1. Menjadikan al-Qur`an dan sunnah sebagai sumber talaqqi adalah benar,
kelirunya adalah ketika metode dan kaidah-kaidah ilmu kalam dijadikan sebagai rujukan dalam memahami keduanya, karena ilmu kalam bersumber kepada filsafat dari Yunani dengan masyarakat yang tidak lurus dan tidak benar akidahnya. Mana mungkin metode dan kaidah yang begini keadaannya bisa berkhidmat dengan baik kepada al-Qur`an dan sunnah.

Dari sini kita mendapati orang-orang yang menjadikan ilmu kalam sebagai pijakan dalam memahami al-Qur`an dan hadits memiliki perilaku dan pendapat yang secara nyata bertabrakan dengan keduanya. Di antara mereka ada yang memaksakan takwil terhadap hadits. Di antara mereka bahkan ada yang tidak memandang hadits tertentu dengan sebelah mata walaupun ia shahih dengan alasan tidak selaras dengan kaidah atau dasar yang mereka letakkan, di antara mereka ada yang mengingkari perkara yang mendasar dalam agama yang ditetapkan oleh dalil-dalil yang shahih.

Semoga Allah merahmati Nashir as-Sunnah imam asy-Syafi’i yang bersikap tegas terhadap ahli kalam, sepertinya Imam asy-Syafi’i telah mengendus akibat buruk ilmu kalam bagi yang menerjuninya. Imam asy-Syafi’i berkata, “Ketetapan terhadap ahli kalam adalah hendaknya mereka dipukul dengan pelepah kurma dan sandal, diarak keliling kampung seraya dikatakan, ‘inilah balasan orang yang berpaling dari kitab Allah dan Sunnah rasul dan menerjuni ilmu kalam.” Pengalaman telah dibeberkan oleh beberapa ulama yang terjun di bidang ilmu kalam ini, beberapa dari mereka menyesali di akhir hayatnya lalu meninggalkannya untuk rujuk kepada jalan yang benar sebagaimana telah penulis sebutkan sebagian dari mereka dalam pembicaraan sebelumnya, salah satu dari mereka adalah ar-Razi yang berkata di akhir hayatnya,

Ar-Razi berkata,

Akhir dari kelancangan akal adalah kesulitan
Kebanyakan usaha manusia adalah sia-sia
Arwah kami merasa asing dari jasad kami
Hasil dunia kita adalah celaka dan bencana
Kami tidak mengambil manfaat dari kajian seumur hidup
Kecuali hanya mengumpulkan katanya dan katanya

Jika telah terbukti bahwa metode ahli kalam tidak layak berkhidmat dalam memahami al-Qur`an dan sunnah maka metode apakah yang benar?
Jawabannya hanya ada satu yaitu metode generasi terbaik umat ini, genarasi Salaf Shalih, sahabat, tabiin dan orang-orang yang mengikuti mereka.
Generasi Salaf adalah generasi terbaik umat dengan kesaksian Allah dan rasulNya, mereka lebih dekat kepada zaman Nabi saw, lebih memahami, lebih bersih hati dalam mencari dan mengamalkan kebenaran, apa guna semua itu jika pemahaman dan metode mereka tidak digunakan dalam memahami al-Qur`an dan Sunnah? Untuk sekedar bernostalgia mengenang kemuliaan mereka lalu pemahaman mereka kita pinggirkan?

2. Mendahulukan akal di atas naql (nash syar’i) jika keduanya bertentangan adalah keliru karena:

A. Menolak adanya pertentangan antara dalil aqli dengan dalil naqli karena syariat tidak hadir dengan sesuatu di mana akal berkata tentangnya mustahil tetapi ia hadir dengan sesuatu yang mencengangkan akal. Jika ada yang mengira dalil aqli bertentangan dengan dalil naqli maka kemungkinannya adalah satu dari dua hal, dalil aqli tidak shahih dengan begitu yang shahih adalah dalil naqli atau sebaliknyanya, dalil aqli shahih dengan begitu dalil naqli tidak shahih. Akal manusia terbatas dan relatif, bisa jadi nash tertentu dianggap bertentangan dengan akal. Pertanyaannya, akal siapa? Akal semua orang? Ternyata akal sebagian orang dan bagi yang lain ia tidak bertentangan, lalu akal siapakah yang berhak untuk dipegang?

B. Anggaplah ada dalil naqli yang bertentangan dengan aqli, tetap saja keliru mendahulukan aqli di atas naqli. Yang benar itu sebaliknya, dalil naqli harus didahulukan, sebab akal membenarkan syara’ dalam segala apa yang diberitakan tidak sebaliknya. Akal telah membuktikan kebenaran rasul lalu konsekuensinya secara akal ucapan rasul (dalil naqli) harus dikedepankan.

Penjelasannya:
Ada seorang pencari fatwa bertanya kepada seorang awam tentang sesuatu masalah maka orang awam itu menunjukkan kepada seorang mufti.
Pencari fatwa tersebut bertanya kepada mufti, mufti memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang ada pada orang awam yang menunjukkan pencari fatwa kepada mufti tersebut. Dalam kondisi ini pencari fatwa harus mendahulukan ucapan mufti di atas orang awam. Jika orang awam berkata kepada penacari fatwa, “Akulah dasar bagimu dalam kamu mengetahui bahwa dia adalah mufti, jika kamu mendahulukan ucapannya di atas ucapanku maka kamu telah menodai dasar yang dengannya kamu mengetahui bahwa dia adalah mufti.” Pencari fatwa menjawab, “Kamu telah menunjukkanku kepadanya bahwa dia adalah mufti, kamu mengakui bahwa dia mufti. Ini berarti kamu mengakui kewajiban mengikutinya bukan mengikutimu. Aku menyetujuimu dalam ilmu tertentu, ini tidak berarti aku menyetujuimu dalam semua ilmu yang kamu tetapkan, kesalahanmu karena kamu telah menyelisihi mufti –yang berdasar pengakuanmu lebih alim darimu- tidak berarti bahwa kamu pun salah karena kamu mengetahui dan mengakuinya sebagai mufti.”

Dalil aqli adalah orang awam sementara dalil naqli adalah mufti, dan pencari fqtwa sendiri menyadari kemungkinan mufti keliru, maka mendahulukan ucapan Rasulullah yang ma’shum di atas aqliyat yang bertentangan dengannya lebih layak daripada mendahulukan ucapan mufti di atas ucapan orang awam.

C. Menolak ucapan mereka, “jika dalil aqli bertentangan dengan naqli maka wajib mendahulukan aqli” dengan ucapan yang sama tetapi dibalik yaitu, “Jika dalil aqli bertentangan dengan dalil naqli maka wajib mendahulukan naqli di atas aqli.” Karena tidak mungkin mengumpulkan dua perkara yang bertentangan, tidak mungkin pula mengangkat dua perkara yang bertentangan, tidak mungkin pula mendahulukan dalil aqli karena dalil aqli telah menunjukkan keshahihan dalil naqli, kalau kita membatalkan dalil naqli berarti kita telah membatalkan petunjuk dalil aqli. Dalam kondisi ini dalil aqli tidak layak lagi untuk menentang dalil naqli. Jadi mendahulukan dalil aqli berkonsekuensi kepada tidak mendahulukannya, maka tidak sah mendahulukan dalil aqli di atas dalil naqli, bagaimana akal menentang sesuatu di mana akal sendiri menunjukkan keshahihannya dan kebenarannya?

Ini dikatakan dalam konteks mematahkan ucapan dengan ucapan sejenis yang dibalik, jika tidak maka akal yang menetapkan keshahihan dalil naqli yang shahih adalah akal yang lurus dan tidak mungkin akal yang shahih bertentangan dengan naql yang shahih.

3. Menolak hadits ahad dalam menetapkan masalah akidah adalah keliru karena:

A. Pembedaan antara ahkam dan akidah dalam menerima khabar (hadits) ahad, di mana dalam ahkam hadits ahad diterima dan dalam akidah ia tidak diterima merupakan sesuatu yang dimunculkan oleh orang-orang ahli kalam. Jika kita merujuk kepada sunnah rasul, perbuatan sahabat dan tabiin maka kita tidak menemukan pembedaan seperti ini, yang ada justru sebaliknya.

B. Sunnah mutawatirah dari Rasulullah menetapkan bahwa Rasulullah saw mengutus utusan dan dai sendiri-sendiri ke penjuru kota, kepada raja-raja dan penguasa-penguasa. Dai atau utusan ke daerah A misalnya tidak dalam jumlah besar yang mencapai derajat mutawatir.
Contohnya adalah ketika Rasulullah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman dan sebelum berangkat beliau mewasiatkan kepadanya agar memulai dakwahnya dengan tauhid. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Muadz berangkat dan perkara pertama yang didakwahkannya adalah tauhid, kalau hadits ahad dalam masalah akidah tidak dipakai lalu apa gunanya Nabi saw mengutus Muadz seorang?

C. Pembedaan antara akidah dan ahkam dalam menerima dan menolak hadits ahad dibangun di atas dasar bahwa akidah tidak terkait dengan amal perbuatan dan bahwa amal perbuatan tidak terkait dengan akidah padahal kedua perkara tersebut batil secara mendasar karena Islam membatalkannya dan menetapkan sebaliknya, tidak ada hukum amali kecuali ia berpijak kapada dasar akidah yaitu iman kepada Allah dan tidak ada dasar akidah kecuali amal perbuatan merupakan bukti darinya.

Contoh firman Allah swt, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah.” (An-Nur: 2).

Ini adalah hukum amali, lalu Allah mengaitkannya dengan iman kepadaNya dan Hari Akhir. “Jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat.” (An-Nur: 2).