Kami meriwayatkan dalam kitab at-Tirmidzi dan Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi, dari Abdullah bin Mas’udradiyallahu ‘anhu, dari NabiShallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
مَنْ عَزَّى مُصَابًا، فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ.

“Barangsiapa yang bertakziah kepada orang yang tertimpa musibah, maka ia mendapatkan (pahala) seperti pahalanya.” Namun, sanadnya dhaif.

Kami meriwayatkan dalam kitab at-Tirmidzi juga, dari Abu Barzah radiyallahu ‘anhu,dari NabiShallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
مَنْ عَزَّى ثَكْلَي، كُسِيَ بُرْدًا فِي الْجَنَّةِ.

“Barangsiapa bertakziah kepada wanita yang ditinggal mati orang tuanya, maka ia dipakaikan burdah dari surga.” At-Tirmidzi mengatakan, “Sanadnya tidak kuat.”

Kami meriwayatkan sebuah hadits panjang dalam Sunan Abu Dawud dan an-Nasa`i, dari Abdullah bin Amr bin al-Ashradiyallahu ‘anhu, yang di dalamnya disebutkan,
أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ لِفَاطِمَةَ: مَا أَخْرَجَكَ يَا فَاطِمَةُ مِنْ بَيْتِكِ؟ قَالَتْ: أَتَيْتُ أَهْلَ هذَا الْمَيِّتِ، فَتَرَحَّمْتُ إِلَيْهِمْ مَيِّتَهُمْ (أَوْ عَزَّيْتُهُمْ بِهِ)

“Bahwa NabiShallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Fathimahradiyallahu ‘anha, ‘Apa yang membuatmu keluar dari rumahmu, wahai Fathimah ?’ Ia menjawab, ‘Aku datang kepada keluarga mayit ini, lalu aku mendoakan kepada mereka agar mayit mereka mendapatkan rahmat (aku bertakziah kepada mereka karena kematiannya)’.

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan al-Baihaqi dengan sanad hasan dari Amr bin Hazmradiyallahu anhu, dari NabiShallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّي أَخَاهُ بِمُصِيْبَتِهِ، إِلاَّ كَسَاهُ اللهُ مِنْ حُلَلِ الْكَرَامَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

“Tidaklah seorang Mukmin bertakziah kepada saudaranya karena musibah yang menimpanya, melainkan Allah memakaikan kepadanya sebagian gaun-gaun kemuliaan pada Hari Kiamat.”

Ketahuilah bahwa takziah itu dimaksudkan untuk menambahkan, mengatakan sesuatu yang membuat keluarga mayit merasa terhibur, meringankan kesedihannya, dan meringankan musibahnya.

Takziah dianjurkan; karena ia berisikan amar ma’ruf dan nahi munkar. Ini masuk dalam kategori firman AllahSubhanahu wa Ta`ala,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

“Dan tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa.” (Al-Ma’idah: 2).

Ini adalah sebaik-baik dalil tentang takziah. Disebutkan dalam ash-Shahih bahwa RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ.

“Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut senantiasa menolong saudaranya.”

Ketahuilah bahwa takziah itu dianjurkan sebelum dan sesudah penguburan.

Menurut para sahabat kami, “Waktu takziah dimulai sejak kematian dan berlangsung hingga tiga hari setelah penguburan. Tiga hari ini adalah berdasarkan pendekatan, bukan pembatasan. Demikian yang dikatakan oleh Syaikh Abu Muhammad al-Juwaini dari kalangan sahabat kami.”

Menurut para sahabat kami, “Dimakruhkan bertakziah setelah tiga hari. Karena takziah untuk menentramkan hati orang yang tertimpa musibah, dan pada umumnya hatinya menjadi tentram setelah tiga hari. Oleh karena itu, kesedihannya tidak boleh ditimbulkan kembali. Demikian dinyatakan oleh mayoritas sahabat kami. Abu al-Abbas al-Qass dari kalangan sahabat kami berpendapat, “Tidak apa-apa takziah setelah tiga hari. Bahkan tetap berlanjut, meskipun waktunya sudah lama.” Imam al-Haramain juga menuturkan hal ini dari kalangan sahabat kami. Namun, pendapat yang terpilih bahwa takziah tidak boleh dilakukan setelah tiga hari, kecuali dalam dua bentuk yang dikecualikan oleh para sahabat kami atau segolongan dari mereka, yaitu: jika orang yang ditakziahi atau orang yang tertimpa musibah tersebut tidak ada (ghaib) pada saat penguburan dan kebetulan baru pulang setelah tiga hari.

