Pernikahan adalah rahmat dan nikmat dari Allah subhanahu wata’ala, yang dengan pernikahan itu manusia merasakan kasih sayang, kedamaian, kelembutan dan nikmatnya kehidupan. Namun di sisi lain tidak setiap orang yang membina rumah tangga akan mendapatkan apa yang tersebut di atas. Bahkan hampir dipastikan bahwa setiap rumah tangga akan menghadapi berbagai problem, keretakan dan gesekan yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga. Masalah rumah tangga terkadang dapat diatasi dan diselesaikan dengan biak, namun terkadang sangat sulit diselesaikan sehingga semakin hari semakin besar dan berlarut-larut dan tak jarang yang akhirnya berujung dengan perceraian.

Maka merupakan nikmat dan rahmat dari Allah subhanahu wata’ala juga, bahwa manusia tidak dibebani oleh Allah dengan sesuatu yang dia tidak mampu memikulnya. Oleh karena itu ketika kehidupan rumah tangga yang tadinya merupakan nikmat telah berubah menjadi bencana, prahara dan bahkan seperti neraka maka talak bisa jadi merupakan rahmat yang dapat membebaskan suami istri dari prahara tersebut. Ini jika suami istri memandang bahwa permasalahan sudah menemui jalan buntu dan kedua belah pihak atau salah satunya benar-benar sudah menghendaki perpisahan.

Sebelum kedatangan Islam, manusia menalak istrinya semau-maunya dan kapan saja dia ingin. Kemudian datanglah Islam dengan membawa aturan yang jelas dan rinci tentang kapan talak itu diperlukan, kapan waktunya, berapa bilangan talak dan lain sebagainya. Namun meski diatur sedemikian, talak merupakan perbuatan halal yang paling dibenci Allah, dan hukum asal talak adalah makruh (dibenci) karena akan mendatangkan berbagai madharat atau dampak negatif terhadap istri dan anak-anak. Maka talak tidak dilakukan kecuali dalam keadaan terpaksa serta dengan pertimbangan akan adanya kebaikan yang didapat setelah terjadi talak tersebut. Suami hendaknya memperhatikan firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS.al-Baqarah:229)

Talak mempunyai landasan syar’i dari al-Kitab, as-Sunnah dan ijma’ serta dia terkait juga dengan hukum yang lima, haram, makruh, wajib, sunnah dan mubah. Talak diharamkan jika istri sedang dalam keadaan haid, dan makruh jika dilakukan dengan tanpa sebab yang jelas padahal rumah tangga secara umum masih dalam kondisi stabil, dan talak bisa jadi wajib jika perselisihan suami istri sudah parah dan hakim atau penengah memandang bahwa talak adalah jalan yang terbaik. Dan ia sunnah atau mandub jika istri banyak melanggar larangan Allah atau banyak melakukan kemaksiatan seperti terus mengakhirkan shalat wajib dan tidak mau diingatkan suaminya serta mubah jika sang suami tidak suka terhadap kelakuan dan perlakuan istrinya sehingga menyebabkan suami tidak ada kecondongan lagi serta merasa tidak nyaman terhadapnya.

Apabila seorang suami sudah bertekad dan memutuskan untuk menalak istrinya maka hendaknya ia memperhatikan adab-adab sebagai berikut:

  • Memperhatikan maslahat di dalam menjatuhkan talak, setelah melalui pertimbangan yang matang.

  • Menjatuhkan talak dengan keadaan takut atau khawatir tidak mampu untuk menegakkan hukum-hukum Allah (jika tetap bersama istrinya).

  • Hendaknya tujuan dari menjatuhkan talak bukan untuk menyengsarakan istri.

  • Hendaknya menalak istri dalam kondisi memang dia sudah tidak memungkinkan lagi untuk tetap menjadi istri

  • Hendaknya tidak menjatuhkan talak tiga secara sekaligus, juga jangan menjatuhkan talak dua. Namun hendaknya menjatuhkan talak satu dan diucapkan hanya satu kali saja. Misalnya ketika seseorang menjatuhkan talak satu maka dia tidak boleh mengucapkan, “Engkau aku talak, engkau aku talak.”

