Allah Subhanahu wa Ta’ala Mahabijkasana dan Mahamengetahui, tidaklah Dia mensyari’atkan sesuatu kecuali untuk suatu hikmah yang mendalam. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala Mahasuci dari sifat ‘Abats (perbuata sia-sia), dan karena itulah Dia mencifat dirinya dengan kesempurnaan ilmu dan hikmah. Dan kebanyakan, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan hukum sesuatu, Dia mengkaitkannya degan alasannya dan hikmahnya. Di antaranya adalah ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan (menetapkan) bagian-bagian dari masing-masing ahl iwaris dalam firman-Nya:

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنثَيَيْنِ

”Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; …”(QS. An-Nisaa: 11)

Allah menutup ayat itu dengan firman-Nya:

.. إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا {11}

”…Dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. ”(QS. An-Nisaa: 11)

Hal tersebut supaya hati manusia merasakan (menghayati) bahwa ketetapan (hukum) Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi manusia disamping ia adalah asas/landasan yang tidak boleh bagi mereka berpaling dari hukum-Nya, ia juga mengandung maslahat (manfaat) yang terbangun di atas kesempurnaan ilmu dan hikmah. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan hukum karena Dia Mahatahu sedangkan manusia tidak tahu, dan Allah mewajibkan sesuatu kepada manusia karena Dia Mahabijaksana sedangkan manusia mengikuti hawa nafsu.

Telah muncul banyak pertanyaan dari sebagian manusia seputar hikmah dilebihkannya bagian warisan laki-laki dibandingkan bagian perempuan. Dan jawaban dari hal ini nampak dengan cara mencermati tugas serta peran keduanya dalam kehidupan ini. Seorang laki-laki lebih butuh harta dibandingkan perempuan, karena laki-laki adalah pemimpin dan pengayom perempuan. Dan seorang laiki-laki lebih banyak memberikan manfaat kepada si mayit (orang yang meninggalkan warisan) dalam hidupnya dibandingkan dengan perempuan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisyaratkan hal itu dengan frirman-Nya setelah Dia menetapkan hukum waris dan membedakan bagian-bagiannya:

… ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لاَتَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا …{11}

”… (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu…”(QS. An-Nisaa: 11)

Dan jika laki-laki adalah golongan yang paling banyak memberikan manfaat (kepada si mayit) dan lebih butuh terhadap membutuhkan harta, maka dia pun berhak untuk mendapatkan bagian yang dilebihkan (daripada perempuan).

Dan permasalahannya bukan sekedar keberpihakkan kepada jenis kelamin saja, namun permasalahannya adalah keseimbangan dan keadilan antara beban laki-laki dan perempuan dalam membentuk kehidupan rumah tangga, dan dalam aturan masyarakat yang Islami. Dan dari sana nampaklah keadilan sebagaimana nampak keselarasan/keseimbangan antara keuntungan dan kerugian dalam pembagian (warisan) yang penuh hikmah ini. Dan nampak jelas pula bahwasanya segala kritikan dan tuduhan miring seputar pembagain warisan ini adalah sebuah kebodohan dari satu sisi, dan keburukan adab (tingkah laku) terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dari sisi yang lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisyaratkan hikmah dilebihkannya laki-laki di atas perempuan dalam pembagian warisan dalam firman-Nya:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَآأَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ … {34}

”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka…”(QS. An-Nisaa: 34)

Karena orang yang mengurusi orang lain dan memberikan hartanya untuk menafkahi orang lain tersebut, kemungkinan akan berkurang terus hartanya. Sedangkan orang yang diurus orang lain, dinafkahi orang lain maka kemungkinan hartanya akan tetap bertambah. Maka hikmah dari dalam memberikan lebih (menambahkan) orang yang kemungkinan hartanya berkurang daripada orang yang kemungkian hartanya bertambah dalam rangka menutup kekurangannya, adalah sangat jelas sekali.

(Sumber:Disadur dan terjemahkan dari At-Tahqiqat al-Mardhiyah fii al-Mabahits al-Fardhiyah, Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah, Maktabah al-Ma’arif hal. 24-26. diposting oleh Abu Yusuf Sujono)