DALIL KEDUA BELAS: PEMBAHASAN DAN BANTAHANNYA

Maliki menyebutkan dalil kedua belas, dengan berkata,
“Perayaan Maulid dianggap baik ulama dan kaum Muslimin di seluruh negeri dan dikerjakan di seluruh pelosok. Karena itu, perayaan Maulid itu perintah syar’i, berdasarkan kaidah dari hadits mauquf dari Ibnu Mas’ud, ‘Apa saja yang dipandang baik oleh kaum Muslimin maka juga baik menurut Allah dan apa saja yang dipandang jelek oleh kaum Muslimin maka jelek juga menurut Allah’.”

Kita bertanya kepada Maliki, siapa ulama dan kaum Muslimin yang memandang baik perayaan Maulid? Apakah mereka sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Tentu, tidak. Apakah mereka generasi tabi’in? Tentu, tidak. Apakah mereka generasi tabi’ tabi’in? Tentu, tidak. Adakah ada ulama dan kaum Muslimin dari ketiga generasi cemerlang tersebut yang menyelenggarakan perayaan Maulid? Apakah mereka imam-imam hadits dan syarahnya, seperti Al-Bukhari, Muslim, An-Nasai, Ahmad, Ibnu Majah, At-Tirmidzi, Abu Dawud, Al-Baihaqi, Ath-Thabrani, dan imam-imam hadits dan para perawi lain yang tahu betul Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menyiapkan diri untuk mempelajarinya dan membuang apa saja yang bukan termasuk bagiannya? Tentu, tidak. Apakah mereka ulama tafsir, seperti Ibnu Katsir, Ibnu Jarir, Al-Baghawi, Al-Qurthubi, Ibnu Al-Arabi, dan lain-lain? Tentu, tidak. Apakah mereka para pemimpin Qaramithah, Fathimiyah, dan Rafidah dengan segala sektenya? Tentu, ya. Apakah mereka para pemeluk tarikat, seperti Tijaniyah, Sanusiyah, Rifaiyah, Syadziliyah, Naq-syabandiyah, dan lain-lain? Jawabnya, ya. Apakah mereka orang-orang awam yang ditipu Maliki beserta kelompok dan para pendahulunya yaitu para dai bid’ah? Jawabnya, ya. Jika demikian, maka masalahnya seperti kita katakan sebelumnya dan juga diakui Maliki sendiri bahwa perayaan Maulid itu bid’ah, karena tidak pernah ada pada jaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tapi, ia melawan dirinya sendiri, dengan mengatakan kaum Muslimin dan ulama memandang baik perayaan Maulid. Faktanya, perayaan Maulid tidak pernah dikerjakan pada jaman terbaik dan pilihan, yaitu tiga generasi terbaik: sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in. Sekali lagi, perayaan Maulid tidak pernah terjadi pada mereka. Itu nukilan orang yang bodoh kuadrat. Siapa sich kaum Muslimin yang berwenang menganggap baik atau buruk seperti disebutkan di hadits Ibnu Mas’ud di atas? Apakah mereka orang-orang Qaramithah, Fathimiyah, dan orang-orang sufi, yang akalnya dijadikan sarang bertelur setan hingga rusak, lalu kebaikan menurut mereka ialah apa saja yang dipandang baik oleh setan dan keburukan ialah apa saja yang dianggap buruk oleh setan?