Para sahabat kami mengatakan, “Takziah setelah penguburan adalah lebih utama daripada sebelumnya; karena keluarga mayit sedang sibuk untuk menyiapkan jenazahnya, dan karena kesepian mereka setelah penguburannya disebabkan perpisahan dengannya adalah jauh lebih berat. Ini jika dia tidak melihat kesedihan pada diri mereka yang sedemikian besar. Namun jika melihatnya, ia harus mendahulukan takziah untuk menentramkan hati mereka. Wallahu ta’ala a’lam.

PASAL

Dianjurkan bertakziah kepada semua keluarga dan kerabat mayit, baik yang tua maupun yang muda, laki-laki maupun perempuan, kecuali wanita yang masih muda, maka yang boleh memberi takziah kepadanya hanyalah mahramnya. Para sahabat kami mengatakan, “Bertakziah dilakukan kepada orang-orang shalih dan orang-orang lemah, agar mereka tabah menghadapi musibah, terlebih lagi kepada anak-anak.”

PASAL

Asy-Syafi’i dan para sahabatnya berpendapat, “Dimakruhkan duduk untuk bertak-ziah.” Mereka mengatakan, “Yang dimaksud dengan ‘duduk’ ialah keluarga mayit duduk di sebuah rumah agar orang-orang yang bermaksud bertakziah datang kepada mereka. Tetapi hendaklah mereka beralih kepada aktifitas untuk berbagai keperluan mereka. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemakruhan duduk untuk bertakziah. Hal ini ditegaskan oleh al-Mahamili, dan ia menukilnya dari pernyataan asy-Syafi’i.”

Ini adalah makruh tanzih jika tidak disertai bid’ah lainnya. Namun jika disertai oleh perkara lain berupa bid’ah-bid’ah yang diharamkan sebagaimana yang umum terjadi menurut kebiasaan, maka hal tersebut adalah keharaman di antara keharaman yang terburuk, sebab ini [i}muhdats (diada-adakan). Disebutkan dalam hadits shahih,
إِنَّ كُلَّ مُحْدَثٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

“Sesungguhnya setiap yang diada-adakan itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.”

PASAL

Adapun redaksi takziah, maka tidak dibatasi. Dengan lafazh apa pun ia bertakziah, maka itu sudah terlaksana.

Para sahabat kami menganjurkan seorang Muslim dalam takziah kepada saudaranya yang Muslim agar mengucapkan,
أَعْظَمَ اللهُ أَجْرَكَ، وَأَحْسَنَ عَزَاءَ كَ، وَغَفَرَ لِمَيِّتِكَ.

Semoga Allah membesarkan pahalamu, membaguskan hiburan untukmu, dan mengampuni jenazah (keluarga)mu.”

Sementara takziah Muslim kepada seorang kafir,
أَعْظَمَ اللهُ أَجْرَكَ، وَأَحْسَنَ عَزَاءَ كَ.

“Semoga Allah membesarkan pahalamu dan membaguskan hiburan untukmu.”

Sedangkan takziah orang kafir kepada seorang Muslim,
أَحْسَنَ اللهُ عَزَاءَ كَ، وَغَفَرَ لِمَيِّتِكَ.

“Semoga Allah membaguskan hiburan untukmu dan mengampuni jenazah (keluarga)mu.”

Dan dalam takziah seorang kafir kepada seorang kafir,
أَخْلَفَ اللهُ عَلَيْكَ.

“Semoga Allah memberi ganti kepadamu.”

