عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم: ” أنه نهى عن النذر وقال: إنه لا يأتي بخير وإنما يستخرج به من البخيل” متفق عليه.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Sesungguhnya beliau melarang nadzar, dan beliau berkata:”Sesungguhnya nadzar tidak mendatangkan kebaikan, dan dia hanyalah muncul dari orang yang bakhil.” (Mutafaq ‘alaihi)

Nadzar secara bahasa berarti mewajibkan sesuatu kepada dirinya sendiri dengan sesuatu yang pada asalanya tidak wajib. Secara istilah berarti seseorang mukalaf (hamba yang mendapat beban syariat) yang tidak dalam keadaan dipaksa mewajibkan kepada dirinya sendiri sesuatu yang pada asalnya tidak wajib secara syariat.

Hukum Nadzar:

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nadzar menjadi dua pendapat:

1. Makruh, ini adalah pendapat mazhab Malikiyah dan mereka mengkhususkan hukum tersebut pada nazhar mu’alaq (nadzar bersyarat), yaitu nadzar yang terjadi kalau mendapatkan nikmat yang diinginkan atau terselamatkan dari bencana yang ditakuti. Contohnya: Saya bernadzar untuk berpuasa sunah kalau lulus ujian, atau saya akan bershadaqah kalau sembuh dari sakit dan lain-lain. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma:

” أنه نهى عن النذر وقال: إنه لا يأتي بخير وإنما يستخرج به من البخيل” متفق عليه.

”Sesungguhnya nadzar tidak mendatangkan kebaikan, dan dia hanyalah muncul dari orang yang bakhil.” (Mutafaq ‘alaihi)

Dan jumhur ulama dari kalangan Hanabilah (mazhab imam Ahmad), sebagian besar ulama Syafi’iyah, Ibnu Hazm azh-Zhahiry dan Ibnul Mubarak berpendapat dengan pendapat ini (makruh).

2. Nadzar adalah ibadah yang disyariatkan. Ini adalah pendapat sejumlah ulama Syafi’iyah di antaranya al-Qadhi, al-Ghazali, al-Mutawali, ar-Rafi’i dan itu adalah pendapat Hanafiyah. Dalil mereka adalah ayat-ayat yang memuji orang-orang yang memenuhi nadzarnya, di antaranya:

يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا

”Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insaan: 7)

(وليوفوا نذورهم)

“Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al Hajj : 29)

Dan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang tercantum dalam Shahih al-Bukhari dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

( من نذر أن يطيع الله فليطعه ومن نذر أن يعصه فلا يعصه)

”Barang siapa bernazar untuk mentaati Allah, maka hendaklah dia mentaati-Nya, dan barang siapa yang bernadzar maksiat, maka janganlah dia berbuat maksiat kepada Allah.”

Syaikh ‘Abdul Muhsin bin ‘Abdullah az-Zamil hafizhahullah dalam syarah kitab Bulughul Maram berkata:”Para ulama berbeda pendapat dalam hukum nadzar, apakah dia haram, makruh, atau mubah?” Maka di dalamnya ada perbedaan pendapat; sebagian mereka berkata bahwa hukumnya sunnah. Akan tetapi hukumnya berkisar antara makruh dan haram, dan yang lebih dekat adalah makruh karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang nadzar. Dan sabda beliau (dalam hadits di atas):

يستخرج به من البخيل

”(nadzar) Hanyalah muncul dari orang yang bakhil (pelit).”

Dan sifat bakhil adalah sifat tercela yang hendaknya setiap muslim terbebas darinya, khususnya dalam hal-hal yang dimaksudkan dengannya wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan di antara mereka ada yang membagi antara nadzar mu’alaq (nadzar bersyarat) dan nadzar mubram (tidak bersyarat). Maka mereka berkata:”Apbila nadzarnya mu’alaq maka hukumnya makruh, dan apabila mubram, tidak mu’alaq maka boleh atau dianjurkan (sunnah).

