Hakikat Iman

Kita harus meyakini bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Pokok dasarnya adalah tashdiq (pembenaran) terhadap khabar (berita yang disampaikan Nabi Salallahu alaihi wa salam) dan tunduk terhadap syari’at yang dibawanya. Barang siapa dalam hatinya tidak ada tashdiq (pembenaran) dan inqiyad (ketundukan), maka ia bukan seorang muslim. Kesempurnaan iman yang bersifat wajib diraih dengan cara menjalankan kewajiban-kewajiban dan menjauhi segala yang diharamkan, sedang kesempurnaannya yang mustahab (ekstra) adalah dengan menjalankan amalan sunnah (mandub) dan mening-galkan yang makruh (dibenci namun tidak sampai tingkat haram) ditambah dengan kewaspadaan terhadap perkara yang samar (mutasyabihat).

Orang yang mengeluarkan jenis ‘amal dari hakikat iman serta membatasi iman hanya sebatas keyakinan saja maka ia adalah batil, karena iman tidak akan terealisasi hanya dengan keyakinan akan benarnya ajaran (agama) yang disampaikan Nabi Salallahu alaihi wa salam. Sudah amat banyak orang yang hanya memiliki keyakinan seperti ini, namun ternyata hal itu tidak membuat mereka masuk ke dalam jajaran orang-orang mukmin.

Dalil-dalil berkaitan dengan pembahasan di atas:

Firman Allah Ta’ala,“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagi-mu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 59)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa siapa yang tidak mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka bukan seorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Ini menunjukkan bahwa iman bukan sekedar membenarkan apa yang dibawa oleh Nabi Salallahu alaihi wa salam, bukan pula sekedar ucapan (pengakuan), tetapi harus disertai adanya ketundukkan terhadap syariat, taat kepada Rasul Salallahu alaihi wa salam dan berhukum kepadanya.

Firman Allah Ta’ala, “Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65)
Allah telah bersumpah dengan Dirinya Yang Suci dan Mulia bahwa seseorang tidak dikatakan mukmin hingga ia berhukum kepada Rasul SAW dalam segala urusan. Apa yang telah beliau tetapkan adalah benar dan wajib untuk ditaati secara lahir dan batin.

Firman Allah Ta’ala, “Dan mereka berkata, “Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami pun ta’at,” kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.” (QS. 24:47)
Ayat ini menafikan keimanan orang-orang munafik yang mulut mereka menyatakan iman, namun perbuatan mereka menyelisihi apa yang seharusnya menjadi tuntutan dari ucapannya, mereka berpaling dari hukum Allah dan Rasul-Nya Salallahu alaihi wa salam.

Firman Allah Ta’ala, “Dan bagaimana mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu) dan mere-ka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman.” (QS. al-Maidah: 43)
Mereka (Yahudi) bukanlah orang-orang beriman terhadap Taurat karena tidak berhukum kepadanya. Dan orang yang tidak mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Nabi n juga bukanlah orang mukmin.

Firman Allah Ta’ala, “Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur’an itulah yang hak dari Rabbmu, lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (QS. 22:54)

Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.Maka perhati-kanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” (QS. 27:14)
Allah Ta’ala memberitahukan bahwa sekedar membenarkan apa yang disampaikan Nabi n saja belumlah disebut dengan iman.

Allah juga telah berfirman, “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (QS. 2:146)
Maka berdasarkan ayat ini, penge-tahuan dalam hati saja tidaklah disebut dengan iman, apabila ucapan dan perbuatan mendustakan apa yang diketahuinya itu. Sebagaimana para ulama Ahlul Kitab yang mengetahui kebenaran berita diutusnya Rasulullah Salallahu alaihi wa salam, pengetahuan mereka terhadap Rasulullah Salallahu alaihi wa salam sama seperti pengetahuan mereka terhadap anak-anak mereka (karena berita yang amat jelas). Adapun dalil-dalil dari as-Sunnah:
Sabda Nabi Salallahu alaihi wa salam, “Seluruh umatku masuk Surga, kecuali yang enggan.” Para shahabat bertanya, “Siapa yang enggan itu wahai Rasulullah? Nabi men-jawab, ”Barang siapa yang taat kepada-ku, maka masuk surga dan barang siapa maksiat kepadaku maka ia telah enggan (masuk surga).”(HR.Al-Bukhari).

