KITAB TALAK

1. Talak adalah dibolehkan:
a) Dari orang yang mukallaf.
b) Kemauan sendiri sekalipun dengan bercanda.
c) Atas wanita yang sedang suci (tidak haidh) yang tidak pernah digaulinya selama itu.
d) Tidak diceraikan ketika haidh sebelumnya atau ketika kehamilan yang sudah jelas.

2. Diharamkan untuk menjatuhkan talak pada selain sifat ini.

3. Terjadi perbedaan pendapat tentang jatuhnya talak (pada selain di atas) dan talak setelah talak satu tanpa diselingi dengan rujuk. Yang rajih (lebih kuat) adalah tidak jatuh.

Pasal

4. Talak jatuh dengan:
a) Kinayah (sindiran) yang disertai niat mentalak. [Kinayah adalah lafadz yang mengandung dua pengertian atau lebih (Lihat, Tahrir Alfadz at-Tambih, karya an-Nawawi, hal. 244). Termasuk kinayah talak adalah ucapan “Pulanglah ke keluargamu” dan sejenisnya, ]
b) Dengan pilihan apabila dia (istri) memilih berpisah.

5. Apabila suami menyerahkan (masalah talak) kepada orang lain (kemudian mentalaknya), maka talaknya jatuh.

6. Tidak jatuh talak dengan perkataan: “Kamu haram bagiku.”

7. Suami lebih berhak kepada istrinya yang masih berada pada iddah. Dia boleh merujuknya kapan saja dikehendaki apabila talaknya adalah talak raj’i (pertama atau kedua).

8. Tidak boleh lagi untuk menikah dengannya apabila sudah mentalaknya dengan talak tiga sampai dia (istri) menikah dengan laki-laki lain [yaitu berhubungan suami istri dengan sah, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak, hingga wanita itu merasakan kenikmatan dan ia pun menikmatinya.” (Muttafaq ‘alaih),

Bab Khulu’ (GUGAT CERAI)

9. Apabila seorang laki-laki telah mengkhulu’ istrinya, maka urusannya terserah kepada istri, dia tidak boleh kembali kepada suaminya hanya sekedar dengan rujuk.

10. Boleh khulu’ dengan (mengembalikan mahar) yang sedikit atau banyak selama tidak melebihi apa yang telah diberikan oleh suami kepadanya.

11. Harus ada keridhaan kedua suami-istri untuk khulu’.

12. Atau keputusan hakim karena perkelahian antara keduanya.

13. Khulu’ dianggap pasakh (pembatalan pernikahan).

14. Iddahnya adalah satu kali haidh.

Bab Ila’

15. Yaitu seorang suami bersumpah untuk tidak menggauli semua isterinya atau sebagiannya.

16. Apabila menentukan waktunya kurang dari empat bulan, maka dia harus meninggalkannya sampai selesai waktu yang telah dia tentukan.

17. Apabila menentukan waktu lebih dari itu, maka setelah lewat empat bulan disuruh memilih antara kembali kepada istri atau mentalaknya.

Bab Zihar

18. Yaitu perkataan suami kepada istrinya, “Kamu bagiku seperti punggung ibuku”, atau “saya menziharmu” atau kalimat yang serupa dengan itu.

19. Sebelum dia menggauli istrinya, maka dia wajib membayar kafarah dengan:
A. Memerdekakan budak.
B. Jika tidak mendapatkannya, maka berpuasa dua bulan berturut-turut.
C. Apabila tidak mampu, maka memberikan makan 60 orang miskin.

20. Seorang imam (penguasa) boleh membantunya dari zakat orang Islam, apabila dia miskin dan tidak mampu untuk berpuasa.

21. Dia (suami yang miskin) boleh membelanjakan sebagiannya untuk dirinya dan keluarganya.
22. Apabila zihar itu ditentukan waktunya, maka tidak hilang kecuali setelah selesai waktunya.

23. Apabila dia menggauli istrinya sebelum habis waktu (yang telah ditentukannya) atau sebelum membayar kafarah, maka dia harus dilarang sampai dia membayar kafarah ziharnya dan selesai waktu (yang telah ditentukannya).

Bab Li’an

24. Apabila suami menuduh istrinya berzina dan dia (istri) tidak mau mengakuinya dan suami tidak menarik tuduhannya, maka dia melakukan li’an dengannya.

