Pertikaian antara suami-istri itu sering terjadi karena berbagai sebab, dan hubungan suami istri (rumah tangga) itu pun terpengaruh sesuai dengan kadar pertikaian yang terjadi, hingga terkadang terjadi di antara mereka rasa tidak suka yang dapat menyebabkan kehidupan rumah tangga yang harmonis menjadi kehidupan yang tidak mempunyai rasa kebahagiaan dan keharmonisan. Gejala seperti ini biasanya menjadi awal menuju berakhirnya suatu kehidupan yang kebahagiaan yang tidak akan bertahan kecuali dalam naungan rasa cinta dan rasa saling mema’afkan kesalahan dan kehilafan, dan kecuali adanya upaya mencari pemecahan terhadap problema yang terjadi sebelum menjadi kronis. Saling menghargai di antara keduanya dan bergaul dengan baik adalah merupakan faktor utama yang paling kuat yang dapat mencegah terjadinya problema di antara mereka, sekalipun pasti akan ada hal-hal kecil yang kadang-kadang timbul, seperti istri tidak mematuhi suami dengan meremehkan haknya dan keluar rumah tanpa alasan yang benar.

Seorang istri yang tidak patuh kepada suami tanpa alasan yang benar itu disebut wanita durhaka (nasyiz).

Sudah barang tentu pelecehan istri terhadap hak suami dan sikap tidak patuh kepadanya adalah merupakan masalah yang dapat mengundang suami berfikir untuk melakukan pemutusan hubungan. Agar hal yang tidak diinginkan itu tidak terjadi, maka Islam sangat berupaya keras melakukan penyatuan kembali atau mengakurkan hubungan di antara mereka berdua agar perceraian tidak terjadi, maka sebelum rumah tangga hancur tanpa sebab yang dapat diterima akal sehat dan agar tidak terjadi penyesalan pada salah satu di antara mereka atas tekad cerai, Islam di samping memerintahkan pengupayaan bermu’asyarah dengan baik, juga menganjurkan agar menempuh langkah-langkah berikut ini:

  • Pengarahan yang bijaksana yang dilakukan suami yang mengarah untuk meluruskan prilaku istri, di samping ia juga hendaknya menunjukkan perlakuan baik terhadap istrinya.

  • Berpisah di atas tempat tidur, berbaik dari istri (memunggungi). Jika cara ini tidak mujarab, maka hendaknya melakukan cara berikut:

  • memberikan hukuman fisik yang tidak mencederai, tidak menyakiti secara berlebihan. Hukuman fisik adalah merupakan alat terapi yang mengandung rasa pahit, namun perlu dilakukan. Allah tidak memerintahkannya kecuali hal itu mempunyai maslahat.

Lalu apabila ketiga langkah ini semua tidak berguna, maka masalahnya dikeluarkan dari lingkup suami istri lalu diangkat ke pengadilan, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang lagi dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu.”. Pada kondisi seperti ini masing-masing dari keluarga istri dan suami turut andil melakukan upaya memecahkan pertikaian dan melakukan ishlah di antara mereka. Semua itu dilakukan demi utuhnya ikatan berumah tangga, terhindar dari segala sesuatu yang dapat mengancam keutuhan dan eksistensi keluarga. Yang demikian itu apabila “kedurhakaan” terjadi dari pihak istri.

Adapun jika kedurhakaan itu terjadi dari pihak suami, seperti secara sengaja dia melecehkan istrinya tanpa alasan, maka istri hendaknya berupaya melakukan ishlah dengan suaminya, seperti dengan cara mengkompromikan sebagian apa yang telah menjadi haknya, seperti memberikan sebagian mahar, membiarkannya tidak tidur bersamanya untuk beberapa hari atau mengkompromikan masalah nafkah agar sang istri tetap berada di bahwah naungan suami, atau sang istri menyerahkan semua hak-haknya agar suami mau menceraikannya, sebagaimana hal itu difirmankan oleh Allah Subhaanahu Wata’ala, “Maka tidak berdosa bagi keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah: 229). Maka jika hal itu terjadi sesuai dengan kerelaan istri, maka pembayaran itu halal bagi suami.

Namun suami tidak boleh mempersulit istri dengan maksud agar istri secara terpaksa akan melakukan penebusan diri dengan harta yang ia miliki. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,

وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ

“Dan janganlah kamu menyusahkan mereka (istri) karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya.” (An-Nisa’: 19).

Kecuali kalau istri melakukan tindak kriminal zina (perselingkuhan), maka dalam kondisi seperti ini suami boleh melakukan tekanan kepada istri agar ia membayar tebusan dirinya. Dan suami berhak untuk melakukan tekanan terhadap istrinya sebagai imbalan atas pengkhianatannya, sehingga istri rela mengembalikan mahar yang pernah ia terima dari suami. Dan di saat tidak mungkin lagi dilakukan perdamaian antara suami-istri, maka tidak ada pilihan lain selain memisah istri dengan cara yang baik, sebagaimana firman Allah,

فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

“Boleh rujuk dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik pula.” (Al-Baqarah: 229).