Sebaik-baik ucapan takziah ialah sesuatu yang kami riwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Usamah bin Zaidradiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,
أَرْسَلَتْ إِحْدَى بَنَاتِ النَّبِيِّ إِلَيْهِ تَدْعُوْهُ وَتُخْبِرُهُ أَنَّ صَبِيًّا لَهَا أَوِ ابْنًا فِي الْمَوْتِ، فَقَالَ لِلرَّسُوْلِ: اِرْجِعْ إِلَيْهَا، فَأَخْبِرْهَا: أَنَّ لله سبحانه و تعالى مَا أَخَذَ، وَلَهُ مَا أَعْطَى، وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى، فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ …وَذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيْثِ

“Salah seorang putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallammengirim utusan kepada beliau untuk memanggilnya dan mengabarkan kepada beliau bahwa bayi atau anaknya meninggal dunia, maka beliau bersabda kepada utusan tersebut, ‘Kembalilah kepadanya, lalu kabarkan kepadanya bahwa kepunyaan Allahlah sesuatu yang diambilNya dan kepunyaanNya-lah sesuatu yang diberikanNya. Segala sesuatu memiliki ajal yang telah ditentukan. Maka perintahkanlah kepadanya supaya bersabar dan mengharap pahala…”

dan menyebutkan kelanjutan hadits.

Aku katakan, “Hadits ini merupakan salah satu kaidah Islam terbesar yang mencakup berbagai aspek penting berupa pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, etika, dan bersabar terhadap segala bencana, duka cita, penyakit dan hal-hal lainnya. Adapun makna “kepunyaan Allah sesuatu yang diambilNya” bahwa seluruh alam ini adalah milik AllahSubhanahu wa Ta`alaDia tidak mengambil sesuatu yang menjadi milik kalian, tetapi Dia mengambil sesuatu yang menjadi milikNya, yang ada pada kalian, yang mana dalam artian, “dipinjamkan.” Makna “kepunyaanNya sesuatu yang diberikanNya” bahwa sesuatu yang diberikanNya kepada kalian tidak keluar dari kepemilikanNya, bahkan itu kepunyaanNya, Dia bisa memperbuat sekehendakNya. Sedangkan makna “Segala sesuatu di sisiNya memiliki ajal yang telah ditentukan” oleh karenanya, janganlah bersedih. Maksudnya, orang yang diwafatkan olehnya berarti ajalnya yang telah ditentukan telah habis. Jadi, mustahil ajal ditangguhkan atau dimajukan. Jika kalian mengetahui semua ini, maka bersabarlah dan niatkanlah untuk mendapat pahala dari musibah yang datang kepada kalian.

Kami meriwayatkan dalam kitab an-Nasa`i dengan sanad hasan, dari Mu’awiyah bin Qurrah bin Iyas, dari ayahnyaradiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم فَقَدَ بَعْضَ أَصْحَابِهِ، فَسَأَلَ عَنْهُ؟ فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، بُنَيُّهُ الَّذِيْ رَأَيْتَهُ هَلَكَ. فَلَقِيَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم ، فَسَأَلَهُ عَنْ بُنَيِّهِ؟ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ هَلَ عَزَّاهُ عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: يَا فُلاَنُ، أَيُّمَا كَانَ أَحَبَّ إِلَيْكَ: أَنْ تُمَتَّعَ بِهِ عُمُرَكَ، أَوْ لاَ تَأْتِيْ غَدًا بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ إِلاَّ وَجَدْتَهُ قَدْ سَبَقَكَ إِلَيْهِ يَفْتَحُهُ لَكَ؟ قَالَ: يَا نَبِيَّ اللهِ، بَلْ يَسْبِقُنِيْ إِلَى الْجَنَّةِ فَيَفْتَحُهَا لِيْ لَهُوَ أَحَبُّ إِلَيَّ. قَالَ: فَذلِكَ لَكَ.

“Bahwa NabiShallallahu ‘alaihi wasallam kehilangan salah seorang sahabatnya, maka beliau bertanya tentangnya ? Mereka menjawab, ‘Wahai Rasulullah, anaknya yang pernah engkau lihat telah wafat.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallampun menemuinya lalu bertanya kepadanya tentang anaknya, maka ia mengabarkan bahwa anaknya telah meninggal. Beliau pun menghiburnya, kemudian mengatakan, ‘Wahai fulan, mana yang lebih engkau sukai: engkau senang bersamanya sepanjang usiamu, atau tidaklah engkau datang kelak di salah satu pintu surga melainkan engkau menjumpainya telah mendahuluimu guna membukakannya untukmu ?’ Ia menjawab, ‘Wahai Nabiyullah, ia mendahuluiku ke surga lalu membukakannya untukku adalah sungguh lebih aku sukai.’ Beliau mengatakan, ‘Itulah yang engkau dapatkan”

Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dalam Manaqib asy-Syafi’i bahwa asy-Syafi’i menerima kabar bahwasanya Abdurrahman bin al-Mahdi terkena musibah dengan kematian anaknya, maka ia sangat bersedih. Lalu asy-Syafi’irahimahullah mengutus seorang utusan kepadanya (untuk mengatakan kepadanya), “Saudaraku, hiburlah dirimu sebagaimana engkau menghibur orang lain. Celalah perbuatanmu sendiri sebagaimana engkau mencela perbuatan orang lain. Ketahuilah, bahwa musibah yang paling berat ialah hilangnya kegembiraan dan terhalang mendapatkan pahala. Lantas bagaimana jika keduanya berhimpun bersama dosa yang dilakukannya? Oleh karena itu, ambillah keberuntunganmu, wahai saudaraku, jika hal itu dekat padamu sebelum engkau mencarinya sedangkan ia berada jauh darimu. Semoga Allah mengilhami kesabaran kepadamu saat tertimpa musibah, dan semoga Allah meliputi kami dan engkau dengan pahala berkat kesabaran itu.”

Ia menulis kepadanya,
Sesungguhnya aku menghiburmu, bukan karena aku mempunyai keyakinan tetap abadi
Akan tetapi ia merupakan kesunnahan agama
Tidaklah pihak yang ditakziahi tetap hidup setelah kematian mayit keluarganya
Dan tidak pula pihak yang memberi takziah

Seseorang menulis surat kepada saudaranya untuk menghiburnya karena kematian anaknya, “Amma ba’du; anak itu selama masih hidup bersama orang tuanya adalah (menjadi sumber, ed) kesedihan dan cobaan. Jika ia (mati) mendahului ayahnya, maka menjadi shalawat dan rahmat. Oleh karena itu, janganlah bersedih terhadap sesuatu yang hilang darimu berupa kesedihan dan cobaannya. Janganlah engkau sia-siakan sesuatu yang Allah gantikan kepadamu berupa shalawat dan rahmatNya.”

Musa bin al-Mahdi mengatakan kepada Ibrahim bin Salim, dan menghiburnya karena kematian anaknya, “Apakah ia menyenangkanmu padahal ia adalah ujian dan cobaan. Apakah ia menyedihkanmu (pada saat kematiannya) padahal ia adalah shalawat dan rahmat.”

Seseorang bertakziah kepada yang lainnya dengan mengatakan, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Sebab denganNya-lah seseorang mencari pahala, dan kepada-Nya orang yang berduka kembali.”

Seseorang bertakziah kepada yang lainnya dengan mengatakan, “Orang yang menyebabkanmu mendapatkan pahala di akhirat itu lebih baik daripada orang yang menyebabkanmu mendapatkan kegembiraan di dunia.”

Dari Abdullah bin Umarradiyallahu ‘anhu bahwa ia menguburkan anaknya sambil tertawa di sisi kuburnya, maka ditanyakan kepadanya, “Apakah engkau tertawa di sisi kubur?” Ia menjawab, “Aku ingin menghempaskan wajah setan.”

Dari Ibnu Juraijrahimahullah, ia mengatakan, “Barangsiapa yang tidak menghibur diri dengan mengharapkan pahala pada musibah yang menimpanya, maka ia lalai sebagaimana lalainya binatang ternak.”

Dari Humaid al-A’raj, ia mengatakan, “Aku melihat Sa’id bin Jubair rahimahullahmengatakan berkenaan dengan putranya, seraya memandang kepadanya, ‘Sesungguhnya aku benar-benar tahu sebaik-baik pahala yang ada di dalammu.” Ditanyakan kepadanya, “Apakah itu?” Ia menjawab, Ia mati lalu aku berharap pahala dengan kematiannya.”

Dari al-Hasan al-Bashrirahimahullahbahwa seseorang berduka karena kematian anaknya dan ia mengadu kepadanya, maka al-Hasan mengatakan, “Anakmu pergi darimu?” Ia menjawab, “Ya, (pahala) ketidakberadaannya lebih banyak daripada keberadaannya.” Ia berkata, “Biarkanlah ia tidak berada; karena tidaklah ia jauh darimu melainkan pahala yang kamu peroleh lebih besar daripada ini.” Mendengar hal itu, ia berkata, “Wahai Abu Sa’id, engkau telah meringankan dukaku yang sedemikian mendalam atas kepergian anakku.”

