Tamadhur, istri Abdurrahman bin Auf bercerita, Saya berkata kepada Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, “Apakah kamu punya keinginan dengan putri paman saya; perawan, cantik, berpostur padat, pipi lembut, dan cerdas, untuk kamu nikahi?”
Dia menjawab, “Ya.”

Dia pun menunjukinya kepada Nayilah binti al-Farafishah al-Kalbiyah. Al-Farafishah al-Kalbi ketika itu masih beragama Nasrani, demikian pula anaknya. Hanya saja, ia memiliki saudara laki-laki yang telah masuk Islam. Maka Utsman pun melamarnya melaluinya, dan ia dinikahkan oleh saudaranya itu.

Nayilah kemudian dibawa kepadanya dari negeri Kalb -yaitu negeri Samawah yang terletak antara Doha dan Syam- hingga ia sampai ke Madinah. Tatkala ia masuk ke kamar Utsman, ia menemukan dua buah ranjang di dalam kamar. Ia duduk di salah satunya, sementara Utsman duduk di atas yang lain. Utsman melepas pecinya hingga terlihat botak kepalanya seraya berkata, ‘Barangkali kamu tidak menyukai ubanku yang kamu lihat ini?’ Dalam riwayat lain disebutkan, ‘Jangan sampai menjadikanmu gundah botakku yang kamu lihat, karena di balik itu terdapat apa yang kamu cintai’.”

Dia berkata -dan lihatlah apa yang dikatakannya, “Demi Allah, sungguh, aku termasuk wanita yang mengidamkan suami dalam fase kuhulah (usia 30-50).”

Utsman berkata, “Aku telah melewati fase kuhulah, aku adalah kakek tua jompo.”
Nayilah berkata, “Masa mudamu telah kamu habiskan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, pada sebaik-baik hal yang dihabiskan masa muda.”

Kemudian Utsman berkata kepadanya, “Kamu yang datang kepada kami, ataukah kami yang mendatangimu?”

Ia menjawab, “Tidaklah aku datang dari negeri Samawah lalu aku akan bersikap pelit untuk beralih kepadamu. Bahkan, aku yang datang kepadamu.”

Diposting oleh: Abu Thalhah Andri Abdul Halim, di nukil dari, “90 Kisah Malam Pertama” karya Abdul Muththalib Hamd Utsman, edisi terjemah cet. Pustaka Darul Haq Jakarta