Pada kajian yang lalu telah kita bicarakan bahwa apabila seorang suami mentalak istrinya dengan talak ba’in, maka ia tidak boleh merujuknya kecuali kalau dia (mantan istri) telah menikah dengan lelaki lain secara sah, kemudian ia menceraikannya. Maka setelah itu suami pertama boleh menikah ulang mantan istrinya itu.

Akan tetapi banyak orang yang menyalahgunakan masalah ini, yaitu terjadinya kesepakatan antara mantan suami dengan lelaki lain agar ia menikahi mantan istrinya lalu menceraikannya agar ia dapat kembali menikah dengan mantan istrinya, atau sang mantan istri bersepakat dengan lelaki lain agar menikahi dirinya lalu menceraikannya supaya ia dapat kembali kepada mantan suami yang pertama.

Nikah dengan cara seperti itu atau cara lainnya untuk mencapai tujuan dapat menikahi mantan istri adalah termasuk nikah yang tidak sah dan tetap tidak membolehkan mantan suami kembali kepada mantan istrinya (yang telah ditalak ba’in), karena pernikahan seperti itu tidak didasari oleh rasa cinta melainkan nikah untuk masa tertentu hingga mirip sekali dengan nikah mut’ah (kawin kontrak).

Maka dari itu, nikah dengan cara seperti itu tidak boleh dilakukan, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun telah bersabda,

لَعَنَ اللهُ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.

“Allah mengutuk orang muhallil dan orang muhallal lahu.”

Muhallil adalah orang yang menikahi mantan istri orang supaya ia bisa merujuknya, sedangkan muhallal lahu adalah orang (mantan suami) yang meminta kepada seorang laki-laki (muhallil) untuk menikahi mantan isterinya lalu menceraikannya supaya wanita itu bisa dirujuk lagi olehnya. (pen).-

Dan Nafi’ (seorang tabi’in) pernah meriwayatkan dari Umar bin Khattab, bahwasannya ada seorang lelaki yang berkata kepadanya: Ada seorang perempuan yang aku nikahi, namun aku tidak berniat untuk menghalalkannya bagi mantan suaminya, karena ia tidak pernah menyuruhku (menikahi mantan istrinya), bahkan ia tidak tahu. Maka Umar berkata, “Jangan kamu lakukan, kecuali nikah yang didasari rasa suka sama suka (cinta), maka jika kamu tetap sayang kepadanya teruskanlah kamu hidup bersamanya, dan jika tidak, maka cerailah ia.” Umar berkata, “Kami menganggap nikah seperti itu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup sebagai sifah (zina).”