Kebahagiaan adalah cita-cita setiap insan, tua, muda dan anak-anak semua menginginkan kebahagian baik ketika di dunia, apalagi ketika di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan jalan untuk meraih kebahagiaan yang selayaknya ditempuh oleh para pendamba kebahagiaan. Di dalam sebuah hadits dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ : الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ، وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاوَةِ: الْجَارُ السُّوءُ، وَالْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوءُ

“Empat hal dari kebahagiaan; Istri yang shalihah (baik), tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal dari kesengsaraan; Tetangga yang buruk, istri yang buruk, rumah yang sempit, dan kendaraan yang buruk”. (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 4032. Hadits shahih)

 

Empat hal penyebab kebahagiaan di dunia

Hadits di atas menjelaskan akan empat hal yang menjadi standar umum kebahagiaan di dunia, yang akan menghantarkannya kepada kebahagian di akhirat kelak. Empat hal itu ialah:

 

  1. Istri yang shalihah

Istri yang baik merupakan idaman bagi setiap suami, karena kehidupan berumah tangga akan selalu membutuhkan seorang istri yang baik. Istri yang baik akan menjadikan keluarga damai, tentram dan bahagia. Istri yang baik akan mampu mendidik anak-anaknya dengan baik hingga mereka tumbuh menjadi generasigenerasi yang shalih dan shalihah. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan wanita shalihah sebagai sebaik-baik perhiasan dunia. Beliau bersabda:

الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

 “Dunia itu kenikmatan, dan sebaik-baik kenikmatan dunia adalah wanita (istri) yang shalihah (baik).” (HR. Muslim no. 1467).

Istri yang baik akan membantu seorang suami dalam meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang harta benda yang perlu diambil. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِينُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الْآخِرَةِ

 “Hendaknya seorang diantara kalian mengambil hati yang bersyukur, lisan yang berdzikir (selalu ingat Allah), dan istri yang beriman yang akan membantu salah seorang diantara kalian atas urusan akhirat”.(HR. Ibnu Majah dalam Sunannya no. 1856. Hadits shahih).

Sementara istri yang buruk agama dan perangainya, maka ia akan membuat beban kehidupan dunia suaminya semakin berat, bahkan menjadikan sebagian suami cepat beruban sebelum masanya. Karena tidak ada dalam pikirannya, kecuali segudang problema. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pun berlindung dari keburukan istri.

اللهمَّ إني أعوذُ بك من جار السوءِ ، ومن زوجٍ تُشَيِّبُني قبل الْمَشيبِ ، ومن ولدٍ يكون عليَّ رَبًّا ، ومن مالٍ يكون عليَّ عذابًا ، ومن خليلٍ ماكرٍ عينُه تراني ، وقلبُه يرعاني ؛ إن رأى حسنةً دفنَها ، وإذا رأى سيئةً أذاعَها

 “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari tetangga yang buruk, dari istri yang membuatku beruban sebelum masanya, dari anak yang menjadi tuan bagiku, dari harta yang menjadi siksaan atasku dan dari kawan yang berbuat makar; matanya memandangiku, sedang hatinya mengawasiku. Jika ia melihat kebaikan, maka ia tanam (sembunyikan) dan jika melihat keburukan, maka ia menyebarkannya”. (HR. ath-Thabrani no. 1339. Hadits hasan).

 

  1. Tempat tinggal yang luas

Yang dimaksud tempat tinggal yang luas adalah tempat tinggal yang banyak memberi manfaat bagi penghuninya, yang membuat hati penghuninya menjadi lapang dan tidak sempit. Karena, sempitnya dada akan menghalangi dari berbagai macam kebaikan. Sehingga standar luasnya suatu tempat tinggal berbeda antara satu orang dengan orang lain. Sebab, terkadang luas bagi seseorang, namun sempit bagi yang lain atau sebaliknya. (Lihat Takhrij al-Musnad no. 15372, dan Faidh al-Qadir 3/302).

Sementara rumah yang sempit umumnya akan membuat hati terasa sempit, menciptakan kegelisahan dan menyibukkan pikiran. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa di suatu malam seraya berkata:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي وَوَسِّعْ لِي فِي دَارِي وَبَارِكْ لِي فِيمَا رَزَقْتَنِي

“Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, berilah keluasan bagiku dalam rumahku dan berkahilah rezeki yang Engkau berikan kepadaku.” (HR. at-Tirmidzi dalam Sunannya no. 3500. Hadits hasan).