Dari Maimun bin Mihran, ia mengatakan, “Seseorang bertakziah kepada Umar bin Abdul Azizrahimahullahatas kematian putranya, Abdul Malik, maka Umar mengatakan, ‘Perkara yang menimpa Abdul Malik adalah perkara yang sudah kami ketahui. Ketika hal itu terjadi, maka kami tidak mengingkarinya.”

Dari Bisyr bin Abdillah, ia mengatakan, “Umar bin Abdul Aziz berdiri di atas kubur anaknya, Abdul Malik, lalu mengatakan, ‘Semoga Allah merahmatimu, wahai anakku. Sungguh engkau menggembirakan pada saat kelahiran, dan menjadi orang yang berbakti pada saat tumbuh dewasa. Aku tidak bermaksud memanggilmu, namun engkau memenuhi panggilanku.”

Dari Maslamah, ia mengatakan, “Ketika Abdul Malik bin Umar meninggal, ayahnya membuka wajahnya seraya mengatakan, ‘Semoga Allah merahmatimu, wahai putraku. Sungguh aku gembira pada saat aku diberi kabar gembira akan kelahiranmu. Sungguh engkau menyenangkan. Belum pernah datang suatu saat pun di mana aku lebih bergembira dibandingkan saat ini. Demi Allah, sungguh engkau akan memanggil ayahmu ke surga.”

Abu al-Hasan al-Mada’ini berkata, “Umar bin Abdul Aziz menjenguk anaknya pada saat sakitnya, lalu mengatakan, ‘Wahai putraku, apa yang engkau rasakan?’ Ia menjawab, ‘Aku merasakan diriku dalam kebenaran’ Ia mengatakan, ‘Wahai putraku, sungguh, engkau berada dalam timbanganku itu lebih aku sukai daripada aku berada dalam timbanganmu’ Putranya berkata, ‘Wahai ayah, sungguh, sesuatu yang engkau sukai lebih aku sukai daripada sesuatu yang aku sukai”

Dari Juwairiyah bin Asma’, dari pamannya bahwa tiga orang bersaudara gugur dalam peperangan Tustar. Mereka gugur sebagai syahid. Suatu hari ibu mereka pergi ke pasar untuk suatu keperluan, seseorang yang datang dari Tustar berpapasan dengannya. Ibu itu mengenalnya lalu menanyakan kepadanya perihal anak-anaknya. Ia menjawab, “Mereka telah gugur secara syahid.” Ibu itu bertanya, “Apakah dalam keadaan maju atau mundur?” Ia menjawab, “Dalam keadaan maju.” Sang ibu mengatakan, “Alhamdulillah, mereka mendapatkan keberuntungan dan mereka memelihara kehormatan keluarga. Diriku, ayah dan ibuku sebagai tebusan mereka.”

Aku katakan, “Dzimar, dengan kasrah dzal mu’jamah, ialah keluarga orang itu dan selainnya yang wajib baginya untuk menjaganya. Perkataan, Hathu, bermakna menjaga dan memelihara.

Putra Imam asy-Syafi’irahimahullah meninggal dunia, maka ia bersenandung,
Masa itu hanyalah seperti ini, maka bersabarlah karenanya
Kehilangan harta atau berpisah dengan kekasih

Abu al-Hasan al-Mada’ini berkata, “Al-Hasan, orang tua Ubaidullah bin al-Hasan meninggal dunia. Ubaidullah pada saat itu adalah qadhi dan amir Bashrah, sehingga banyak orang yang bertakziah kepadanya. Mereka mengingatkan sesuatu yang mana kesedihan seseorang lebih jelas daripada kesabarannya. Akhirnya, mereka bersepakat bahwa jika ia meninggalkan sesuatu yang biasa dilakukannya, berarti ia sedang bersedih.”

Aku katakan, “Atsar-atsar mengenai hal ini cukup banyak. Aku hanya menyebutkan beberapa poin ini agar buku ini berisi sedikit isyarat kepada sebagian dari hal itu. Wallahu a’lam.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf