Kosovo merupakan sebuah propinsi yang dulu tergabung dalam negara bekas Yugoslavia dan kini secara de facto masuk ke dalam wilayah Serbia. Mayoritas penduduknya beragama Islam dan berasal dari etnis Albania. Sebelum terjadi perang saudara di republik ini, penduduk Kosovo hidup dalam kondisi kehidupan yang sangat bagus, bahkan boleh dikata tergolong berpenghasilan di atas rata-rata penduduk non Muslim. Karena itu, banyak pihak yang merasa iri dengan kondisi ini hingga terjadilah perang saudara itu. Nasib Kosovo setelah itu terkatung-katung dan penduduknya terus mengalami intimidasi dari warga Serbia, hingga akhirnya, PBB turun tangan.

Rabu, kemarin, dengan sikap yang jelas-jelas rasis, presiden Bulgaria, Yorgie Parvanov memperingatkan masyarakat dunia akan dampak negatif dari merdekaanya propinsi Kosovo. Ia mengajak agar selalu menunjukkan sikap berhati-hati ketika berbicara tentang masa depan Kosovo sembari menilai kemerdekaan propinsi yang kini berada di bawah pengawasan PBB ini bisa mengganggu stabilitas kawasan tersebut.

Dalam kata sambutan yang disampaikannya di pusat kajian strategis dan internasional di Washington, Parvanov mengatakan, sikap berhati-hati sangat diperlukan di dalam berbagai perundingan seputar status final propinsi tersebut.

Presiden Bulgaria itu juga berpandangan bahwa kemerdekaan Kosovo bisa jadi akan mendorong dua propinsi lainnya, yaitu Poivoden dan Montenegro untuk memisahkan diri pula. Ia mengatakan, “Sangat perlu untuk memperhatikan dampak dan implikasi dari kemerdekaan itu terhadap kekuatan politik yang menyerukan bergabung dengan Serbia dan negara-negara tetangga yang lain.”

Seperti diketahui, PBB mengambil alih pengawasan terhadap propinsi yang dulu resmi menjadi bagian dari Serbia sejak campur tangan pasukan NATO pada bulan Juni 1999.

Penduduk Kosovo yang merepresentasikan 90% dari total penduduk propinsi itu telah lama menuntut kemerdekaan penuh sementara pemerintah Beograd tetap bersikukuh menolaknya. (istod/AH)