Barang siapa yang enggan mengikuti Nabi Salallahu alaihi wa salam dan berpaling dari ajarannya maka ia termasuk ahlun naar (penduduk neraka) meskipun ia meyakini di dalam hatinya akan kebenaran ajaran tersebut.
Sabda Nabi Salallahu alaihi wa salam, dari Abu Hurairah Radiallahuanhu, Rasulullah Salallahu alaihi wa salam pernah ditanya,” Amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan rasul-Nya.” Ditanyakan lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah”. Ditanyakan, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Haji yang mabrur.”
Dalam hadits tersebut tampak jelas, bahwa iman adalah sebaik-baik amal. Hadits ini juga merupakan bantahan bagi orang yang mengeluarkan amal dari definisi iman.

Ketika datang utusan Abdul Qais, Nabi Salallahu alaihi wa salam memerintahkan mereka untuk beriman kepada Allah, beliau menanyai mereka, “Tahukah kalian apa iman itu?” Mereka menjawab,” Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Beliau bersabda, “Persaksian bahwa tidak ada ilah (yang haq) kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, Puasa Ramadahan dan membayar seperlima dari harta rampasan.” (HR. Muslim)

Iman Bertambah dan Berkurang

Kita harus meyakini bahwa iman dapat bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Allah Ta’ala berfirman,“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu’min supaya keiman-an mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (QS. Al-Fath: 6)

Firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karena-Nya).” (QS. Al-Anfal: 2)

Firman Allah Ta’ala, “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, ”Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?”. Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.” (QS. 9:124)

Di dalam sebuah hadits Muttafaq ’alaih disebutkan bahwa Allah akan mengeluarkan dari neraka orang yang di hatinya masih ada sebiji gandum dari iman, sebesar zarah atau sebiji sawi dan yang lebih kecil lagi dari itu. Ini menunjukkan bahwa ukuran keimanan itu berbeda-beda dan dapat berubah-ubah.

Dosa Besar Tidak Menggugurkan Keimanan

Seorang muslim tidak boleh dikafirkan dengan sebab melakukan dosa besar (kabair), kecuali bila mela-kukan pembatal keimanan seperti syirik atau apabila ia menghalalkan perbuatannya itu.
Firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisaa’: 48 dan 116)
Berdasarkan ayat ini, maka pelaku dosa besar masih dalam lingkup Islam, ia berada di bawah kehendak Allah, apakah diadzab atau diampuni semua terserah Allah. Dan yang dimaksudkan dosa disini adalah dosa yang tidak ditaubati hingga dibawa mati.

Allah Ta’ala berfirman,“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS. 49:7)
Ayat di atas menunjukkan, bahwa Allah membedakan antara kekufuran dengan yang lebih kecil daripadanya yaitu kefasikan dan kemaksiatan.

Nabi SaW bersabda, “Mencaci maki orang Islam adalah kefasikan, sedangkan memeranginya adalah kekufuran.” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam hadits ini Rasulullah n membedakan antara kefasikan dan kekufuran.

Sabda Nabi SAW, “Syafaatku bagi pelaku dosa besar dari umatku.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban). Adanya syafaat dari Nabi n kepada ahlul kabair (pelaku dosa besar) menunjuk-kan bahwa mereka masih berada dalam lingkup iman.

Keimanan Gugur dengan Riddah

Iman dapat gugur atau batal dengan riddah (murtad), sebagaimana wudlu batal dengan hadats. Riddah terjadi dengan keluarnya seseorang dari Islam secara total, lalu masuk agama lain, atau pengingkaran yang murni terhadap ajaran Islam. Dapat pula terjadi karena tidak menerima sesuatu yang telah diturunkan oleh Allah setelah adanya ilmu, baik itu dengan mendustakan atau menolaknya. Orang yang mati dalam keadaan mur-tad, maka seluruh amalnya terhapus.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)
Ketika iblis enggan untuk taat kepada Allah, maka keimanannya men-jadi gugur, sehingga disebut sebagai kafir dan berhak mendapatkan laknat dan adzab yang kekal.

Firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalan-nya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 217)

Firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka itulah orang- orang yang sesat.” (QS. 3:90)
Barang siapa yang kufur setelah beriman dan terus dalam kekufurannya hingga mati, maka tidak akan diterima taubatnya, ketika sudah menjelang ajal.

Sumber : Kitab “Maa la yasa’u al-Muslim jahluhu” DR. Abdullah Al-Muslih dan DR. Sholah ash-Showi.