4. Menganggap tauhid sebatas tauhid rububiyah dengan menafsirkan la ilaha illallah dengan ‘tidak ada yang mampu menciptakan kecuali Allah’ dan tidak memasukkan tauhid ibadah ke dalam tauhid adalah keliru karena:

A. Tauhid rububiyah tidak diingkari oleh seorang manusia pun secara hakiki, orang-orang musyrik, para penyembah berhala mengakui bahwa pencipta adalah Allah sebagaimana firman Allah,

“Katakanlah, ‘Siapakah yang empunya langit yang tujuh dan yang empunya ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang di tanganNya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (Al-Mukminun: 86-89).

Jika tauhid sebatas pengakuan terhadap rububiyah Allah berarti semua manusia sampai penyembah berhala adalah muwahhid (orang yang bertauhid), lalu apa gunanya al-Qur`an berbicara tentang syirik dan pelakunya?

B. Jika tauhid sebatas tauhid rububiyah lalu apa gunanya Allah mengutus para rasul? Untuk mengajak mereka kepada tauhid yang telah mereka akui? Jika demikian maka ia sama saja dengan menggarami laut dan melempar batu ke gunung, di mana hikmah Allah kalau begitu? Padahal Allah mengutus para Rasul untuk berseru,
مالكم من اله غيره (sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selainNya).

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan aku’.” (Al-Anbiya`: 25).

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (An-Nahl: 36).

C. Jika tauhid hanya sebatas pengakuan terhadap rububiyah Allah niscaya tidak akan ada pertentangan antara para rasul dengan musuh-musuh mereka, niscaya musuh-musuh tersebut akan menerima dengan pasrah padahal sejarah membuktikan dan al-Qur`an berbicara bahwa antara para rasul dengan kaumnya terjadi pertentangan bahkan peperangan yang memakan nyawa dan harta. Apakah semua itu karena para rasul mengajak mereka kepada rububiyah Allah?

Ibnu Utsaimin berkata, “Tauhid ala ahli kalam adalah kamu mentauhidkan Allah, kamu berkata, Dia satu dalam dzatNya tidak ada duaNya, satu dalam perbuatanNya tidak ada sekutu bagiNya, satu dalam sifat-sifatNya tidak ada tandingan bagiNya. Dan mereka tidak berkata, satu dalam ibadahNya. Kalau makna la ilaha illallah adalah demikian maka orang-orang Quraiys tidak akan menentang Nabi saw, niscaya mereka beriman dan membenarkan karena mereka berkata tidak ada khalik kecuali Allah.” (Al-Qaul al-Mufid 1/60).

Saya menambahkan, niscaya orang-orang Quraisy tidak akan berkata, “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shaad: 5).

Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang meyakini Allah adalah Rabb segala sesuatu dan penciptanya, walaupun begitu dia menyembah selainNya maka dia musyrik kepada Rabbnya, mengangkat tuhan lain selainNya, ilahiyah (tauhid) bukan penciptaan atau kemampuan untuk mencipta atau qidam sebagaimana yang ditafsirkan oleh ahli bid’ah dalam tauhid dari kalangan ahli kalam karena orang-orang musyrik di mana Allah dan rasulNya bersaksi bahwa mereka musyrik dari kalangan orang-orang Arab dan lainnya tidak meragukan bahwa Allah pencipta segala sesuatu dan Rabbnya. Jika hal tersebut merupakan ilahiyah niscaya mereka mengakui bahwa tiada tuhan yang haq selain Dia.”

5. Pendapat bahwa apabila seseorang mencapai usia dewasa maka kewajiban pertama adalah nazhar (melihat dan mengkaji) kemudian beriman adalah keliru, terbalik,

Yang benar adalah beriman dulu setelah itu melihat dan mengkaji untuk lebih memantapkan imannya. Inilah dalil-dalilnya:

1) Beriman atau menyembah Allah merupakan seruan pertama para rasul kepada kaumnya.

Firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata, ‘Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selainNya.’ Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (Kiamat).” (Al-A’raf: 59).

2) Firman Allah, “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah.” (Muhammad: 19).

Ibnu Fauzan berkata, “Kewajiban awal bagi setiap mukallaf adalah bersaksi lailaha illallah dan mengamalkannya. Dan kewajibn pertama bagi orang yang ingin masuk Islam adalah mengikrarkan dua kalimat syahadat.” (Kitab Tauhid 1/55).

3) Rasulullah saw dalam praktek dakwah yang beliau lakukan dan perintahkan adalah menyeru kepada iman atau tauhid bukan kepada nazhar.

Ibnu Abbas menuturkan bahwa Rasulullah saw tatkala mengutus Muadz ke Yaman, bersabdalah beliau kepadanya,

إِنَّكَ تَأْتِى قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الكِتَابِ ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ – وَفِى رِوَايَةِ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ .

“Sungguh, kamu akan mendatangi kaum ahli kitab, maka hendaklah pertama kali dakwah yang kamu sampaikan kepada mereka ialah syahadat la ilaha illallah –dalam riwayat lain disebutkan, supaya mereka mentauhidkan Allah’.”

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahal bin Saad as-Saidi bahwa Nabi saw bersabda kepada Ali ketika beliau menyerahkan panji kepadanya di perang Khaibar.

” انفذ على رسلك حتى تنزل بساحتهم ثم ادعهم إلى الإسلام وأخبرهم بما يجب عليهم من حق الله تعالى فيه ، فو الله لأن يهدي الله بك رجلا واحدا خيرا لك من حمر النعم .” وفي رواية أخرى ” فادعهم إلى أن يشهدوا أن لاإله إلا الله ، وأن محمدا رسول الله .”

“Melangkah ke depan dengan tenang sampai kamu tiba di tempat mereka, kemudian ajaklah mereka kepada Islam dan sampaikanlah kepada mereka hak Allah Taala dalam Islam yang wajib mereka laksanakan. Demi Allah, bahwa Allah memberi petunjuk satu orang lewat dirimu, benar-benar lebih baik bagimu daripada unta-unta merah.” Dalam riwayat yang lain, “Ajaklah mereka kepada kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

Dalam Syarah Aqidah Thahawiyah 1/23 ditulis, “Oleh karena itu yang shahih adalah bahwa kewajiban pertama atas mukallaf adalah syahadat la ilaha illallah bukan nazhar bukan keinginan untuk nazhar bukan pula kebimbangan sebagaimana ia merupakan pendapat ahli kalam yang tercela. Justru para imam salaf telah bersepakat bahwa perintah kepada seorang hamba pertama kali adalah dua kalimat syahadat, mereka bersepakat bahwa barangsiapa melakukan itu sebelum baligh maka setelah baligh tidak dituntut mengulangnya. Tidak seorang pun dari para imam salaf yang mewajibkan atas walinya untuk menyuruhnya memperbarui syahadatnya.”

6. Menetapkan atau menafikan sifat Allah dengan berpijak kepada akal keliru karena ketebatasan akal, sepintar apapun suatu akal, ia tetap tidak mengetahui Allah dari segala segi ولا يحيطون به علما “Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmuNya.” (Thaha: 110).

Yang benar adalah menetapkan sifat dengan dasar al-Qur`an dan sunnah. Sifat yang ditetapkan oleh keduanya wajib ditetapkan dan karena hanya Allah yang lebih mengetahui diriNya, apa yang layak dan tidak untuk diriNya kemudian Rasulullah saw. Kepada seseorang yang berani menetapkan suatu sifat tanpa dasar al-Qur`an dan sunnah dan hanya berdasar kepada akalnya atau mengingkari sifat yang ditetapkan oleh keduanya maka saya katakan,

قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمْ أَمِ الله ؟

Katakanlah apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah. (Al-Baqarah: 140).

Ibnu Utsaimin dalam al-Qawaid al-Mutsla hal. 38 berkata, “Kaidah ketujuh: sifat-sifat Allah adalah tauqifiyah tidak ada peluang bagi akal di dalamnya, maka sifat-sifat tidak ditetapkan kepada Allah Taala kecuali sifat-sifat yang ditetapkan oleh al-Qur`an dan sunnah.” Imam Ahmad berkata, “Allah tidak disifati kecuali dengan apa yang dengannya Dia mensifat diriNya atau rasulNya mensifatiNya dengannya, tidak melampui batas al-Qur`an dan hadits.”

Imam asy-Syafi’i berkata, “Allah Taala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang ditetapkan oleh kitabNya, diberitakan oleh Nabi saw pada umatnya, tidak seorang pun makhluk di mana hujjah telah tegak atasnya patut untuk menolaknya karena al-Qur`an turun dengannya dan pengucapannya dari Rasul adalah shahih melalui periwayatan rawi-rawi yang adil, jika setelah itu dia menyelisihi setelah tegaknya hujjah atasnya maka dia kafir, adapun sebelum tegaknya hujjah maka dia dimaklumi karena tidak tahu, sebab ilmu tentang hal ini bukan melalui akal, bukan pula melalui perenungan, hati dan pemikiran.” (Mukhtashar al-Uluw, adz-Dzahabi hal. 177).

Karena berpijak kepada akal maka Asyariyah menetapkan sifat-sifat tertentu dengan alasan akal menetapkannya dan menafikan sifat yang lain karena akal tidak menetapkannya. Ibnu Utsaimin dalam buku yang sama hal. 51-52 berkata, “Mereka –misalnya- menetapkan sifat iradah dan menafikan sifat rahmat, menetapkan sifat iradah karena akal menetapkannya di mana perbedaan makhluk, kekhususan dzat dan sifat yang dimiliki oleh sebagian dari mereka dan tidak dimiliki oleh yang lain menunjukkan iradah. Mereka menafikan sifat rahmat dengan alasan ia berkonsekuensi kepada kelembuatan dan belas kasih dari yang menyayangi kepada yang disayangi. Ini –menurut mereka- mustahil bagi Allah. Kami katakan kepada mereka, sifat rahmat ditetapkan untuk Allah oleh dalil-dalil sam’i, dalil-dalilnya lebih banyak dan beragam daripada dalil iradah –lalu Ibnu Utsamin menyebutkan ayat-ayat yang menetapkan sifat rahmat- kemudian beliau berkata, “Sifat rahmat bisa ditetapkan dengan akal, karena nikmat yang mengucur kepada manusia dan kesulitan yang diangkat dari mereka setiap saat menunjukkan sifat rahmat bagi Allah azj. Adapun menafikan sifat rahmat dengan alasan ia berkonsekuensi kepada kelembuatan dan belas kasih, maka ia dijawab, jika alasan ini benar maka ia bisa diterapkan kepada sifat iradah yang mereka tetapkan dengan mengatakan, iradah adalah kecenderungan yang berkeinginan kepada sesuatu yang dengannya dia berharap meraih manfaat dan menolak mudharat. Ini berkonsekuensi kepada kebutuhan dan ketergantungan dan ini mustahil bagi Allah.” (Al-Qawaid al-Mutsla, hal. 51-52 dengan gubahan).