Mencaci maki agama merupakan salah satu bentuk kekufuran yang dapat membatalkan ke-Islaman seseorang. Oleh karena itu selayaknya seseorang berhati-hati dalam masalah ini. Jika hal itu dilakukan dengan sengaja dan memang dengan tujuan menghina agama, maka jelas sekali pelakunya dapat terkena hukum riddah (murtad). Tetapi bagaimana jika seseorang melakukan nya dalam keadaan emosi? Apakah juga terkena konsekuensi hukum yang sama, yakni keluar dari Islam, dan akhirnya isterinya pun menjadi haram baginya? Berikut komentar Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkenaan dengan masalah ini:

Vonis hukum terhadap orang yang mencaci-maki agama Islam bahwa dia telah melakukan kekufuran sebab mencaci-maki agama dan memperolok-oloknya merupakan tindakan murtad dari Islam dan kekufuran terhadap Allah subhanahu wata’ala dan dien-Nya. Dalam hal ini, Allah subhanahu wata’ala telah mengisahkan perihal suatu kaum yang memperolok-olok agama Islam, bahwa mereka itu pernah mengatakan, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Lalu Allah subhanahu wata’ala menjelaskan bahwa senda gurau dan bermain-main seperti ini merupakan bentuk olok-olok terhadap Allah, ayat-ayat dan Rasul-Nya dan bahwa mereka telah menjadi kafir karena itu. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, ‘ Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. at-Taubah: 65-66).

Jadi, memperolok Agama Allah, mencaci-makinya, mencaci-maki Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya atau memperolok keduanya merupakan kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari agama ini. Sekalipun demikian, di sana masih ada peluang untuk bertaubat, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala artinya, “Katakanlah, ‘Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53).

Bila seseorang bertaubat dari dosa apapun, termasuk riddah (keluar dari Islam) yang dia lakukan, dan taubatnya itu adalah Taubat Nashuhah (taubat yang sebenar-benarnya) serta telah memenuhi lima persyaratan, maka Allah subhanahu wata’ala akan menerima taubat-Nya. Lima syarat yang dimaksud adalah:

Pertama, taubatnya tersebut dilakukannya dengan ikhlas semata karena Allah subhanahu wata’ala. Jadi, faktor yang mendorongnya untuk bertaubat, bukanlah karena riya’, nama baik (prestise), takut kepada makhluk ataupun mengharap suatu urusan duniawi yang ingin diraihnya. Bila dia telah berbuat ikhlas dalam taubatnya kepada Allah subhanahu wata’ala dan faktor yang mendorongnya adalah ketaqwaan kepada-Nya, takut akan siksaan-Nya serta mengharap pahala-Nya, maka berarti dia telah berbuat ikhlas dalam hal tersebut.

Ke dua, Menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan. Yakni, seseorang mendapati dirinya sangat menyesal dan bersedih atas perbuatan yang telah lalu tersebut serta memandangnya sebagai perkara besar yang wajib baginya untuk melepaskan diri darinya.

Ke tiga, Berhenti total dari dosa tersebut dan tidak ada keinginan untuk terus melakukannya. Bila dosanya tersebut berupa tindakan meninggalkan hal yang wajib, maka setelah taubat dia harus melakukannya dan berusaha semaksimal mungkin untuk membayarnya. Dan jika dosanya tersebut berupa tindakannya melakukan sesuatu yang diharamkan, maka dia harus cepat-cepat berhenti total dan menjauhinya. Termasuk juga, bila dosa yang dilaku kan terkait dengan makhluk, maka dia harus memberikan hak-hak mereka tersebut atau meminta dihalalkan darinya.

Ke empat, Bertekad untuk tidak lagi mengulanginya di masa yang akan datang. Yakni, di dalam hatinya harus tertanam tekad yang bulat untuk tidak lagi mengulangi perbuatan maksiat yang dia telah bertaubat darinya.

Ke lima, Taubat tersebut hendak lah terjadi pada waktu yang diperkenan kan. Jika terjadi setelah lewat waktu yang diperkenankan tersebut, maka ia tidak diterima. Lewatnya waktu yang diperkenankan tersebut dapat bersifat umum dan dapat pula bersifat khusus. Waktu yang bersifat umum adalah saat matahari terbit dari arah terbenamnya. Maka, bertaubat setelah matahari terbit dari arah terbenamnya tidak dapat diterima. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“(Atau) kedatangan sebagian tanda-tanda Rabbmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.” (QS. Al-An’am:158).

