Kita percaya bahwa keimanan itu harus berupa perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang karena kemaksiatan, dan bahwa dasarnya adalah membenarkan khabar dan mematuhi syari’at. Barangsiapa yang di dalam hatinya tidak ada pembenaran dan kepatuhan, berarti bukan seorang muslim, dan bahwa kesempurnaannya yang wajib adalah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan, dan bahwa kesempurnaan yang mustahab adalah dengan melaksanakan hal-hal sunnah dan meninggalkan hal-hal yang makruh serta menghindari hal-hal yang samar.

Orang-orang yang mengeluarkan jenis amal perbuatan dari hakekat keimanan dan membatasi keimanan hanya cukup dengan pembenaran, mereka adalah orang-orang yang sesat, karena keimanan itu tidak akan terealisasi hanya dengan meyakini kebenaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap agama yang diajarkannya. Banyak manusia yang telah meyakini demikian akan tetapi mereka bukanlah orang-orang mukmin, karena harus berpadu dua hal: Meyakini kebenarannya, mencintai dengan hati dan mematuhi; serta melaksanakannya dengan anggota badan.

Orang-orang yang memasukkan seluruh amal perbuatan sebagai pangkal keimanan adalah orang-orang yang berlebihan dan juga orang-orang yang batil, karena syari’at telah membagi amal menjadi beberapa jenis. Syari’at membedakan amal yang terikat dengan dasar keimanan sehingga keimanan itu dianggap sirna dengan tidak adanya amal tersebut, dan ada juga yang mengikatnya hanya sebatas pelengkapnya sehingga tidak adanya amal tersebut hanya mengurangi kadar keimanan.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا [النساء/59]
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian.” (An-Nisa’: 59).

Ayat ini menunjukkan, bahwa orang yang tidak mengembalikan permasalahan kepada Allah dan Rasul-Nya berarti tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir. Ini sebagai bukti bahwa keimanan itu tidak bisa ditetapkan hanya dengan pembenaran khabar, dan bahwa keimanan itu tidak hanya berupa perkataan, akan tetapi harus pula disertai dengan kepatuhan terhadap syari’at dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengikuti ketetapannya.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا [النساء/65]
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65).

Allah bersumpah dengan Diri-Nya Yang Maha Mulia lagi Maha Suci, bahwa tidaklah seseorang beriman sehingga menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim dalam segala perkara. Apa yang ditetapkannya maka itulah yang hak yang harus dipatuhi baik secara lahir maupun batin. Ini menegaskan bahwa keimanan itu tidak bisa ditetapkan hanya dengan pembenaran khabar, akan tetapi harus dengan menjadikan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim serta tidak merasa berat dengan ketetapan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan demikian bisa diakui keimanannya.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,
وَيَقُولُونَ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُولَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ [النور/47]
“Dan mereka berkata, “Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami pun ta’at,” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.” (An-Nur: 47).

Ayat ini meniadakan adanya keimanan dalam diri orang-orang munafik yang telah menyatakan beriman dengan ucapan mereka kemudian perbuatannya menyelisihi apa yang telah mereka ucapkan sehingga mereka bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya.

Allah pun berfirman tentang kaum Yahudi yang menolak hukum Taurat,
وَكَيْفَ يُحَكِّمُونَكَ وَعِنْدَهُمُ التَّوْرَاةُ فِيهَا حُكْمُ اللَّهِ ثُمَّ يَتَوَلَّوْنَ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُولَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ [المائدة/43]
“Dan bagaimana mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu) dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman.” (Al-Maidah: 43).

Mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman kepada Taurat, karena mereka tidak memberlakukan hukumnya, dan mereka pun bukan orang-orang yang beriman kepadamu karena mereka tidak mengikuti kebenaran yang engkau bawa.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,
وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آَمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ [الحج/54]
“Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al-Qur’an itulah yang haq dari Rabbmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (Al-Haj: 54).

Petunjuk itu tidak akan terealisasi kecuali dengan ilmu, pembenaran, ketundukan hati dan kepatuhan.

Allah pun menjelaskan bahwa pembenaran khabar semata bukan berarti keimanan, Allah berfirman,
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ [النمل/14]
“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” (An-Naml: 14).

