Fatwa-Fatwa Para Ulama Seputar Bursa Saham (Red)

Berikut kami nukilkan beberapa fatwa para ulama berkaitan dengan permasalahan Bursa Saham.

Dan fatwa-fatwa tersebut adalah kumpulan fatwa (Syaikh Bin Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Ibnu al-Jibrin), di antaranya adalah:

(1) Hukum memiliki saham di Bank atau menyerahkan nama-nama kepada seseorang agar diikutsertakan dalam saham miliknnya

Pertanyaan:
Terjadi silang pendapat yang sangat tajam antara saya dan saudara saya seputar (hukum) menanam saham di ‘Riyadh Bank’ yang saham-sahamnya dilepas untuk acara ‘tutup buku’ tahun ini; apakah boleh menanamkan saham di sana?. Lalu saya katakan kepadanya, “Sesungguhnya hal itu haram karena bertransaksi dengan riba.” Sedangkan dia berkata, “Sesungguhnya masih sebatas syubhat, bukan haram.”
Sebab terjadinya silang pendapat tersebut karena dia meminta nama-nama (identitas-identitas) saya dan anak-anak saya agar diikutsertakan dalam saham yang ditanamnya di bank tersebut. Kami jadi sering bertengkar dan akhirnya memutuskan sepakat mendapatkan jawaban pemutus dari samahatus Syaikh.
Oleh karena itu, kami mohon difatwakan mengenai hal-hal berikut:

1. Hukum menanam saham di bank tersebut
2. Hukum menyerahkan nama-nama kepada seseorang yang ingin menggunakannya untuk sahamnya di bank tersebut padahal pemilik nama tersebut memandang hal itu adalah haram.

Kami mohon agar samahatus Syaikh yang mulia menjawabnya sesegera mungkin, semoga Allah senantiasa menjaga anda.

Jawaban:
Tidak boleh hukumnya menanam saham di bank tersebut ataupun bank-bank ribawi selainnya dan juga tidak boleh membantunya dengan cara menyerahkan nama-nama tersebut sebab hal itu semua termasuk ke dalam kategori bertolong-tolongan di dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Padahal Allah ta’ala telah melarang hal itu di dalam firmanNya:
“Dan bertolong-tolonganlah kaum di atas berbuat kebajikan dan takwa dan janganlah kamu bertolong-tolongan di atas berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Ma`idah:2).
Demikian pula telah terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau telah melaknat pemakan riba, pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya. Beliau mengatakan, “Mereka itu sama saja.”
Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua terhadap hal yang diridhaiNya. Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh.

(2) Hukum Membeli Saham-saham Perusahaan Bisnis.

Pertanyaan:
Apa hukum membeli saham-saham yang terdapat di dalam perusahaan-perusahaan bisnis persahaman, mengingat bahwa sebagiannya bertransaksi dengan riba? Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.

Jawaban:
Menurut pendapat kami, sikap yang wara’ (berhati-hati) adalah tidak menanamkan saham di dalamnya dan menjauhinya karena sebagaimana disebutkan oleh si penanya bahwa yang dominan, ia bertransaksi dengan riba. Dalam hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلىَ مَا لاَ يُرِيْبُكَ

“Tinggalkanlah apa yang membuatmu ragu kepada apa yang tidak membuatmu ragu.”

Demikian pula sabda beliau:

مَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اِسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ

“Barangsiapa yang menjauhi hal-hal yang syubhat (samar-samar), berarti dia telah membebaskan tanggungan dirinya untuk (kepentingan) agama dan kehormatannya.”

Akan tetapi, andai misalnya seseorang telah terlanjur menjalani dan menanamkan sahamnya, maka wajib baginya untuk mengeluarkan keuntungan ribawi sesuai dengan prosentasenya; jika kita perkirakan bahwa keuntungan dari riba tersebut sebesar 10%, maka dia harus mengeluarkan keuntungan yang 10% tersebut, jika kita perkirakan keuntungannya 20%, maka 20% nya yang dikeluarkan, demikian seterusnya.

Sedangkan bila dia tidak mengetahui berapa persentasenya, maka sebagai sikap hati-hati (preventif), dia harus mengeluarkan separoh dari keuntungan tersebut.

Pertanyaan:
Apa hukumnya menurut syari’at, saham-saham perusahaan yang sudah beredar luas di pasaran; bolehkah memperdagangkannya?