Nadzar mu’alaq seperti seseorang berkata:”Apabila Allah menyembuhkan sakitku, apabila aku mendapatkan apa yang aku inginkan maka aku akan berpuasa untuk Allah sehari, atau akau akan umrah atau haji.” Maka nadzar jenis ini menjadikan nadzar sebagai imbalan/ganti apa yang telah Allah berikan berupa kesembuhan, dan dia tidak akan berbuat ketaatan kepada Allah kecuali kalau ada imbalannya. Hal ini berbeda dengan orang yang berkata:”Aku bernadzar akan berpuasa sehari, aku akan shalat dua raka’at, atau aku akan haji (tanpa ada syarat).”Maka mereka mengatakan ini hukumnya tidak mengapa (boleh). Dan yang lebih nampak –Wallahu A’lam- bahwasanya hukum nadzar itu terlarang secara mutlaq, sama saja apakah ia mu’alaq ataupun mubram.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, ketika ditanya tentang hukum nadzar beliau berkata:”Nadzar hukumnya dilarang (dilarang bisa berarti makruh, atau bisa berarti haram), dan tidak seharusnya seseorang bernadzar, akan tetapi kapan seseorang diberi rizqi beruapa kebaikan maka hendaklah dia bersyukur kepada-Nya dengan menunaikan ketaatan berupa shalat dan yang lainnya. Adapun nadzar maka terlarang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(لا تنذروا فإن النذر لا يرد من قدر الله شيئاً، وإنما يستخرج به من البخيل) متفق على صحته

”Janganlah kalian bernadzar, karena sesungguhnya nadzar itu tidak dapat menolak takdir Allah sedikitpun, akan tetapi hal itu (nadzar) hanyalah muncul dari orang yang bakhil.”

Maka seorang mukmin hendaklah meninggalkan nadzar, akan tetapi apabila dia telah bernadzar daengan nadzar untuk suatu ketaatan maka wajib baginya untuk menunaikannya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji (menyanjung) orang-orang yang memenuhi nadzar ketaatan. Allah berfirman:

يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا

”Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insaan: 7)

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(من نذر أن يطيع الله فليطعه، ومن نذر أن يعصي الله فلا يعصيه) خرجه البخاري رحمه الله في صحيحه

”Barang siapa bernazar untuk mentaati Allah, maka hendaklah dia mentaati-Nya, dan barang siapa yang bernadzar maksiat, maka janganlah dia berbuat maksiat kepada Allah.”(Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah)

Maka kalau dia bernadzar untuk shalat ini dan itu, puasa senin kamis, atau apabila dikaruniai anak akan bersedekah dengan sekian dan sekian atau apabila menikah akan bersedekah maka dia harus memenuhi nadzarnya, itu apabila nadzarnya berupa ketaatan kepada Allah sebagaimana telah disebutkan. Adapun kalau dia bernadzar untuk minum khamr (minuman keras), mencuri, atau berzina maka ini adalah nadzar munkar, tidak boleh dilakukan. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(من نذر أن يعصي الله فلا يعصيه)

”Barang siapa yang bernadzar maksiat kepada Allah, maka janganlah dia berbuat maksiat kepada-Nya.”

Dan wajib baginya membayar kaffarot (denda) sumpah, menurut pendapat yang terkuat di antara dua pedapat ulama tentang hukum nadzar buruk ini. Adapun nadzar mubah (boleh) maka dia diberi pilihan, kalau dia mau dia boleh melakukannya dan kalau tidak, dia boleh membayar kaffarot. Nadzar mubah seperti seorang berkata:’Aku bernadzar kepada Allah bahwa saya akan makan makanan ini, atau aku akan bermalam ditempat ini, atau aku akan safar (bepergian) di hari ini dan lain-lain, maka dia diberi pilihan untuk melakukan nadzarnya atau untuk membayar kaffarotnya. Dan kaffarot nadzar sebagaiman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

(كفارة النذر كفارة اليمين)

”Kaffarot nadzar adalah (sama dengan) kaffarot sumpah.”

Faidah hadits:

1 .Larangan melakukan nadzar, dan larangn (pada asalnya) menunjukkan keharaman, akan tetapi larangan tersebut beralih dari haram menjadi makruh karena adanya dalil-dalil (ayat-ayat al-Qur’an) yang memuji orang-orang yang memenuhi nadzarnya.

2 .Alasan dalam larangan tersebut adalah “Sesungguhnya nadzar tidak mendatangkan kebaikan, dan dia hanyalah muncul dari orang yang bakhil.” Yaitu orang yang tujuan maksimalnya hanyalah menunaikan kewajiban, dan berat baginya ibadah selain itu berupa fadhail a’mal (keutamaan-keutamaan amalan).

3 .Termasuk salah satu hal yang menyebabkan nadzar itu dibenci adalah bahwa orang yang bernadzar telah melakukan tawar menawar dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa apabila dia mendapatkan apa yang diinginkan dan terbebas dari apa yang ditakuti, maka dia akan beribadah dan apabila tidak tercapai keinginannya dia tidak akan beribadah. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala Mahakaya dan tidak membutuhkan ketaatan dan ibadah dari para hamba-Nya.

