Merebaknya fenomena tafsiq, takfir dan tabdi’ (memvonis orang per orang dengan fasiq, kafir dan bid’ah) di kalangan pemuda muslim adalah merupakan sebuah bencana dan pintu keburukan. Demikian peringatan dari Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, anggota Ulama Senior Arab Saudi (hai’ah kibaril ulama) dan juga anggota Komisi Tetap Urusan Penelitian Ilmiyah dan Fatwa (al-lajnah ad-daaimah lil buhuts al-ilmiyah wal iftaa’). Beliau menegaskan bahwa di antara ciri dari kelompok yang terjerumus di dalam sikap ini adalah mereka sibuk mencari-cari celah dan kesalahan orang lain (sesama muslim-red), lalu menyebarkannya agar diketahui khalayak ramai. Manhaj (pola hidup dan pemikiran ) seperti ini, dalam pandangan Syaikh al-Fauzan cukup berbahaya dan memberikan dampak negatif baik dalam waktu cepat atau lambat.

Syaikh Shalih al-Fauzan tak lupa menjelaskan tentang bagaimana sikap ahlussunnah terhadap pelaku dosa besar. Beliau juga berpesan agar umat Islam meninggalkan cara-cara keliru tersebut, yang semua itu justru merugikan ummat dan merupakan bentuk sumbangan serta pelayanan terhadap musuh-musuh Islam.

Berikut ini jawaban Syaikh al-Fauzan terhadap pertanyaan seputar masalah di atas, sebagaimana dikutip oleh majalah al-Da’wah No.1936, 11 Shafar 1425/April 2004, semoga bermanfaat.

Termasuk masalah mengkhawatirkan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin adalah munculnya fenomena tabdi’, tafsiq dan takfir. Menurut anda sebab-sebab apakah yang memicu merebaknya fenomena tersebut?

Pada masa ini khususnya kalangan para pemuda, juga kaum muslimin yang tidak mengetahui hakikat Islam, memiliki ghirah yang berlebihan atau semangat yang tinggi, namun mereka tidak bisa menempatkan diri. Maka tampaklah fenomena takfir, tafsiq dan tabdi’, sehingga kesibukan mereka hanya untuk mencari-cari aib, memata-matai orang lalu menyebarkan kepada khalayak ramai. Ini merupakan suatu fitnah dan ciri keburukan. Kami memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar menjaga kaum muslimin dari keburukan fitnah tersebut. Dan semoga Allah subhanahu wata’ala membimbing para pemuda Islam kepada jalan yang benar, menganugerahkan amal yang sesuai dengan manhaj salafus shalih serta menjauhkan mereka dari para penyeru keburukan.

Pemahaman orang berbeda-beda, khususnya tentang definisi dari hakikat sesuatu, barangkali dapat anda jelaskan arti fisq (fasik) dan kapan seorang muslim itu dikatakan fasiq?

Al-fisq (fasik) artinya keluar dari ketaatan terhadap Allah. Ada dua macam fasiq, yaitu fasiq yang menyebabkan kufur dan fasiq yang tidak menyebabkan kufur dan tidak menyebabkan seseorang keluar dari agama Islam, akan tetapi mengurangi keimanan. Padanya ada semacam arah untuk keluar dari Islam namun pelakunya tidak sampai keluar darinya. Namun juga tidak dikatakan dengan fajir (maksiat), dan yang tepat adalah fasiq. Seorang muslim dikatakan fasiq jika melakukan salah satu dari kabair adz-dzunub (dosa-dosa besar) seperti zina, minum khamar,mencuri,makan riba, dan dosa-dosa besar yang semisal itu. Dia melakukan itu semata-mata karena dorongan atau kendali hawa nafsu dan syahwat, maka dengan demikian dia adalah seorang fasiq. (Namun jika dia melakukannya karena menghalalkan perbuatan tersebut, maka ia terkena hukum riddah atau keluar dari Islam, red)

Bagaimana hukum orang fasiq, apakah keluar dari status iman?

Manurut ahlussunnah wal jama’ah hukumnya adalah dia seorang mukmin naqishul iman (mukmin yang berkurang imannya), atau mukmin karena keimanannya dan fasiq karena dosa besar yang dikerjakannya. Dia termasuk orang-orang mukmin dan ahlut tauhid, selagi tidak melakukan salah satu bentuk kesyirikan yang mengeluarkan dari millah (Islam). Maka status iman dan Islam masih tetap melekat pada dirinya, hanya saja dia seorang Muslim yang berkurang imannya, dan inilah yang disebut dengan fisq atau fasiq.