Jawaban:
Saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini karena perusa-haan-perusahaan yang ada di pasaran berbeda satu sama lainnya di dalam bertransaksi dengan riba. Jika anda mengetahui bahwa perusahaan tersebut bertransaksi dengan riba dan membagi-bagikan hasil keuntungan dari riba tersebut kepada para peserta (anggota/nasabah), maka anda tidak boleh ikut serta di dalamnya. Jika anda telah ikut serta, kemudian baru mengetahuinya setelah itu bahwa ia bertransaksi dengan riba, maka anda harus mendatangi bagian administrasinya dan meminta keikutsertaan anda ditarik. Jika anda tidak dapat melakukan hal itu, maka anda tetap di perusahaan itu, kemudian bila keuntungan-keuntungan tersebut diserahkan dan dalam slip gaji dijelaskan sumber-sumber keuntungan tersebut, maka anda ambil keuntungan dari sumber yang halal saja dan menyedekahkan keuntungan dari sumber yang haram sebagai upaya melepaskan diri (menghindar) darinya. Jika anda juga tidak mengetahui hal itu, maka sikap yang lebih berhati-hati (preventif) adalah menyedekahkan separuh dari keuntungan tersebut sebagai upaya melepaskan diri (menghindar) darinya sedangkan sisanya adalah milik anda karena inilah yang dapat anda lakukan, sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam firmanNya,
Artinya, “Maka bertakwalah kepada Allah semampu kamu.” (At-Tagha-bun:16).

(3) Hukum Menanam Saham Di Bank-Bank Dan Selainnya.

Pertanyaan:
Apa hukum menanam saham di bank-bank dan selainnya?

Jawaban:
1. Jika menanam sahamnya di pos-pos riba seperti bank-bank, maka tidak halal hukumnya bagi siapapun untuk menanamkan sahamnya di sana sebab semua itu didirikan dan berjalan di atas riba. Kalaupun ada transaksi-transaksi yang halal di dalamnya maka hal itu terbatas sekali bila dibandingkan dengan riba yang dilakukan oleh para pegawai bank-bank tersebut.

2. Sedangkan bila menanam saham pada transaksi yang tujuannya adalah berbisnis industri, pertanian atau sepertinya, maka hukum asalnya adalah halal. Akan tetapi di sana juga ada semacam syubhat sebab nilai tambah (surplus) beberapa dirham yang ada pada mereka, mereka simpan di bank-bank sehingga mereka mengambil ribanya, barangkali mereka mengambil beberapa dirham dari bank dan pihak bank memberikan riba kepada mereka. Maka, dari aspek ini kami katakan, “Sesungguhnya sikap yang wara’ (selamat) adalah seseorang tidak menanamkan saham di perusahaan-perusahaan seperti ini.”

Sesungguhnya Allah akan menganugerahinya rizki, bila telah diketahui niatnya tidak melakukan hal itu (menanam saham) semata karena sikap wara’ dan rasa takut terjerumus ke dalam hal yang syubhat (samar).

Dalam hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اْلحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ اْلحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اِسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فيِ الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فيِ اْلحَرَامِ كَالرَّاعِيْ يَرْعَى حَوْلَ اْلحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ

“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas sedangkan di antara keduanya terdapat hal-hal yang syubhat (samar-samar) yang tidak banyak diketahui oleh manusia; barang-siapa yang menjaga dirinya dari hal-hal yang syubhat (samar-samar)tersebut, berarti dia telah membebaskan tanggungan dirinya untuk (kepentingan) agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam hal-hal yang syubhat (samar-samar), berarti dia telah terjerumus ke dalam hal yang haram, seperti halnya seorang pengembala yang mengembalakan (ternaknya) di sekitar lahan yang terlarang yang memungkinkan ternak tersebut masuk ke dalamnya.”

Akan tetapi bagaimana solusinya bilamana seseorang sudah terlanjur menanamkan saham atau semula ingin menanam saham namun tidak menempuh jalan yang lebih baik, yaitu jalan wara’?

Di sini kami mengatakan, “Solusinya dalam kondisi seperti ini adalah bila hasil keuntungannya diserahkan dan di dalamnya terdapat slip yang menjelaskan sumber-sumber didapatnya keuntungan tersebut, maka:

a) Yang sumbernya halal, maka dianggap halal.

b) Yang sumbernya haram seperti bila mereka mengatakan secara terang-terangan bahwa keuntungan ini adalah hasil dari bunga-bunga bank, maka wajib bagi seseorang untuk melepaskan diri (menghindar) darinya dengan cara mengalokasikanya kepada kepentingan-kepentingan umum maupun khusus, bukan sebagai bentuk taqarrub (ibadah) kepada Allah tetapi sebagai bentuk menyelamatkan diri dari dosanya, sebab andai dia berniat taqarrub kepada Allah dengan hal itu, maka hal itu tidak akan menjadi sarana yang dapat mendekatkan dirinya kepadaNya. Karena, Allah adalah suci, tidak menerima kecuali yang suci. Juga, dia tidak bisa selamat (terhindar) dari dosanya, tetapi barangkali dia diganjar pahala atas ketulusan niat dan taubatnya.

c) Bila di dalam keuntungan-keuntungan tersebut tidak terdapat slip (daftar) yang menjelaskan mana yang dilarang dan mana yang dibolehkan, maka sikap yang lebih utama dan berhati-hati adalah mengeluarkan separuh dari keuntungan tersebut, sedangkan keuntungan yang separohnya tetap halal baginya sebab bila tidak diketahui berapa ukuran (prosentase) harta yang mirip-mirip dengan yang lainnya tersebut, maka sikap yang berhati-hati adalah mengeluarkan separuhnya, sehingga tidak ada orang yang menzhalimi dan terzhalimi.