4 .Nadzar tidak bisa menolak takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala sedikit pun, akan tetapi kadangkala nadzar (secara kebetulan) bertepatan dengan diperolehnya sesuatu yang diinginkan dan terhindarnya dari sesuatu yang dibenci, maka orang yang bernadzar menganggap hal tersebut disebabkan karena nadzarnya yang dia lakukan untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

5 .Seorang muslim pada asalnya dalam kondisi yang lapang, maka apabila dia bernadzar untuk melakukan salah satu kewajiban, maka dia telah mewajibkan kepada dirinya sendiri sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah kepadanya. Dan kadang kala dia tidak bisa menunaikan kewajiban itu dan akhirnya dia mendapatkan dosa (karena nadzarnya itu)

6 .Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperhitungkan kewajiban-kewajiban-Nya kepada hamba-hamba-Nya sesuai dengan kadar kemampuan mereka. Dan Dia menjadikan yang lebih dari itu sebagai sebuah nafilah (ibadah sunnah), karena hal itu keluar dari (batasan) apa yang harus dia tanggung (pikul) berupa kewajiban.

Dan ini adalah pembahasan yang sangat luas, barang siapa yang meneliti dan mencermatinya dia akan mengetahui bahwa apabila seorang hamba memasukkan dirinya kepada apa-apa yang tidak diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia telah mejerumuskan dirinya ke dalam perbuatan tidak memenuhi janji, dan dia tidak akan melakukan apa yang telah dia wajibkan untuk dirinya kecuali sedikit. Hal itu dikarenakan sikap meremehkan, dan halangan-halangan (hambatan) dari syaithan, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisyaratkan tentang sedikitnya orang yang memenuhi janji dalam firman-Nya:

مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَاعَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ …{23}

”Di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah…” (QS. 33:23)

7.Bab nadzar termasuk salah satu masalah “Gaharaaib al-’lmu” (masalah yang langka), karena nadzar melakukannya (mengucapakan) adalah makruh dan memenuhinya (menepati) adalah wajib. Padahal hukum asalnya sarana itu hukumnya sama daengan tujuan, akan tetapi hikmah Allah justru nampak dalam hal itu (dalam msalah nadzar).

8.Nadzar makruh adalah apabila nadzar dalam ketaatan kepada Allah, adapun apabila nadzar dipersembahkan untuk orang mati, kuburan, thagut dan syaithan dan selainnya, maka ini adalah kesyirikan, dan kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kemurkaan-Nya dan dari sebab-sebab yang mendatangkan kemurkaan-Nya.

9. Kaffarot sumpah adalah sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala yang disebutkan dalam al-Qur’an:

( لا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ) المائدة / 89 .

”Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikian Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur(kepada-Nya).” (QS. Al-Maaidah: 89)

Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa kaffarot sumpah adalah pilihan di antara tiga hal:

1.Memberi makan 10 orang miskin dengan makanan standar yang kita berikan kepada keluarga kita. Maka setiap orang miskin mendapatkan satu sha’ dari bahan makanan daerah tersebut seperti beras dan sebagainya. Ukuran satu sha’ kira-kira 1 1/4 kg, maka apabila mereka terbiasa memakan nasi dan lauk maka diberi juga lauknya. Seandainya dia mengumpulkan sepuluh orang miskin dan menjamu mereka makan siang atau makan malam maka hal itu sudah mencukupinya.

2. Memberi pakaian 10 orang miskin, dan pemberian pakaian kepada 10 orang tersebut adalah pakaian yang dapat digunakan untuk shalat. Maka untuk laki-laki adalah diberikan baju atau sarung dan untuk perempuan pakaian ynag menutup seluruh tubuh dan kerudung (jilbab).

3. Membebaskan budak yang beriman
Dan apabila tidak mampu melakukan salah satu dari 3 hal di atas, maka dia harus berpuasa 3 hari berturut-turut.
(Sumber: Diterjemahkan dari Taudhil Ahkam syarah Bulughul Maram, Fatawa Syaikh Bin Baz dari www.binbaz.org.sa Syarah kitab Bulughul Maram , Syaikh ‘Abdul Muhsin bin ‘Abdullah az-Zamil dari http://www.taimiah.org. oleh Abu Yusuf Sujono)