Kehidupan telah berubah, kebiasaan telah berganti dan tatanan mulai bergeser, kalau dulu pemimpin rumah tangga: istri dan anak-anak adalah suami atau bapak, termasuk apa yang menjadi tuntutannya berupa tanggung jawab memberi nafkah, ini berarti bahwa suami atau bapak yang bekerja, di saat yang sama istri atau ibu sebagai penyeimbang dan pengisi kekosongan lahan yang ditinggalkan oleh suami atau bapak, mengurusi rumah dan anak-anak, maka dia disebut dengan ibu rumah tangga.

Tetapi itu dulu, saat kehidupan zaman ini mulai bergeser akibat dominasi adat dan pengaruh bangsa lain, saat peluang mendapatkan pekerjaan di luar rumah mulai dibuka untuk kaum hawa, sehingga tidak sedikit dari mereka yang tersedot magnet mendapatkan gaji sendiri sehingga tidak meminta dan bergantung kepada suami, resikonya pos aslinya yaitu dalam negeri rumah tangga kosong karena ditinggal oleh sang penunggunya.

Dunia kerja semakin membuka peluang lebar-lebar bagi kaum wanita, kesempatan berkarir bagi mereka semakin memungkinkan, di pos-pos penting duduk kaum perempuan dengan kewenangan dan tanggung jawab yang tidak dimiliki oleh kaum laki-laki, hal ini menyeret kepada kesetaraan antara suami dan istri dalam hal penghasilan, dan selanjutnya istri pun bisa karena dorongan sendiri atau dari suami, ikut memikul tanggung jawab finansial keluarga, ini artinya suami telah memberikan sepenggal dari kue kepemimpinannya dalam rumah tangga kepada istri atau istri yang mengambilnya dari tangan suami, lumrah memang, karena pemikul tanggung jawab memiliki wewenang sebesar tanggung jawab tersebut.

Perkaranya tidak berhenti sampai di sini, dunia kerja terus berkembang dan membuka kesempatan bagi kaum hawa lebih lebar, akibatnya tidak tertutup kemungkinan sekalipun sama-sama berkerja, kedudukan, karier dan tentu saja penghasilan istri lebih besar dari suami, bila hal ini tidak berdampak terhadap hubungan dan kedudukan masing-masing dalam rumah tangga, maka mudah-mudahan tidak memicu konflik sehingga rumah tangga aman-aman saja, namun yang sering terjadi adalah saat uang istri lebih banyak, maka dia pun mulai mendominasi, biasa uang memang berkuasa, maka suami tergeser dari kursi qiwamah, atau dia tahu diri sehingga mundur dan menyerahkan kebanyakan darinya kepada istri, kalaupun suami tetap menjadi pimpinan, maka biasanya hanya sekedar formalitas saja.

Lebih parah lagi manakala yang berpenghasilan adalah istri, sedangkan suami nganggur alias tidak bekerja, dan betapa banyak rumah tangga seperti ini di zaman ini, akibatnya kepemimpinan mutlak dipegang oleh istri sebagai penafkah keluarga berikut segala hal yang menjadi buntutnya, akhirnya suami hanya berposisi sebagai seksi sibuk di belakang, mengurusi rumah tangga dan hal-hal yang berkaitan dengannya, maka lahirlah sebuah nama untuknya sebagaimana dalam judul tulisan ini. Sebuah keadaan rumah tangga yang tidak diharapkan karena ia jauh dari titik ideal, namun bagaimana bila kedua belah pihak merasa nyaman dengan peran terbalik seperti itu? Wallahu a’lam.