi negara, para hakim atau qadhi sesama da’i dan secara umum kepada segenap kaum muslimin. Wallahu a’lam.