Apakah Maliki beserta kelompok, pendukung, syaikh, dan imam-imamnya, sanggup membawa kepada kita satu perkataan, atau perbuatan, atau dalil yang menganggap baik perayaan Maulid dari generasi salaf: generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in, orang-orang shalih umat ini, para fuqaha’, pakar hadits, orang-orang zuhud, dan ahli ibadah. Ia tidak akan mampu meme-nuhi tantangan kita. Bagi kita, tantangan ini sudah cukup, sebab kita percaya sangat bermanfaat. Kita merasa cukup dengannya, daripada berdiskusi dengan Maliki tentang validitas dan makna atsar dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Kita tutup dalil ini dengan perkataan Asy-Syathibi dalam masalah ini. Di satu bab bukunya, Al-I’tisham, ia mengemukakan perbedaaan antara bid’ah, istihsan, dan mashalih mursalah yang dianut sebagian ulama. Lalu, berdasarkan keduanya, mereka (ahli bid’ah) berpendapat bid’ah itu disyariatkannya. Kita petik perkataan Asy-Syathibi seperlunya dan menyarankan pembaca untuk merujuk secara langsung pada buku tersebut. Asy-Syathibi berkata,

“Bab kedelapan tentang perbedaan antara bid’ah, mashalih mursalah, dan istihsan. Pembicaraan hal ini terpaksa dilakukan, saat merenungkan apa itu bid’ah dan apa saja yang tidak bid’ah. Sebagian besar manusia menganggap mashalih mursalah bid’ah dan mengklaim itu pendapat sahabat dan tabi’in. Mereka menjadikannya dalil dalam ibadah-ibadah yang mereka ciptakan. Sebagian orang membagi bid’ah sesuai dengan pembagian hukum-hukum syariat. Mereka mengatakan bid’ah ada yang wajib dan sunnah. Menurut mereka, di antara bid’ah wajib ialah menulis mushaf dan lain-lain. Di antara contoh bid’ah sunnah ialah mengadakan shalat Tarawih secara berjama’ah dengan satu imam.

Arti mashalih mursalah ialah menganggap pas sesuatu yang tidak diperkuat dalil tertentu. Dengan arti seperti itu, mashalih mursalah bukan merupakan dalil syar’i secara khusus. Juga bukan qiyas, yang jika dipaparkan pada otak, maka langsung diterima. Hal ini juga ada pada bid’ah yang dianggap baik. Menurut penciptanya, bid’ah mendatangkan kemaslahatan dalam agama dan di syariat secara khusus. Jika argumentasi ini betul, tentu mashalih mursalah dan bid’ah yang dianggap baik dapat dibenarkan. Sebab, sumber keduanya sama. Jika bid’ah tidak dianggap baik. Mashalih mursalah begitu juga.”

Asy-Syathibi menambahkan, “Inilah letak kesesatan ahli bid’ah dalam berhujjah di bid’ah mereka. Sangat urgen mengkaji letak kerancauan mereka, agar terlihat jelas bahwa mashalih mursalah bukan termasuk bid’ah. Dengan minta petunjuk Allah, saya katakan, makna munasib (pas) yang menjadi pengikat hukum terbagi ke dalam tiga bagian:

  • 1. Didukung syariat. Dalam hal ini, tidak ada keraguan kalau mashalih mursalah itu benar dan dapat diamalkan. Jika tidak didukung syariat, maka bertentangan dengan syariat. Misalnya penetapan qishash untuk melindungi jiwa, organ tubuh, dan lain sebagainya.