Walaupun ayat ini mengenai kaum Fir’aun, namun juga mengandung ancaman terhadap orang-orang yang mendustakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa mereka bisa tertimpa oleh apa yang telah menimpa kaum Fir’aun dengan cara lebih layak, karena bukti-buktinya lebih kuat daripada bukti-bukti (mu’jizat) pada nabi dan rasul sebelumnya.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,
الَّذِينَ آَتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ [البقرة/146]
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 146).

Maka pengetahuan di dalam hati saja tidak bisa dikategorikan keimanan jika perkataan dan perbuatan mendustakannya. Mereka, para ulama Ahli Kitab dari golongan Yahudi, telah mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka benar-benar mengenalnya sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri, akan tetapi mereka menyembunyikannya dan mengingkarinya, sehingga mereka tertimpa kerugian dunia dan akhirat. Hal ini menunjukkan bahwa jika hanya sebatas mengetahui bukan berarti beriman kecuali disertai dengan ucapan keimanan yang mencakup keimanan dimaksud serta mematuhinya.

Seandainya sekedar meyakini kebenaran merupakan keimanan, maka Iblis, Fir’aun beserta kaumnya dan kaum Yahudi yang mengenal bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri, tentu mereka semua adalah orang-orang yang membenarkan. Namun seorang yang berakal tidak akan mengatakan demikian. Dan jika memang begitu, maka orang yang mengatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Aku tahu bahwa engkau benar, tapi aku tidak mengikutimu, bahkan aku memusuhi, membenci dan menyelisimu.” Terus dikatakan bahwa ia seorang mukmin yang sempurna keimanannya., sudah barang tentu hal ini tidak pernah terlintas di dalam benak seorang pun kecuali yang akalnya terpedaya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى. قَالُوْا وَمَنْ يَأبىَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى.

“Setiap umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya, “Siapa yang enggan itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Barangsiapa yang mentaatiku akan masuk surga dan barangsiapa yang maksiat terhadapku berarti ia enggan.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari).

Orang yang enggan mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan memalingkan dirinya dari kebenaran yang beliau ajarkan, maka ia termasuk ahli neraka, walaupun hatinya meyakini kebenaran ajaran beliau.

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Dikatakan, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Dikatakan, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Haji mabrur.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari). Al-Bukhari mengkatagorikan ini dalam bab “Bahwa keimanan adalah amal.” Dalam hadits ini disebutkan bahwa keimanan merupakan amal yang paling utama, ini sekaligus merupakan bantahan terhadap orang yang mengeluarkan amal dari lingkup keimanan.

Dalam hadits yang menceritakan utusan Abdul Qais pada kitab Shahih Muslim disebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk beriman hanya kepada Allah saja, kemudian beliau berkata, “Tahukah kalian apa itu beriman kepada Allah?”, mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau berkata, “Bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan mengeluarkan seperlima dari harta rampasan perang.”

Tentang bertambah dan hilangnya keimanan, Allah berfirman,

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ

“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (Al-Fath: 4).

Dalam ayat lain disebutkan,

وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya).” (Al-Anfal: 2).

Dalam ayat lain disebutkan,
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آَمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ [التوبة/124]
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, “Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?”. Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.” (At-Taubah: 124).

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits syafa’at: “Lalu aku keluarkan darinya (neraka) orang yang di dalam hatinya terdapat keimanan seberat biji gandum, lalu aku keluarkan orang yang di dalam hatinya ada keimanan seberat dzarrah atau biji sawi, lalu aku keluarkan orang yang di dalam hatinya ada keimanan sebesar biji yang lebih ringan.” (Muttafaq ‘Alaih).

Firman Allah yang menunjukkan bahwa pendustaan termasuk pintu kekufuran dan pembatal keimanan:
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ [الأعراف/40]
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lobang jarum.” (Al-A’raf: 40).

Dalam ayat lain disebutkan,
بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُكَذِّبُونَ [الإنشقاق/22]
“Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan(nya).” (Al-Insyiqaq: 22).

Dan yang berstatus sama dengan pendustaan dalam hal membatalkan keimanan adalah menolak dan membantah, maka barangsiapa yang menolak hukum Allah dan enggan mematuhi apa yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berarti dengan begitu keimanannya batal, bahkan keluar dari agama. Dalil-dalil tentang yang menyatakan ini telah disebutkan di muka.