Dari Shahabat Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu berkata:”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثلاثة لا يكلمهم الله ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم ؛ أشيمط زان، وعائل مستكبر، ورجل جعل الله بضاعته لا يشتري إلا بيمينه ولا يبيع إلى بيمينه رواه الطبراني بسند صحيح.

“Tiga golongan yang tidak diajak bicara oleh Allah (pada hari kiamat) dan tidak disucikan-Nya dan bagi mereka adzab yang pedih ( yaitu); orang yang sudah beruban (tua) yang berzina, orang miskin yang sombong, dan orang yang menjadikan Allah sebagai barang dagangannya, ia tidak membeli kecuali dengan bersumpah (dengan nama-Nya) dan tidaklah ia menjual kecuali dengan bersumpah (dengan nama-Nya)” (HR. Thabrani dengan sanad yang shahih).

Penyebutan kata tiga golongan dalam hadits ini bukanlah pembatasan, akan tetapi ia hanyalah penjelasan terhadap orang-orang yang terkandung dalam hadits, karena telah datang ancaman yang serupa untuk orang-orang selain yang disebutkan dalam hadits di atas. Maka dari sini kita memahami bahwa jumlah-jumlah dalam konteks kata seperti ini tidak memiliki mafhum, maksudnya tidak menunjukkan sebuah pembatasan, yakni pembatasan bahwa hukuman itu hanya berlaku untuk tiga golongan ini saja dan menafikaannya dari selain ketiganya. Akan tetapi, di dalam hadits-hadits lain ada tambahan tentang orang-orang yang berhak mendapatkan ancaman yang serupa dengan yang ada dalam hadits di atas.

Sabda beliau:((ثلاثة لا يكلمهم الله)) Maksudnya, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla mengadzab mereka pada hari Kiamat dengan tidak mengajak bicara mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Allah tidak meridhoi mereka, dan bahwasanya amalan yang berkonskwensi pada hukuman yang seperti ini (tidak diajak bicara oleh Allah) merupakan perbuatan yang diharamkan, karena hukuman ini adalah ancaman di Akhirat dan perbuatan ini salah satu dosa besar.

Sabda beliau:((لا يكلمهم الله)) (Allah tidak berbicara kepada mereka), dan pembicaraan yang dinafikan (ditiadakan) dalam hadits ini adalah pembicaraan yang menunjukkan kasih sayang (kalamur rahmah), dan kebaikan. Bukan peniadaan pembicaraan sama sekali, karena tidak ada seorang pun pada hari Kiamat melainkan akan diajak bicara oleh Allah, dan tidak ada penterjemah antara dia dengan Allah, sekalipun dia adalah orang kafir. Akan tetapi pembicaraan Allah dengan mereka (orang kafir) adalah pembicaraan yang bersifat intimidasi, penghinaan, penjelasan nikmat Allah kepada mereka dan pengingkaran-Nya kepada mereka, maka ini adalah pembicaraan adzab (yang mengandung siksaan).

Sabda beliau:((ولا يزكيهم)) maksudnya mereka tidak dipuji oleh Allah, dan tidak disucikan dari dosa, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah. Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa makna sabda beliau ini adalah bahwa Allah tidak memberikan rekomendasi dan pengakuan terhadap mereka, dan tidak ada juga yang bersaksi atas keimanan mereka disebabkan apa yang mereka kerjakan berupa perbuatan yang keji ini (yang disebutkan dalam hadits).

Sabda beliau:((ولهم عذاب أليم)) (bagi mereka adzab yang pedih) maksudnya, mereka berhak mendapatkan azab (siksa) yang menyakitkan.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai menyebutkan siapa mereka, beliau bersabda: ((أُشَيمِط زان)) ini adalah bentuk tasghir (pengecilan) dari kata أشمط yang artinya bercampurnya rambut hitam dengan uban. Dan yang dimaksud dalam hadits ini adalah orang yang berusia lanjut namun terjatuh dalam perbuatan zina. Inilah makna sabda beliau ((أُشَيمِط زان)). oleh sebab itu di sebagian riwayat disebutkan ((كبيرٌ شيخٌ زانٍ)) . Karena dorongan zina pada orang ini kecil, berbeda dengan dorongan zina pada para pemuda, oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hukuman ini pada orang tua yang berzina. Dikarenakan kecilnya dorongan untuk berbuat maksiat pada diri, maka jatuhnya dia pada kemaksiatan ini menunjukkan kerusakan jiwanya dan telah bercokolnya kemaksiatan pada dirinya.

Sabda beliau:((وعائل مستكبر)) kata ((عائل)) maksudnya adalah orang yang memiliki tanggungan untuk dinafkahi, atau ia adalah orang yang fakir (miskin) sekalipun tidak memiliki tanggungan yang harus dinafkahi. ((مستكبر)) (menyombongkan diri) beliau tidak mengatakan متكبِّر (sombong), karena orang yang miskin bukanlah orang yang pantas berlaku sombong, karena pada asalnya orang yang fakir, yang tidak memiliki harta untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan keluarganya kondisinya terhina. Maka jika ada orang miskin/fakir memiliki perilaku seperti ini (menyombongkan diri), hal itu menunjukkan rusaknya orang tersebut. Karena kesombongan adalah perilaku yang dibuat-buat bertentangan dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia pada setiap keadaan, maka bagaimana jika orang tersebut adalah orang yang membutuhkan, di tangannya tidak ada sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhannya? Maka rasa rendah dan terhina lebih pantas ditunjukkan, bukan sebaliknya, yaitu dengan menombongkan diri.

Dan hakekat kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan/menghinakan manusia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لايدخل الجنّةمن كان فى قلبه مثقال ذرّةمن كبر ، فقال رجل : انّ الرّجل يحبّ ان يكون ثوبه حسناونعله حسنة ، قال : انّ اللّه جميل يحبّ الجمال . الكبر : بطرالحقّ وغمط النّاس (رواه مسلم);

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sebesar dzarrah dari kesombongan.” Salah seorang shahabat lantas bertanya: “Sesungguhnya seseorang senang jika bajunya bagus dan sandalnya baik?” Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Dzat yang Maha Indah dan senang dengan keindahan, Al-Kibru (sombong) adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR Muslim dalam Shahih-nya, Kitabul Iman, Bab: Tahrimul Kibri wa Bayanuhu)

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: ((ورجل جعل الله بضاعته)) yakni seseorang yang menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai komoditi dagangannya, karena dia membeli sesuatu yang rendah dengan sesuatu yang lebih baik. Dia mengambil sesuatu yang rendah, yaitu mata pencahariaan dan harga barang yang dia dapatkan di dunia dan menggantinya dengan yang lebih baik, yaitu Akhirat dan kenikmatan-kenikmatan yang ada di dalamnya. Yang mana dia memalsu dan menipu, lalu menjadikan Allah sebagai barang dagangan. Maksudnya, dia menjual Allah Subhanahu wa Ta’ala –Mahasuci Allah dari tindakan mereka itu- untuk mendapatkan harta dan keuntungan di dunia. Inilah maksud sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

((ورجل جعل الله بضاعته))

”Dan orang yang menjadikan Allah sebagai barang dagangannya.”

Yaitu orang yang bersumpah ketika menjual dan membeli, dalam rangka meyakinkan barang dagangan yang ada di tangannya, padahal ia berdusta.

Sabda beliau:

((لا يشتري إلا بِيَمينه ولا يبيع إلا بيمينه)).

”Ia tidak membeli kecuali dengan bersumpah (dengan nama-Nya) dan tidaklah ia menjual kecuali dengan bersumpah.”

Maksudnya, tidak membeli kecuali dengan sumpah, dan tidaklah ia menjual kecuali dengan sumpah. Dan ini menunjukkan rendahnya rasa pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam dirinya. Seandainya saja dia mengagungkan Allah dengan pengagungan yang sebenarnya, niscaya dia akan menjaga sumpah (tidak banyak bersumpah) dan tidak menjadikan Allah sebagai barang dagangannya.

Faidah dari hadits di atas:

1. Peringatan dari banyak bersumpah dalam berjual beli, dan anjuran untuk menghargai/mengormati sumpah dan memuliakan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.

2. Penetapan sifat Kalam (berbicara) bagi Allah, dan sesungguhnya Dia berbicara dengan hamba yang taat kepada-Nya.

3. Peringatan dari berbuat zina terlebih lagi untuk orang yang sudah berusia lanjut.

4. Peringatan dari berbuat sombong terlebih lagi untuk orang yang faqir.

(Sumber:Syarh Kitab Tauhid karya Syaikh Dr. Khalid bin ‘Abdullah Al-Mushlih, dengan tambahan dari al-Qoulul Al-Mufid dan al-Mulakhash fii Syarh Kitabit Tauhid. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)