  • 2. Tidak didukung syariat dan malah menentangnya. Dalam hal ini, mashalih mursalah tidak boleh diterima, sebab munasib (kesesuaian) tidak dapat menetapkan hukum dengan sendirinya. Cara seperti itu metode orang-orang yang menganggap baik sesuatu berdasarkan akalnya. Jika maknanya terlihat jelas dan kita memahami punya kekuatan untuk menentukan hukum berdasarkan syariat, kita menerimanya. Menurut kita, makna mashlahah ialah sesuatu yang maslahatnya pada manusia bisa diketahui, yaitu mendatangkan maslahat dan menolak bahaya, dengan syarat akal yang bukan menjadi standar untuk mengetahuinya. Jika syariat tidak menyetujui makna tersebut dan menentangnya, maka tertolak menurut kesepakatan kaum Muslimin. Contohnya, apa yang dikisahkan Al-Ghazali dari salah seorang ulama terkemuka bahwa ia masuk menemui salah seorang sultan. Sang sultan bertanya kepada si ulama tentang hukum melakukan hubungan suami-istri pada siang hari bulan Ramadhan. Si ulama menjawab, ‘Engkau wajib berpuasa dua bulan berturut-turut.’ Setelah si ulama keluar dari tempat sultan, ia ditemui beberapa fuqaha’. Mereka berkata kepada si ulama, ‘Sultan mampu memerdekakan budak, bagaimana engkau menyuruhnya berpuasa dua bulan berturut-turut, sebab puasa dua bulan berturut-turut hanya jatah orang-orang yang tidak punya uang? Sultan sendiri punya budak tak bisa dihitung.’ Si ulama berkata kepada fuqaha’, ‘Jika saya katakan kepada sultan, engkau wajib memerdekakan budak. Tentu ia memerdekakan budak berkali-kali. Ia tidak kapok dengan memerdekakan budak dan hanya kapok dengan puasa dua bulan berturut-turut’.”

    Makna yang diungkap ulama tersebut betul, sebab tujuan kafarat dalam syariat ialah membuat jera orang. Raja hanya bisa dibuat jera dengan puasa dua bulan berturut-turut. Tapi, fatwa seperti itu batil, karena ulama berbeda pendapat dalam masalah kafarat. Ada yang mengatakan bebas memilih di antara bentuk-bentuk kafarat dan ada yang mengharuskan secara urut. Jadi, memerdekakan budak harus didulukan daripada puasa dua bulan berturut-turut, sedang yang dinyatakan mufti tadi tidak ada da-sarnya.

  • 3. Dalil-dalil khusus tidak memberi tanggapan apa-apa; tidak menguatkan atau menghapusnya. Dalam hal ini ada dua hal.

    Pertama, tidak ada nash yang sesuai dengan makna tersebut. Misalnya pendapat bahwa pembunuh pemberi warisan dilarang mendapat warisannya itu karena alasan muamalah, padahal tidak demikian. Karena tidak ada dalil yang menyetujuinya, maka illat tidak punya pengaruh apa-apa pada tindakan syariat terhadap dalil dan tidak sesuai dengannya. Jadi, alasan seperti itu tidak dapat dibenarkan dan tidak bisa dijadikan alasan untuk membuat hukum menurut kesepakatan kaum Muslimin. Penetapan seperti ini tidak dapat diterima.

    Kedua, sesuai dengan sikap pembuat syariat. Maksudnya, suatu makna punya jenis yang sama dengan jenis lain secara umum yang diakui pembuat syariat, tanpa dalil khusus. Inilah yang dimaksud dengan mashalih mursalah.”

Setelah itu, Asy-Syathibi menyebutkan sepuluh contoh untuk memperjelas perkataannya. Ia berkata,

“Berikut ini ada sepuluh contoh yang menjelaskan kepada Anda aspek praktis mashalih mursalah dan menjadi bekal bagi Anda dalam menangani masalah.

Pertama, sinkron dengan maksud-maksud syariat. Maksudnya, tidak bertentangan dengan salah satu prinsip dan dalil syariat.

Kedua, alasan hukumnya bisa dipahami akalm, yaitu yang bisa dipahami akal dan sesuai dengan korelasi-korelasi logis, yang jika dihadapkan pada akal maka akal menerimanya. Akal tidak dapat dijadikan dalil dalam urusan ibadah dan hal-hal syar’i, karena seluruh makna hal-hal ibadah tidak dapat dirasionalkan dengan detail. Misalnya, wudhu, puasa, dan shalat, pada waktu tertentu dan tidak pada waktu lainnya. Silakan berpikir, bagaimana ibadah ditetapkan dalam bentuk tertentu dan tidak sesuai dengan korelasi-korelasi?.

Tidakkah Anda lihat bersuci dengan aneka ragamnya itu masing-masing punya bentuk ibadah tersendiri dan sangat berbeda dengan apa yang terlihat di mata orang? Misalnya, kencing dan buang air besar itu najis. Jika keduanya keluar, maka seluruh organ wudhu harus dibersihkan, tidak hanya tempat keluar keduanya saja dan tidak seluruh organ tubuh. Jika air sperma dan darah haid keluar, maka seluruh tubuh harus dimandikan, tidak hanya tempat keluar keduanya, dan tidak hanya organ wudhu. Tanah yang jelas membuat kotor itu mengganti air yang tabiatnya membersihkan.”

Setelah itu, Asy-Syathibi memaparkan jenis-jenis ibadah; shalat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lain. Ia jelaskan bahwa penetapan ibadah itu murni berdasarkan ibadah dan maknanya tidak dapat dirasionalkan secara detail. Ia menyebutkan masalah ketiga dengan berkata,

Ketiga, tujuan mashalih mursalah ialah melindungi aspek-aspek urgen dan menghilangkan kesulitan yang selalu ada pada agama. Juga melindungi aspek-aspek urgen, sebab jika suatu kewajiban tidak sempurna dengan sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya wajib. Sesuatu tersebut merupakan sarana realisasi kewajiban. Karena, tujuan syariat itu memberi keringanan.

Asy-Syathibi menambahkan, “Jika semua syarat ini terpenuhi, maka dapat diketahui bid’ah tidak sama dengan mashalih mursalah. Sebab, tema mashalih mursalah itu sesuatu yang maknanya dapat dirasionalkan dengan detail dan ibadah pada hakikatnya tidak dapat dirasionalkan.”

Asy-Syathibi melanjutkan, “Jika mashalih mursalah bertujuan melindungi aspek-aspek urgen dengan memberi sarana atau meringankan, maka mashalih mursalah tidak mungkin menimbulkan bid’ah atau menambahkan hal-hal baru pada ibadah-ibadah sunnah. Bid’ah itu sarana, sebab merupakan bentuk ibadah yang sifatnya wajib dan tambahan atas ibadah yang ada. Dan, itu jelas tidak memberi keringanan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa bid’ah tidak boleh disejajarkan dengan mashalih mursalah. Inilah kesepakatan ulama. Juga dapat diketahui tujuan pembuat syariat tidak melimpahkan penetapan ibadah kepada pendapat manusia. Sikap mereka hanyalah menerima apa adanya. Menambahkan sesuatu pada ibadah adalah bid’ah. Begitu juga menguranginya.”

Asy-Syathibi melanjutkan, “Sedang istihsan, maka ahli bid’ah juga menyamakan bid’ah dengannya. Istihsan tidak terjadi kecuali berdasarkan dalil yang menganggapnya baik, apakah itu dari akal atau syariat. Adapun syariat, maka prosesnya menganggap baik atau buruk terhadap sesuatu itu sudah selesai. Ini tuntutan dalil. Jadi, tidak ada manfaatnya menamakan sesuatu dengan nama istihsan. Juga tidak perlu lagi menambahkan definisi tambahan pada Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan qiyas. Sekarang yang menganggap baik sesuatu itu hanyalah akal. Jika didasari dalil, maka penamaan istihsan tidak berguna lagi, karena berarti berdasarkan dalil dan bukan lainnya. Jika tidak berdasarkan dalil, maka itulah bid’ah yang dianggap baik. Ini diperkuat ulama pro istihsan bahwa istihsan itu dipandang baik oleh mujtahid untuk dikerjakan dan ia tertarik kepadanya berdasarkan akalnya. Menurut mereka, istihsan termasuk hal-hal yang dipandang baik dan disukai jiwa. Karena itu, diperbolehkan menentukan hukum berdasarkan konsekwensinya jika tidak ada dalil yang melarangnya. Menurut mereka, ada ibadah yang tidak berdasarkan dalil. Itulah bid’ah. Jadi, ini harus dibagi menjadi bagus dan buruk, sebab tidak semua yang dipandang baik itu bagus.”

