Kita percaya bahwa keimaman yang agung adalah termasuk tujuan dan kewajiban utama agama ini, yaitu sebagai pengganti kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur dunia. Tanggung jawab umat Islam belum gugur sampai mereka sepakat memilih seorang imam yang memerintah dengan Kitabullah.

Tentang kewajiban mendirikan imamah agung ini tersirat dalam firman Allah,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa’: 58).

Inti dalil ini adalah bahwa perintah ayat ini adalah umum, yang mengharuskan penunaian seluruh jenis amanat yang di antaranya adalah amanat pemerintahan, maka wajib atas umat ini untuk menyampaikan amanat tersebut kepada yang berhak menerimanya dan menyematkannya kepada orang yang mampu menjalankannya dengan benar.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لاَ يحِلُّ لِثَلاَثِةِ نَفَرٍ يَكُوْنُوْنَ بِأَرْضِ فَلاَةٍ إِلاَّ أَمَّرُوْا عَلَيْهِم أَحَدَهُمْ.

“Tidaklah halal bagi tiga orang yang sedang berada di tanah lapang (safar) kecuali menjadikan salah seorang mereka sebagai pemimpin mereka.” (Diriwayatkan oleh Ahmad).

Nabi mengharuskan mengangkat pemimpin dalam kelompok kecil yang tengah menempuh perjalanan sebagai peringatan untuk semua bentuk kelompok. Jika yang hanya terdiri dari tiga orang saja yang sedang dalam perjalanan diharuskan ada pemimpinnya, maka lebih harus lagi bagi kelompok yang lebih banyak apalagi yang mendiami suatu tempat karena mereka perlu menghalau kezhaliman.

Di antara dalil terkuat dalam hal ini adalah ijma’, di mana para sahabat setelah meninggalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersepakat memilih imam, mereka bersegera melaksanakan kewajiban ini, mereka mendahulukan masalah ini daripada urusan lainnya yang sedang mereka tangani, yaitu mengurus dan menguburkan jenazah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan dalam kewajiban ini antara umat ini dan antara para pemimpin, kecuali yang diriwayatkan dari Al-Asham, karena dia itu tuli akan syari’at.”

Dalil lainnya yang menunjukkan wajibnya mendirikan imamah adalah karena banyak syari’at yang tergantung kepada keberadaan imamah, seperti pemberlakuan hudud (sanksi-sanksi), pelaksanaan hukum-hukum, penjagaan perbatasan, penyiapan pasukan, keamanan, pengangkatan hakim dan sebagainya. Jika kewajiban tersebut tidak bisa tegak kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu juga hukumnya wajib. Ini di samping urgensinya untuk mencegah bahaya besar yang sangat mungkin akan timbul karena kekacauan yang diakibatkan oleh kosongnya masa dari pemimpin syar’i (imam). Inilah yang lebih menegaskan lagi bahwa imamah merupakan tuntutan syari’at yang tidak boleh ditinggalkan.

Ali radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Manusia harus memiliki pemerintahan, baik ataupun jahat.” Orang-orang berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tentang yang baik kami telah mengetahuinya, tapi bagaimana dengan yang jahat?” Ali berkata, “Dengan itu bisa diberlakukan hudud, jalan-jalan bisa diamankan, musuh pun bisa diperangi dan harta rampasan bisa dibagikan.”