Namun keluasan rumah tergantung kepada keluasan hati seorang hamba. Jika ia bersyukur dengan rumah yang diberikan kepadanya, bagaimanapun ukurannya, maka ia selalu merasakan lapang. Tak heran bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan rumah yang begitu sederhana, tapi beliau merasakan kebahagiaan dan kelapangan, karena hati beliau lapang dan selalu bersyukur terhadap pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Seorang tabi’in yang bernama Dawud bin Qais al-Farra’ berkata:

رَأيتُ الحُجراتِ مِن جَريدِ النَّخلِ مُغَشَّاة مِن خَارجٍ بِمُسُوح الشَّعْرِ، وَأظُنُ عَرْضَ البَيتِ مِن بَاب الحُجرةِ إِلَى بَاب البيتِ نَحْوًا مِن سِتِ أَو سبعِ أَذرعٍ، وأحْزِرُ البيتَ الدَّاخِلَ عَشْرَ أَذرعٍ، وأَظنُّ سُمكَهُ بَين الثَّمانِ والسَّبْعِ نَحوَ ذَلك، ووقَفتُ عِند بَاب عَائشةَ فَإذا هُو مُستَقبِلُ المَغربِ

 “Aku telah lihat rumah-rumah (milik istri Rasulullah) yang terbuat dari pelepah kurma dalam keadaan tertutup dari luar dengan jalinan bulu. Aku perkirakan lebar rumah beliau dari pintu kamar sampai pintu rumah sekitar enam sampai tujuh hasta. Aku ukur rumah beliau dari dalam sekitar 10 hasta. Aku perkirakan tingginya antara delapan dan tujuh sekisaran itu. Aku berdiri di pintu A’isyah, ternyata pintunya menghadap ke barat”. (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no. 451. Hadits shahih).

Seseorang boleh saja memperluas ukuran rumahnya sesuai hajat dengan cara yang dibenarkan agama. Namun, perlu dipahami bahwa keimanan dan amal saleh merupakan asas kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam walaupun dengan kehidupan yang sederhana tersebut, namun beliau adalah manusia yang paling bahagia hidupnya. Jadi, luas sempitnya rumah bukanlah ukuran hakiki kebahagian bagi seorang hamba!!

 

  1. Tetangga yang shalih (baik)

Al-Imam Abul Hasan As-Sindiy berkata, “Tetangga yang shalih adalah tetangga yang mendorongnya untuk selalu berdzikir (mengingat Allah), bertakwa dan menyadarkannya dari kelalaian dan hawa nafsu.” (Lihat Takhrij al-Musnad no. 15372).

Karenanya seorang muslim harus pandai memilih tetangga yang akan menjadi pendamping kehidupan sosialnya. Tetangga memiliki pengaruh yang luar biasa bagi tetangga lainnya. Jika tetangga baik, maka tetangga lain akan terbawa baik. Namun jika tetangga buruk, maka tetangga lain akan ikut terbawa buruk, dan tetangga yang buruk bukan hanya mempengaruhi dirinya, namun juga anak-anak dan keluarganya, maka dari itu seorang muslim perlu berhati-hati ketika mencari rumah dan tetangga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari tetangga yang buruk dalam sebuah doanya:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ جَارِ السُّوءِ فِي دَارِ الْمُقَامِ ، فَإِنَّ جَارَ الدُّنْيَا يَتَحَوَّلُ

 “Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari tetangga yang buruk di negeri kediaman. Karena tetangga dunia akan berpindah”. (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no. 117. Hadist hasan).

 

  1. Kendaraan yang nyaman

Kendaraan yang nyaman adalah kendaraan yang cepat, tidak lamban, namun tidak terlalu kencang dan kasar larinya sehingga ditakutkan jatuh, penatnya anggota tubuh dan tidak mengganggu kenyamanan. (Lihat Faidh Al-Qadir 3/302 oleh Al-Munawi).

Adapun kendaraan yang buruk, maka ia lebih banyak membuat capek dan lelah dalam mengurusinya, membuat ia sibuk dengannya, melalaikannya dari mengerjakan berbagai jenis ibadah dan ketaatan atau paling tidak akan membuat kita lambat dalam mendatangi kebaikan. Inilah kebahagiaan dunia, jika seseorang mendapatkan empat hal yang disebutkan dalam hadits ini, maka hidupnya akan nyaman, indah, nikmat dan bahagia. Wallahu A’lam. (Sudarto, Lc., M.HI.).

 

Referensi: 

  1. Al-Adab al-Mufrad.
  2. Faidh al-Qadiir lil Munawi.
  3. Majmu’ al-Fatawa, dll.