Jika seseorang melakukan dosa besar maka dia harus dikenai hadd (sanksi) sesuai syari’at Islam, namun dia tetap berstatus sebagai orang mukmin, dan diperlakukan sebagai mukmin. Apabila dia memang bukan seorang mukmin maka tentu sanksi yang dijatuhkan bukanlah hadd namun hukuman murtad, yaitu hukuman mati sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alihi wasallam, artinya, “Barang siapa mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah dia.”

Keberadaan pelaku maksiat dosa besar yang dikenai sanksi (hadd) menunjukkan bahwa dia adalah termasuk ahlul iman, dan mendapatkan perlakuan sebagai orang mukmin. Berhak mendapatkan wala’ (loyalitas) sesuai keimanannya dan berhak dibenci sesuai dengan kemaksiatan yang dikerjakannya, karena bagaimana pun dia masih masuk dalam lingkaran iman. Demikianlah madzhab ahlus sunnah wal jama’ah.

Sebuah pertanyaan lain, bagaimana hukum pelaku dosa besar dalam pandangan ahlussunnah wal jama’ah?

Menurut ahlussunnah, orang mukmin yang melakukan dosa besar, dia tidak dikatakan mukmin yang sempurna imannya (kamilul iman), namun dia adalah naqishul iman (berkurang imannya). Dan yang menganggap sempurna atau utuh imannya adalah kaum murji’ah dimana mereka mengatakan bahwa maksiat tidak akan mengurangi iman sedikit pun sebagaimana ketaatan tidak ada pengaruhnya terhadap kekufuran. Kebalikan dari pendapat ini adalah pendapat khawarij yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar telah keluar dari iman. Begitu pula mu’tazilah menyatakan bahwa dia bukan mukmin tetapi bukan pula kafir, dan dia berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain).

Adapun ahlussunnah bersikap pertengahan dalam masalah ini, tidak mengatakan kafir sebagaimana kha-warij, tidak mengatakan berada di manzilah baina manzilatain sebagai-mana mu’tazilah dan tidak mengatakan dia mukmin yang utuh imannya sebagaimana murji’ah. Akan tetapi mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah mukmin yang kurang imannya, dia mukmin karena keimanannya dan fasiq karena dosa besar yang dikerjakannya. Dia dicintai dalam satu sisi dan dibenci dalam sisi yang lain, dan jika dia mati belum bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala, maka urusannya ada di tangan Allah dan berada di bawah kehendak-Nya. Jika Allah menghendaki, maka akan mengampuni dan jika menghendaki, maka akan menyiksanya, kemudian dia akhirnya dikeluarkan dari neraka. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang menyekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. 4:48)

Di dalam sebuah hadits juga disebutkan, perintah Allah subhanahu wata’ala kepada malaikat, artinya,
“Maka keluarkanlah dari neraka orang yang dalam hatinya ada iman meski lebih kecil dari biji sawi.”

Madzhab ahlissunnah dibangun di atas landasan dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah, dia adalah madzhab pertengahan, karena berada di tengah-tengah antara kelompok-kelompok yang sesat, sebagaimana juga umat Islam merupakan umat yang pertengahan di antara umat-umat yang kafir, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala , artinya,
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (al-Baqarah 143)

Apakah anda dapat mengemukakan dalil yang menunjukkan bahwa orang fasiq tidak keluar dari iman?

Dalil dalam masalah ini amat banyak, di antara dalil yang mengindikasikan bahwa orang fasiq tidak keluar dari keimanan adalah, firman Allah subhanahu wata’ala yang memerintahkan untuk mendamaikan dua kelompok orang mukmin yang saling serang. Dia berfirman, artinya,
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang, maka damaikanlah antara keduanya.Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Hujurat:9)

Allah subhanahu wata’ala menyebut dua kelompok yang saling berperang di antara orang mukmin sebagai saudara padahal mereka saling menyerang dan membunuh.
“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al Hujurat :10)

Allah subhanahu wata’ala menyebutkan, bahwa dua kelompok mukmin yang saling berperang adalah saudara bagi orang-orang mukmin yang lainnya. Maka ini menunjukkan, bahwa dosa besar selain syirik tidak mengeluarkan pelakunya dari lingkaran iman.

Dan juga firman Allah subhanahu wata’ala tentang pelaksanaan hukum qishahsh,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) mambayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS. al-Baqarah:178)

Allah subhanahu wata’ala menyebut orang yang dibunuh (korban) sebagai saudara bagi si pembunuh, padahal pembunuhan adalah dosa yang sangat besar di antara dosa-dosa besar, dan dua orang tersebut tetap dikatakan oleh Allah sebagai saudara. Maka ini menunjukkan bahwa dosa besar yang selain syirik tidak mengeluarkan seseorang dari millah (agama Islam).

Sumber: Majalah “al-Da’wah” no 1936, 11 Shafar 1425, April 2004, alih bahasa, Khalif Muttaqin.