Inilah al-Faruq, Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu! Ketika memilih putri wanita penjual susu sebagai istri bagi anaknya, Ashim, dia tidak mempertimbangkan keturunan ataupun nasab sedikit pun, dan tidak pula harta maupun kedudukan. Melainkan pertimbangannya satu-satunya adalah apa yang diperlihatkan oleh gadis baik itu, berupa iman kepada Allah dan selalu merasa diawasi olehNya, ketika sendiri dan ketika di mata umum, serta keyakinan bahwa tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah ‘Azza wa Jalla, hingga ia mencapai tingkatan ihsan dalam ibadahnya -padahal dia adalah gadis yang kondisinya menyedihkan, miskin kedudukan dan harta-, di mana dia beribadah kepada Allah seolah-olah melihatNya, dan kendati pun dia tidak melihatNya, maka Dia melihatnya.

Suatu malam, al-Faruq radhiallahu ‘anhu memeriksa kondisi rakyat. Tiba-tiba, ia mendengar suara seorang wanita berkata kepada putrinya, “Campurlah susu itu dengan air.”

Gadis itu menjawabnya, “Wahai ibuku! Tidakkah engkau mengetahui apa yang ditekankan Amirul Mukminin?”

Wanita itu berkata, “Apa yang ditekankan olehnya, wahai putriku?”
Dia berkata, “Dia memerintahkan penyerunya untuk berseru, ‘Jangan (mencampur) susu dengan air’.”

Wanita itu berkata, “Campurlah susu itu dengan air, lalu campurlah ia dengan air, sesungguhnya kamu berada di sebuah tempat yang kamu tidak akan dilihat oleh Umar, dan tidak pula penyeru Umar.”

Dengan tangkas gadis itu menyanggah, “Wahai ibuku! Jika Umar tidak tahu, maka sungguh, Rabb Umar mengetahui. Demi Allah! Aku tidak akan menaatiNya di depan umum lalu mendurhakaiNya di kala sendiri.”

Pagi harinya, Umar radhiallahu ‘anhu berkata kepada putranya, Ashim, “Pergilah ke tempat ini, sesungguhnya di sana terdapat seorang gadis. Jika ia tidak sibuk, nikahilah dia. Semoga Allah menganugerahimu kelembutan yang diberkahi darinya.”

Tepat sekali firasat al-Faruq radhiallahu ‘anhu. Ashim menikahi gadis itu dan memberinya anak, Ummu Ashim, yang kemudian dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan dan memberinya anak, Umar bin Abdul Aziz, sang pemimpin yang adil, semoga Allah Ta’ala merahmati dan meridhainya.

Diposting oleh: Abu Thalhah Andri Abdul Halim, di nukil dari, “90 Kisah Malam Pertama” karya Abdul Muththalib Hamd Utsman, edisi terjemah cet. Pustaka Darul Haq Jakarta