DALIL KEDUA PULUH: PEMBAHASAN DAN BANTAHANNYA

Maliki menyebutkan dalil kedua puluh, dengan berkata,

“Perayaan Maulid itu upaya ingat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Menurut hemat kami, hal ini disyariatkan dalam Islam. Anda lihat mayoritas ritual haji itu untuk mengingatkan berbagai kejadian dan peris-tiwa terpuji. Sa’i antara Shawa dan Marwah, melempar jumrah, dan penyembelihan qurban di Mina. Itu semua kejadian-kejadian masa lalu yang direkontruksi kembali oleh kaum Muslimin dengan cara baru.”

Tadinya, kita berprasangka baik pada Maliki bahwa ia punya kualitas ilmu, pemahaman, dan nalar cukup baik. Setelah membaca tulisan tangannya yang durhaka, cacat, dan berlumuran racun, kita tahu dia sangat bodoh dan sesat, tentara iblis paling taat mengajak orang menyekutukan Allah dan menggiring umat kepada jahiliyah. Bahkan, ia melakukan tindakan yang tidak pernah dilakukan Abu Jahal, Abu Lahab, Ubai bin Khalaf, tokoh-tokoh syirik, kafir, dan durhaka lainnya. Maliki mengajak orang kepada jahiliyah yang mengingkari keesaan Allah Ta’ala dan rububiyah-Nya saat ia berserta pengikutnya menyeru bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mitra Allah dalam menggenggam kunci-kunci langit dan bumi, memiliki hak membagi lahan di surga, memiliki ilmu tidak terbatas, termasuk ilmu Lauh Mahfudz, pena, ruh, lima ilmu yang menjadi hak prerogatif Allah, kuburan beliau lebih mulia dari Ka’bah, malam kelahiran beliau lebih mulia dari Lailatul Qadar, beliau memiliki cahaya yang tiada bayangannya di bawah sinar matahari dan bulan, bualan dan kebatilan lainnya. Demikian pula hal-hal baru dan keanehan-keanehan yang ia se-butkan di bukunya yang jelek, Adz-Dzakhair Al-Muhammadiyah. Ia mengajak orang mengingkari keesaan Allah dan uluhiyah-Nya saat ia memberikan hal-hal suci kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal semestinya diberikan kepada Allah Ta’ala. Ia menganggap beliau tempat berlindung, pelenyap bencana besar, dan jika beliau tidak menghilangkan bencana, siapa lagi yang patut dimintai selain beliau?

Al-Bushairi, panutan Maliki, berkata,
“Hai orang paling mulia, aku tidak punya tempat berlindung
selain kepadamu saat terjadi musibah.”

Al-Bakri, guru Maliki yang lain, berkata,
Serulah beliau sesungguhnya krisis telah meningkat
Dan kondisi kritis semakin membesar
Hai orang paling mulia di sisi Tuhannya
Dan orang paling baik dijadikan sarana berdoa
Aku menderita sakit
Engkau seringkali menghilangkan petaka
Dan sebagiannya hilang sendiri
Hilangkan penyakitku dengan segera
Jika tidak, kepada siapa aku meminta?”

Saya menderita gara-gara sikap keras saya terhadap Maliki dan menjulukinya dengan sifat-sifat menyakitkan. Namun, ini marah di jalan Allah Ta’ala, sikap tegas di medan tauhid, ghirah terhadap hak-hak Allah, dan meneladani Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau orang yang besar kecemburuannya kepada hak-hak Allah, bersemangat menjaga keutuhan tauhid, dan antusias agar umat mengetahui kedudukan beliau seperti diberikan Allah kepada beliau.

Disebutkan di Sunan Nasai dengan sanad yang baik hadits dari Anas radhiallahu ‘anhu,

قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ يَا خَيْرَنَا وَابْنَ خَيْرِنَا وَسَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا. فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ. أَنَا مُحَمَّدٌ، عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِيْ فَوْقَ مَنْزِلَتِي الِّتِيْ أَنْزَلَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ.

“Beberapa orang sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, orang terbaik kami, anak orang terbaik kami, penguasa kami dan anak penguasa kami.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Wahai manusia, berkatalah secara wajar dan jangan sampai setan menjerumuskan kalian. Aku Muhammad. Aku hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak ingin kalian mengangkatku di atas kedudukan yang diberikan Allah Ta’ala kepadaku’.” (Diriwayatkan An-Nasai).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menolak ucapan mereka yang berlebihan dan berargumen bahwa setan masuk pada manusia untuk merusak agama mereka melalui jalan ini. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menutup jalan itu dan memangkas apa saja yang menjurus kepadanya. Kelak, Allah Ta’ala menghisab Maliki beserta para syaikhnya, pemimpinnya, dan pengikutnya, yang membuka pintu syirik untuk umat. Mereka memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara berlebihan, persis seperti orang-orang Kristen yang memuji Isa bin Maryam secara berlebihan. Orang-orang Kristen berkata, “Isa putra Allah.” Sedang Maliki beserta pengikutnya mengatakan Muhammad mitra Allah dalam memiliki kunci-kunci langit dan bumi, beliau tempat berlindung dan bernaung, di antara ilmu beliau adalah ilmu tentang Lauh Mahfudz, pena dan ruh, beliau dapat menyingkap segala derita, dan ucapan lain yang menjadi daftar syirik Maliki kepada Allah, baik dalam rububiyah maupun uluhiyah-Nya.