(4) Saham-saham di Bank-bank Ribawi.

Pertanyaan:
Ayah saya memiliki 30 buah saham di bank dan ketika kami mengetahui bahwa ia adalah bank ribawi, salah seorang saudara kami memberikan nasehat kepadanya dan menyatakan bahwa hal itu haram. Lalu dia berkata ketika itu, “Kalau begitu, juallah.”

Namun setelah wafatnya, kami mendapatkan saham-saham tersebut masih seperti semula. Beliau memang ingin menjualnya semasa hidupnya, dan saham-saham tersebut telah menjadi berlipat sehingga menjadi berjumlah 60 saham. Pertanyaannya, apakah dosa perbuatan tersebut akan diterima oleh ayah saya tersebut?

Jawaban:
Semoga Allah memaafkannya dan semoga dosa tersebut tidak diterimanya, hal ini dikarenakan beliau telah bertekad untuk melepaskan diri (menghindar) darinya semasa hidupnya akan tetapi beliau tidak mampu melakukannya. Barangkali saja ada udzur tertentu atau aral lainnya yang mencegahnya.

Oleh karena itu, kalian harus menjual saham-saham tersebut dan menyedekahkan keuntungan yang diraih darinya sekalipun 10% atau 20% sebagai upaya melepaskan diri (menghindar) dari riba yang terdapat di dalamnya, selebihnya silahkan dibagi-bagi.

[5] Hukum Menjual dan Membeli Saham-Saham Perusahaan Melalui Jaringan Internet

Pertanyaan:
Proses peredaran jual-beli saham-saham perusahaan bisnis sering dilakukan melalui jaringan internet, bagaimana hukumnya menurut syari’at?

Jawaban:
Perusahaan-perusahaan Islami hukumnya dibolehkan baik ia bergerak di bidang perdagangan, produksi, pertanian, kontruksi atau semisalnya. Para ulama fikih telah menyebutkan lima dari jenis syarikah tersebut, yaitu syarikah ‘Inan, syarikah Mudharabah, syarikah Abdan, syarikah Wujuh dan syarikah Mufawadhah.

Bilamana syarikah tersebut telah menaruh modalnya pada barang yang ditawarkan untuk dijual dan dibeli sedangkan barang-barang tersebut termasuk kategori barang yang dibolehkan bertransaksi dengannya, maka menjual saham-sahamnya dibolehkan bila modalnya diketahui dan jumlah saham yang dijual telah ditentukan.

Jadi, boleh bagi si pemiliknya berkata kepada pembeli, “Saya jual kepada anda bagian saya dari syarikah/perusahaan ini yang sebesar 1,5 -nya, 0,1 –nya, 0,4 –nya, 0,01 -nya atau semisalnya.” Lalu si pembeli mengambil posisi si penjual, kapan saja syarikah tersebut membuka penjualan saham-sahamnya, dia bisa mengambil modal yang dimiliki oleh si penjual tersebut, berikut bagiannya dari keuntungan. Demikian juga hal seperti ini berlaku pada perusa-haan-perusahaan yang bergerak di bidang produksi, bila si penjual tersebut menaruh modalnya pada peralatan-peralatan beratnya yang digunakan untuk memproduksi dan memasarkan produksi mereka, maka penanam saham boleh menjualnya baik seluruhnya ataupun sebagiannya dengan harga yang diketahui, serahterimanya dilakukan di majlis akad atau kuitansinya telah dipegang sehingga tidak terjadi jual beli hutang dengan hutang.

Bila perusahaan memiliki stock modal, maka sebaiknya tidak menjualnya agar tidak terjadi penjualan uang bersama barang dengan uang. Kecuali bila stoknya sedikit, maka juga termasuk ke dalam masalah tersebut sebagai sub-ordinasinya.

Juga tidak apa-apa menjual saham-saham tersebut dengan perantaraan media komunikasi modern, seperti telepon dan internet bila ijab-kabul (serah-terima)nya dapat teralisasi secara berturut-turut (teratur). Jika syarat berturut-turut kurang, kabul (penerimaan)nya menyalahi ijab, tidak diketahui berapa ukuran barang yang dijual, harga atau kuintasinya belum dipegang (disepakati) saat masih terjadi akad, atau saham-sahamnya ribawi seperti saham sebagian bank; maka penjualan seperti ini tidak boleh hukumnya, baik dilakukan via internet, secara lisan, via telepon atau selainnya, wallahu a’lam.

(Fatwa-fatwa di atas dinukil dari Kitab Fatwa-Fatwa Terkini – Kumpulan Fatwa Syaikh Bin Baz, Syaikh Ibnu al-Utsaimin, dan Syaikh Ibnu al-Jibrin -, jilid. 2, cet. Darul Haq Jakarta)