Sedangkan waktu yang bersifat khusus adalah saat ajal menjelang. Maka, bila ajal telah menjelang, maka tidak ada gunanya lagi bertaubat. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, “Sesung-guhnya saya bertaubat sekarang.” Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran.” (QS. An-Nisa’:18).

Saya tegaskan kembali, sesungguhnya bila seseorang bertaubat dari dosa apa saja -sekalipun berupa caci-maki terhadap agama-, maka taubatnya diterima bilamana memenuhi syarat yang telah kami singgung tadi. Satu masalah yang perlu untuk diketahui bahwa suatu ucapan bisa jadi dinilai sebagai kekufuran dan riddah, akan tetapi orang yang mengucapkannya bisa jadi tidak divonis kafir karenanya, dengan adanya salah satu penghalang yang menghalangi dari memberikan vonis kafir tersebut terhadapnya.

Dan terhadap orang yang menyebut kan bahwa dirinya telah mencaci-maki agamanya tersebut dalam kondisi emosi, kami katakan, “Jika emosi anda demikian meledak sehingga anda tidak sadar lagi apa yang telah diucapkan, anda tidak sadar lagi di mana diri anda saat itu; di langit atau masih di bumi dan anda telah mengucapkan suatu ucapan yang tidak anda ingat dan tidak anda ketahui, maka ucapan seperti ini tidak dapat dijatuhkan hukum atasnya. Dengan begitu, tidak dapat dijatuhkan vonis riddah terhadap diri anda karena apa yang anda ucapkan adalah ucapan yang terjadi di bawah sadar, tidak diinginkan dan dimaksudkan demikian. Dan, setiap ucapan yang terjadi di bawah sadar seperti itu, maka Allah subhanahu wata’ala tidak akan menghukum anda atasnya.

Dalam hal iniDiatelah berfirman tentang sumpah, artinya,
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja.” (QS. al-Ma’idah: 89).

Bila orang yang mengucapkan ucapan kekufuran ini dalam kondisi emosionil yang teramat sangat (meledak-ledak) sehingga dia tidak sadar apa yang diucapkan dan tidak tahu apa yang telah keluar dari mulutnya, maka tidak dapat dijatuhkan hukum atas ucapannya tersebut. Dengan begitu, dia juga tidak dapat dijatuhi vonis riddah. Manakala tidak dapat dijatuhkan vonis riddah terhadapnya, maka pernikahannya dengan isterinya tidak (secara otomatis) menjadi batal (fasakh). Artinya, dia tetap menjadi isterinya yang sah. Akan tetapi semestinya bila seseorang merasakan dirinya tersulut emosi, maka cepat-cepatlah memadamkan emosinya ini. Yaitu dengan cara yang telah diwasiatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat ada seorang laki-laki bertanya kepadanya sembari berkata, “Wahai Rasulullah, berilah wasiat (nasehat) kepadaku!.” Lalu beliau menjawab, “Janganlah kamu marah.” Orang itu berkali-kali mengulang pertanyaan itu dan beliau tetap menjawab, “Janganlah kamu emosi.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Adab (6116), dan at-Tirmidzi dalam Kitab al-Birr wa ash-Shilah (2020)

Hendaknya dia dapat menstabilkan kondisi dirinya dan meminta kepada Allah subhanahu wata’ala perlindungan dari godaan setan yang terkutuk. Bila dia ketika itu sedang berdiri, maka hendaklah duduk; bila dia sedang duduk, maka hendaklah berbaring; dan bila emosinya benar-benar meledak, maka hendaklah dia berwudhu’. Melakukan hal-hal seperti ini dapat menghilangkan emosi dari dirinya. Alangkah banyak orang yang menyesal dengan suatu penyesalan yang besar karena telah melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang ada di dalam emosinya tersebut akan tetapi (sangat disayang kan) hal itu setelah waktunya sudah terlewati (alias nasi telah menjadi bubur, pent.).

Sumber: Nur ‘Ala ad-Darb, min fatawa Ibn Utsaimin, dalam buku Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq.