HAK PILIH DALAM PERJANJIAN USAHA, DIFINISI DAN MACAM-MACAMNYA

Definisi Khiyar (Hak Pilih)

Secara etimologi, khiyar artinya: Memilih, menyisihkan, dan menyaring. Secara umum artinya adalah menentukan yang ter-baik dari dua hal (atau lebih)untuk dijadikan orientasi.

Secara terminologis dalam ilmu fiqih artinya: Hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya.

Hikmah disyariatkannya hak pilih adalah membuktikan dan mempertegas adanya kerelaan dari pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian. Oleh sebab itu, syariat hanya menetapkan dalam kondisi tertentu saja, atau ketika salah satu pihak yang terlibat menegaskannya sebagai persyaratan.

Macam-Macam Hak Pilih

1. Hak Pilih di Lokasi Perjanjian (Khiyarul Majlis)

Yakni semacam hak pilih bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk membatalkan perjanjian atau melanjutkannya selama belum beranjak dari lokasi perjanjian. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

“Penjual dan pembeli memiliki kebebasan memilih selama mereka belum beranjak dari lokasi transaksi.”

Arti beranjak di sini adalah luas, dikembalikan kepada kebiasaan.

2. Hak Pilih dalam Persyaratan (Khiyar asy-Syarth)

Yakni persyaratan yang diminta oleh salah satu dari pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian, atau diminta masing-masing pihak untuk dirinya sendiri atau untuk pihak lain, untuk diberikan hak menggagalkan perjanjian dalam jangka waktu tertentu.

Dasar disyariatkannya hak pilih ini adalah hadits Habban bin Munqidz. Ia sering kali tertipu dalam jual beli karena ketidak-jelasan barang jualan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kepadanya hak pilih. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَةَ

“Kalau engkau membeli sesuatu, katakanlah, ‘Tidak ada penipuan’.”

Dari sisi lain, terkadang memang amat dibutuhkan adanya hak pilih semacam ini, ketika pengalaman berniaga kurang dan perlu bermusyawarah dengan orang lain, atau karena alasan lainnya. Kemudian para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan masa tenggang memutuskan pilihan tersebut. Ada di antara ulama yang membatasi hanya tiga hari saja. Ada juga yang menyatakan boleh lebih dari itu, tergantung kebutuhan.

Hak pilih ini juga bisa dimiliki oleh selain pihak-pihak yang sedang terikat dalam perjanjian menurut mayoritas ulama demi merealisasikan hikmah yang sama dari disyariatkannya persyaratan hak pilih bagi pihak-pihak yang terikat tersebut. Pendapat ini ditentang oleh Zufar dan Imam Asy-Syafi’i dalam salah satu pendapat beliau. Namun pendapat mayoritas ulama dalam persoalan ini lebih tepat.

Hak pilih persyaratan masuk dalam berbagai perjanjian permanen yang bisa dibatalkan. Nikah, thalaq, khulu’ dan sejenisnya tidak menerima hak pilih yang satu ini, karena semua akad tersebut secara asal tidak bisa dibatalkan.

3. Hak Pilih Melihat (Khiyar ar-Ru’yah)

Maksudnya adalah hak orang yang terikat perjanjian usaha yang belum melihat barang yang dijadikan objek perjanjian untuk menggagalkan perjanjian itu bila ia melihatnya (dan tidak ber-kenan).

Untuk keabsahan hak pilih ini, dipersyaratkan dua hal: Yang menjadi objek perjanjian hendaknya merupakan benda tertentu, seperti rumah, mobil dan sejenisnya. Kedua, hendaknya benda itu memang belum dilihat saat akad.

Hak pilih melihat ini memang masih diperselisihkan oleh para ulama berdasarkan perselisihan mereka terhadap boleh tidaknya menjual barang-barang yang tidak terlihat wujudnya. Sebagian ulama membolehkannya secara mutlak. Ada juga yang justru melarangnya secara mutlak. Sebagian ulama ada yang membolehkan dengan satu persyaratan, dan bila tanpa persya-ratan itu mereka melarangnya. Nanti akan diulas secara rinci dalam pembahasan tentang jual beli “kucing dalam karung”, insya Allah.

4. Hak Pilih Karena Cacat Barang (Khiyar Aib)

Hak pilih ini dimiliki oleh masing-masing dari pihak-pihak yang terikat perjanjian untuk menggagalkan perjanjian tersebut bila tersingkap adanya cacat pada objek perjanjian yang sebelumnya tidak diketahui.

Hikmah disyariatkannya hak pilih ini sangat jelas sekali. Karena kerelaan pada berlangsungnya perjanjian usaha juga didasari keberadaan objek perjanjian yang tidak ada cacatnya. Adanya cacat yang tersingkap menunjukkan rusaknya kerelaan tersebut. Oleh sebab itu disyariatkan hak pilih terhadap cacat, sehingga bisa mengantisipasi adanya cacat yang menghilangkan kerelaan.

Cacat yang bisa ditolak dengan hak pilih ini adalah cacat yang bisa mengurangi harga barang di kalangan para pedagang. Yang menjadi barometer di sini tentu saja orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan barang tersebut. Juga diper-syaratkan bahwa cacat itu sudah ada sebelum serah terima, dan hendaknya orang yang melakukan perjanjian tidak mengetahui cacat itu. Persyaratan ini sudah dapat dimaklumi secara aksio-matik.

Hak pilih terhadap cacat ini memberikan hak kepada orang yang terikat perjanjian untuk melanjutkan perjanjian tersebut atau membatalkannya. Yakni apabila pembatalan perjanjian itu me-mungkinkan. Tetapi kalau perjanjian itu tidak mungkin dibatal-kan karena objek perjanjian bertambah atau berkurang sebelum diketahui cacatnya, pihak yang dirugikan hanya berhak menda-patkan kompensasi atau ganti rugi, yakni dengan menerima se-jumlah uang sesuai dengan pengurangan harga karena adanya cacat tersebut.

Tetapi kalau orang tersebut sudah rela dengan adanya aib itu secara terus terang atau ada indikasi ke arah hal itu, maka hak pilih itu dengan sendirinya gugur.

5. Hak Pilih Menentukan Objek Perjanjian Usaha

Artinya, hak bagi pembeli atau penjual untuk memilih dengan konsekuensi persyaratan dalam perjanjian usaha yang akan dilakukannya, untuk menentukan satu dari dua atau tiga objek yang sama nilai atau harganya. Perjanjian itu berlaku pada salah satu dari dua atau tiga objek itu saja, dan salah satu dari pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut berhak memilihnya.

Hak ini masih diperdebatkan juga oleh para ulama. Mayo-ritas ulama melarangnya, karena ketidakjelasan objek perjanjian, sehingga ibarat menjual kucing dalam karung yang itu jelas meru-sak perjanjian tersebut. Abu Hanifah membolehkan sistem ini dalam keadaan mendesak atau karena sudah menjadi kebiasaan, dengan catatan bahwa ketidakjelasan objek perjanjian itu tidak menyebabkan terjadinya pertikaian.

Keabsahan hak pilih ini bagi yang membenarkannya, mem-butuhkan tiga syarat:

* Pilihan itu hendaknya terhadap tiga macam objek atau kurang, karena itu yang menjadi kebutuhan. Bila lebih dari itu, jelas tidak sesuai dengan kebutuhan dan tidak ada alasan untuk melakukannya.

* Adanya perbedaan antara ketiga objek tersebut dengan penjelasan harga masing-masing barang. Adanya perbedaan itu untuk menepis adanya ketidakseriusan dalam memilih. Sementara penjelasan harga itu untuk menepis ketidakjelasan objek yang menimbulkan perselisihan.

* Pembatasan waktu. Abu Hanifah memberi persyaratan agar tidak lebih dari tiga hari, dianalogikan dengan hak pilih persyaratan. Namun kedua sahabat beliau lebih memilih semata-mata dibatasi waktunya saja, meskipun lebih dari tiga hari.

Mereka yang membolehkan hak pilih ini juga berbeda pendapat, apakah dalam hak pilih ini juga dipersyaratkan adanya khiyar syarth? Yakni dengan cara salah satu yang terikat perjanjian menetapkan syarat bagi dirinya untuk bisa menetapkan batasan waktu, dan hendaknya ia diberikan hak membatalkan perjanjian dalam jangka waktu tertentu, sehingga ia diberi pilihan antara memilih objek atau membatalkan. Atau tidak ada persyaratan demikian? Sehingga ia hanya memiliki kesempatan memilih atau menetapkan batasan waktu saja, namun tidak berhak menolak seluruhnya? Sedangkan mayoritas dalam madzhab ini mereka memilih pendapat terakhir ini.