25. Caranya dengan:
A. Suami memberikan persaksian empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia (suami) adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia (suami) termasuk orang-orang yang berdusta.
B. Kemudian istri memberikan sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.

26. Apabila wanita tersebut hamil atau telah melahirkan, maka penafian terhadap anak juga dimasukkan ke dalam sumpah suami.

27. Hakim memisahkan antara keduanya (suami istri).

28. Haram untuk menikah dengannya lagi untuk selamanya.

29. Anak dinisbahkan kepada ibunya saja.

30. Orang yang menuduhnya berzina disebut qazif (penuduh).

Bab ‘Iddah

31. ‘Iddah adalah untuk talak:
A. Hamil ‘iddahnya sampai melahirkan.
B. Wanita haidh dengan tiga kali haidh.
C. Selain keduanya ‘iddahnya adalah tiga bulan.

32. ‘Iddah untuk yang ditinggalkan mati (suaminya) adalah:
A. Empat bulan sepuluh hari.
B. Apabila dia sedang hamil, maka sampai melahirkan.

33. Tidak ada ‘iddah bagi wanita yang tidak pernah digauli

34. Budak wanita iddahnya sama dengan wanita merdeka.

35. Wanita yang sedang iddah karena kematian harus:
A. Tidak berhias.
B. Tinggal di rumah yang dia berada ketika kematian suaminya atau ketika dia mendapatkan kabar kematiannya.

Pasal [Hukum Istibra’]

36. Wajib melakukan istibra’ (meminta kesucian rahim) budak wanita yang menjadi tawanan, yang dibeli dan yang serupa, dengan cara:
A. Sekali haidh jika dia masih haidh.
B. Melahirkan apabila dia hamil.
C. Wanita yang tidak haidh lagi sampai jelas ketidak hamilannya.

37. Tidak wajib istibra’:
A. Gadis
B. Wanita yang masih kecil secara umum.

38. Seorang penjual atau pemberi (budak sahaya wanita) tidak diharuskan untuk menuntut istibra’.
Artinya: penjual tidak harus menuntut istibra’ budak sahaya perempuan yang dijualnya dan demikian pula orang yang menghibahkan budak.

Bab Nafkah

39. Suami wajib memberikan nafkah kepada istri atau istri yang ditalak raj’i.

40. Tidak wajib nafkah kepada wanita yang ditalak ba’in (talak tiga), atau wanita yang sedang menjalankan iddah kematian. Mereka tidak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal kecuali apabila keduanya sedang hamil.
Maksudnya tidak wajib nakfah kepada wanita yang ditalak tiga atau wanita yang sedang iddah karena kematian, kecuali apabila keduanya sedang hamil, sebagaimana firman Allah, “Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. “(QS. Ath-Thalaq: 6)

41. Diwajibkan juga atas ayah yang mampu untuk anaknya yang tidak mampu.

42. Begitu juga sebaliknya.

43. Majikan wajib menafkahi orang yang berada dalam kekuasaannya.

44. Tidak wajib nafkah dari kerabat untuk kerabatnya yang lainnya, kecuali sebagai bentuk silaturrahim (yang disyariatkan)

45. Orang yang wajib mendapatkan nafkah, maka wajib juga mendapatkan pakaian dan tempat tinggalnya.

Bab Menyusui

46. Ditetapkan hukum menyusui dengan:
A. Lima kali susuan
B. Dengan keyakinan adanya (masuknya) air susu.
C. Anak yang menyusui dalam usia belum disapih.

47. Diharamkan karena sebab susuan apa yang diharamkan karena sebab nasab.

48. Perkataan wanita yang menyusui harus diterima.

49. Boleh menyusui orang dewasa sekalipun sudah memiliki jenggot untuk memperbolehkan memandangnya (ibu susuan).

Bab Pengasuhan

50. Orang yang lebih utama untuk mengasuh anak (secara berurutan) adalah:
A. Ibunya
B. Bibinya (saudari ibu)
C. Ayahnya
D. Kemudian hakim menentukan kerabatnya yang dilihat bisa untuk mengasuhnya.

51. Setelah sampai usia istiqlal (bisa mengurus sendiri) anak disuruh memilih antara ikut ayah atau ibunya.

52. Jika tidak terdapat orang tua yang mengasuhnya, maka diberikan pengasuhannya kepada orang yang dilihat mampu untuk mengasuhnya.