Asy-Syathibi menambahkan, “Mereka berhujjah dengan tiga ayat. Salah satunya firman Allah Ta’ala, ‘Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepada kalian.’ (Az-Zumar: 55).

Firman Allah Ta’ala, ‘Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik.’ (Az-Zumar: 23).

Dan firman Allah Ta’ala, ‘Sebab itu, sampaikan berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.’ (Az-Zumar: 17-18).

Itulah yang dipandang baik oleh akal mereka.
Tentang sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Apa saja yang dipandang baik oleh kaum Muslimin maka juga baik menurut Allah dan apa saja yang dipandang jelek oleh kaum Muslimin maka jelek juga menurut Allah.’ Maksudnya, yang dipandang baik oleh akal mereka, karena jika sesuatu dipandang baik oleh dalil syar’i, maka tidak tergolong dalam hal baik yang mereka pandang. Kalian sendiri, menyatakan akal tidak berfungsi apa-apa di penetapan hukum syar’i. Karena itu, hadits di atas tidak bermanfaat dan menunjukkan apa yang mereka lihat dengan akal mereka.

Umat memandang baik masuk toilet umum tanpa ketentuan tarif, masa berada di dalamnya, berapa air yang dipakai, dan hal-hal lain. Hanya saja, menurut tradisi, itu tidak etis dilakukan. Karena itu, manusia tidak melakukannya. Padahal, kita yakin jika sewa fiktif atau masa sewa, atau jumlah sesuatu yang dibeli, itu tidak jelas, maka tidak diperbolehkan. Sewa toilet seperti itu dipandang baik, padahal bertentangan dengan dalil. Padahal, semestinya diperbolehkan jika tidak bertentangan dengan dalil. Banyak orang dalam masalah seperti ini terpeleset. Barangsiapa ingin membuat bid’ah, bisa saja ia berdalih, ‘Jika saya memandang baik ini dan itu, maka ulama selain saya juga memandangnya baik.’ Jika demikian masalahnya, maka hal ini harus diperhatikan khusus, agar orang bodoh tidak tertipu atau orang yang mengaku ulama.”

Setelah itu, Asy-Syathibi membuat definisi istihsan dan membahas seluruh definisinya, serta pendapat ulama tentang status dan syarat-syarat istihsan. Setelah itu, ia mengatakan, “Jika ini dapat dipahami, maka kita lihat dalil-dalil mereka. Pertama, di antara definisi istihsan ialah sesuatu yang dipandang baik oleh mujtahid untuk dikerjakan dan ia suka kepadanya berdasarkan akalnya.

Mereka berpendapat istihsan termasuk dalil-dalil hukum. Tidak diragukan, akal boleh mendatangkan dalil syar’i dalam hal ini. Bahkan, akal dapat saja berdalih bahwa apa saja yang terlintas di benak orang-orang awam, misalnya, itu hukum Allah pada mereka, lalu mereka diharuskan mengamalkannya berdasarkan alasan seperti itu. Tapi, itu tidak boleh dilakukan dan ibadah tidak pernah diputuskan dengannya. Jadi, mengklaim itu hukum Allah tidak dibenarkan, karena langkah awal pembuatan hukum berdasarkan akal.

Selain itu, kita tahu para sahabat membatasi diri mencermati peristiwa-peristiwa yang tidak ada dalilnya dalam mengeluarkan hukum dan mengembalikan masalah pada masalah-masalah yang mereka pahami sudah baku. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengatakan, ‘Aku putuskan masalah ini dengan ini, karena jiwaku tertarik kepadanya. Atau karena hal ini sinkron dengan kegemaranku.’ Jika ia berkata seperti itu, ia pasti dikecam habis-habisan dan dikatakan kepadanya, ‘Kenapa Anda putuskan sesuatu untuk manusia hanya berdasarkan kecenderungan jiwa?’ Ini jelas tidak benar.

