Dahulu ada tradisi sebagian kaum wanita mencukur habis rambut kepala mereka di kala mendapat musibah sebagai ungkapan rasa duka-cita, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hal itu. Abu Musa radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berlepas diri dari wanita shaliqah dan wanita haliqah.” Shaliqah artinya: wanita yang berteriak di saat ditimpa musibah, sedangkan haliqah artinya: wanita yang mencukur habis rambutnya di saat mendapat musibah.

Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Qatadah dari ‘Ikrimah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang perempuan mencukur rambutnya.”

Dari dua hadits di atas jelas sekali terlarangnya perempuan mencukur rambutnya tanpa ada alasan yang benar atau karena darurat, seperti kepala diserang koreng atau bisul yang pengobatannya mengharuskan rambut kepala dicukur. Adapun mencukur rambut karena sekedar kemauan dan selera diri tidak ada alasan syar’i, maka hukumnya makruh.

Selain membuat wanita yang gundul itu tercemar dan tidak dapat diterima oleh pandangan orang lain, mencukur rambut itu juga dapat membuat perempuan mondar-mandir ke salon umum atau tukang cukur rambut yang kebanyakannya adalah kaum pria, di situ ia secara suka rela atau terpaksa kepalanya terbuka di hadapan tukang cukur yang memegang rambutnya dan menyentuh tubuhnya. Hal ini sudah barang tentu merupakan kemunkaran, karena tukang cukur sendiri tidak mempunyai ikatan dengan si perempuan yang memperbolehkannya menyentuh bagian tubuhnya. Perbuatan seperti itu tidak akan dirido’i oleh seorang wanita terhormat, di samping memang tidak dibenarkan oleh Syari’at agama.