Benar, Maliki mengatakan di dalil kedua puluh, “Haji merupakan upaya mengingat kejadian-kejadian bersejarah, misalnya sa’i, melempar jumrah, dan berkorban. Kenapa kita tidak menerapkan hal ini pada Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, dan lain-lain?

Subhnallah, Maliki tidak cukup menyejajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Allah dalam rububiyah dan uluhiyah. Ia makin menjadi-jadi hingga menyamakan dirinya dengan Allah Tabaraka wa Ta’ala dalam penentuan hukum.

Kita tidak tahu apakah terhadap orang sekaliber Maliki, kita perlu mengulangi komentar ulama yang telah kita sebutkan? Mereka melarang melakukan qiyas dalam ibadah dan menganalogikan bid’ah dengan mashalih mursalah atau istihsan itu analogi yang tidak pada tempatnya. Sebab, ibadah didasarkan pada sikap menerima secara mutlak tanpa melihat sebab-sebabnya secara rinci yang merupakan syarat-syarat dalam qiyas. Kita juga telah menyebutkan perkataan panjang As-Syathibi yang membeberkan hal itu.

Kita juga tidak tahu apakah kita boleh berdiskusi dengan orang seperti Maliki? Ataukah ia berada dalam kubangan bid’ah dan upaya membangun basis massa yang dikendalikan kedunguan, kebodohan, kesesatan, keluguan, dan mencampakkan akal pikiran di pojok rak, agar penipuan dan pembodohan yang ia lakukan menuai sukses besar, lalu ia mendapatkan penghargaan dan penghormatan, dalam bentuk ucapan atau sikap.

Kami sudah sering mengatakan bahwa kami komitmen mengikuti Sunnah, bukan melakukan bid’ah. Kami komitmen meneladani dan mengikuti apa saja yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat. Kami semua diwanti-wanti untuk tidak mengerjakan bid’ah oleh lisan Rasul Tuhan semesta alam, “Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dan apa yang dilarangnya pada kalian maka tinggalkan.” (Al-Hasyr: 7).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa membuat hal-hal baru di urusan (agama) kami, padahal tidak termasuk bagiannya, maka tertolak.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka tertolak.”

Dan,

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.

“Tinggalkan hal-hal baru yang diada-adakan, karena hal baru itu bid’ah, setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan masuk neraka.”

Para sahabat meniru adab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menolak bid’ah dan melarang terperosok ke dalamnya. Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Ikuti Sunnah dan kalian jangan membuat bid’ah, karena Sunnah sudah cukup bagi kalian.”

Hudzaifah radhiallahu ‘anhu berkata, “Setiap ibadah yang tidak dilakukan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka jangan kalian lakukan, karena orang pertama tidak meninggalkan ucapan bagi orang terakhir. Bertakwalah kepada Allah wahai para qari’ dan tempuhlah jalan orang-orang sebelum kalian.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan manhaj untuk kita dengan sasaran jelas, malamnya bagai siang, tidak ada yang menyimpang darinya kecuali ia binasa. Seluruh kebaikan telah beliau tunjukkan kepada umat. Beliau mewanti-wanti mereka untuk tidak mengerjakan keburukan, menyampaikan risalah dengan sempurna, menunaikan amanah, dan menasihati umat secara konkrit. Allah berfirman, “Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah: 128).

Pantaskah kita membuang sasaran jelas, syariah yang toleran, dan universal ini, lalu beralih mendengarkan perkataan iblis melalui lisan Maliki? Pernyataan Maliki bahwa ibadah haji merupakan upaya mengingat peristiwa-peristiwa bersejarah itu mengharuskan kita menerapkannya pada Maulid dan upacara lainnya. Pernyataan ini mengingatkan kita pada kisah terjadinya syirik di bumi untuk pertama kalinya.

Di Shahih Bukhari disebutkan hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang tafsir firman Allah, “Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, yauq dan nasr.” (Nuh: 23). Ini semua nama orang-orang shalih kaum Nabi Nuh. Ketika mereka meninggal dunia, setan membisiki kaum mereka agar membuat patung-patung di majelis-majelis mereka dulu dan menamakan patung-patung itu dengan nama-nama mereka. Kaum mereka mengerjakan perintah setan dan patung-patung tersebut tidak disembah. Setelah generasi tersebut meninggal dunia dan latar belakang pembuatan patung-patung itu tidak diketahui lagi, maka patung-patung itu disembah.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Banyak ulama salaf mengatakan, ketika orang-orang shalih tersebut meninggal dunia, maka orang-orang melakukan pertapaan di kuburan mereka, kemudian membuat patung-patung mereka. Lambat laun orang-orang menyembah patung-patung itu.”