Mereka berdiskusi, sebagian menyanggah pola pikir sebagian lain, dan membuat kaidah-kaidah syar’i. Jika hukum hanya didasari istihsan, maka diskusi tidak berguna lagi. Karena, manusia beda selera mereka terhadap makanan, minuman, pakaian, dan lain sebagainya. Mereka juga menjadi tidak perlu lagi mendebat sebagian lain kenapa air ini lebih enak daripada air lain. Syariat tidak seperti itu.

Faktanya, sebagian besar para pecinta bid’ah tidak suka mendebat seseorang, orang alim, atau siapa saja. Karena mereka khawatir borok mereka diketahui dan mereka tidak punya dalil syar’i untuk menyanggah. Kebiasaan mereka ialah jika mendapatkan orang alim atau bertemu dengannya, maka mereka berbasa-basi. Jika mereka bertemu orang bodoh dan awam, mereka berikan hal-hal meragukan dalam masalah agama, agar ia goyah dan agamanya serba kacau. Jika mereka melihat orang tersebut diliputi kebingungan, mereka berikan bid’ah mereka kepadanya secara bertahap dan mengecam ulama bahwa mereka pecinta dunia dan hanyut di dalamnya. Sedang kelompok mereka kelompok pilihan Allah. Tidak tertutup kemungkinan, mereka berhujjah dengan perkataan orang-orang sufi yang radikal demi kesuksesan tujuan mereka tersebut.”

Asy-Syathibi menambahkan, “Sedang dalil pertama, maka tidak ada sangkut pautnya. Sikap mengikuti paling baik ialah mengikuti dalil-dalil syar’i, terutama Al-Qur’an, sebab Allah Ta’ala berfirman, ‘Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya).’ Di Shahih Muslim disebutkan hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di khutbah beliau, ‘Amma ba’du, sesungguhnya perkataan paling baik ialah Al-Qur’an.’ Mereka perlu menjelaskan kecenderungan jiwa termasuk yang diturunkan kepada kita dan termasuk yang paling baik.

Firman Allah Ta’ala, ‘Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.’ Itu perlu dijelaskan bahwa kecenderungan jiwa merupakan perkataan. Jika itu telah dilakukan, maka perlu dikaji statusnya sebagai perkataan paling baik. Ini semua seperti dijelaskan sebelumnya tidak benar. Kita sanggah istihsan ini dengan mengatakan akal kita cenderung menolaknya. Tapi, itu bukan hujjah dan hujjah sebenarnya ialah dalil-dalil syar’i dari syariat. Jika istihsan dibenarkan, tentu istihsan oleh orang-orang awam dan orang-orang bukan ahli juga dibenarkan. Sebab dasar penentuannya hanya berdasarkan selera jiwa dan keinginan hawa nafsu. Ini mustahil bagi ilmu dan bertentangan dengan syariat, serta tidak menjadi salah satu dalilnya.

Sedang dalil kedua, maka tidak ada hujjah di dalamnya, karena alasan-alasan berikut:

  • 1. Sepintas, dalil tersebut menunjukkan apa yang dipandang baik oleh kaum Muslimin itu baik dan umat Islam tidak sepakat di atas kebatilan. Jika mereka sepakat sesuatu baik, maka sesuatu itu baik menurut syar’i, karena ijma’ termasuk dalil syar’i. Hadits di atas justru menyerang kalian.

  • 2. Hadits ahad dalam masalah-masalah dogmatis tidak bisa dijadikan hujjah.

  • 3. Jika istihsan tidak diinginkan orang-orang yang ahli ijma’ dan hanya diinginkan sebagian dari mereka, maka berarti istihsan oleh orang-orang awam itu dibenarkan. Ini tidak benar menurut ijma’ ulama.”

Asy-Syathibi menambahkan, “Penyamaan bid’ah dengan istihsan sama sekali tidak bermanfaat.”