  • Hendaknya menceraikan istri dengan cara yang diizinkan syariat, yakni talak yang sesuai dengan sunnah. Seperti menalak istri harus dalam keadaan suci dan tidak dalam kondisi telah dicampuri (setelah berada dalam masa suci itu), atau boleh juga menalaknya pada saat hamil. Seseorang dilarang menalak istrinya yang sedang haid, dan jika dia terlanjur melakukan itu maka harus merujuknya lagi dan menunggu sampai suci. Kemudian jika telah suci maka hendaknya ia menalak dengan tidak menggaulinya lebih dahulu. Akan tetapi yang lebih utama adalah hendaknya dia membiarkan istrinya haid lagi, baru kemudian menalaknya dalam masa suci dari haid yang ke dua ini.

    Apabila seorang suami telah menalak istrinya di masa suci ini (dengan tidak menggaulinya lebih dulu) maka hendaknya dia membiarkan hingga habis masa iddahnya. Seorang suami mempunyai hak untuk rujuk (kembali) sebelum habis masa tiga kali haid dari istri yang ditalaknya, atau belum habis masa iddahnya. Jika wanita tersebut telah mengalami tiga kali haid maka berarti telah selesai masa iddahnya sehingga wanita tersebut halal untuk dinikahi oleh laki-laki lain. Jika mantan suaminya ingin kembali lagi maka dia harus khitbah (melamar) lagi dan melangsungkan akad dengan akad yang baru.

  • Talak hendaknya tidak dilakukan dalam keadaan sedang marah.

  • Hendaknya ada saksi atas terjadinya talak tersebut.

  • Hendaknya menalak dengan cara yang baik, bukan cara-cara buruk, bukan dengan kalimat yang buruk, penuh kebencian dan permusuhan.

Termasuk salah satu keluwesan dan keindahan hukum Islam adalah disyari’atkannya beberapa bilangan talak. Ini dengan tujuan memberikan kesempatan kepada para suami untuk menguji coba keputusannya. Jika memang keputusannya untuk talak adalah tepat, maka hendaklah dia bersabar dan melepaskan istrinya tersebut. Dan jika ternyata sang suami salah dalam mengambil keputusan atau dia tidak mampu bersabar maka dia dapat meraih kembali apa yang baru saja terlepas. Jumlah talak adalah tiga kali talak, sebagai batas maksimal sehingga setelah itu tidak ada talak lagi.

Demikianlah di antara beberapa adab talak syar’i, maka apakah kaum muslimin telah memperhatikan adab-adab ini? Sungguh kalau kita perhatikan maka masih amat banyak kaum muslimin yang tidak tahu masalah ini, tidak faham terhadap hukum-hukum berkaitan dengan talak. Dan yang lebih disayangkan lagi adalah masih ada di antara umat Islam yang terpelajar sekali pun tidak mengetahui permasalah seputar talak. Ini merupakan indikasi bahwa masih banyak ummat Islam yang beramal tanpa ilmu, atau kurang perhatian terhadap ilmu, atau enggan meredam hawa nafsu dengan kendali syariat. Maka amat banyak kita dapati kasus perceraian hanya dengan sebab yang sangat sepele, atau menjatuhkan cerai ketika sedang ada pertengkaran, atau seorang suami menceraikan istrinya yang sedang haid atau dia suci namun telah digauli lebih dahulu sebelumnya. Kemudian setelah sadar akan kekeliruannya baru bertanya kepada para ulama atau mufti, dan yang lebih menyedihkan lagi terkadang ada di antara suami yang merubah alur cerita tidak sesuai dengan fakta, dengan tujuan agar mendapatkan fatwa sesuai dengn yang diinginkannya.

Dengan dijatuhkannya talak satu maka bisa jadi seorang istri dirujuk lagi oleh suaminya, dan kembali menjadi satu keluarga bersama anak-anaknya, sebagaimana firman Allah, artinya,
Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. (QS. 65:1)

Seorang istri jika ditalak oleh suaminya dengan talak raj’i (talak yang bisa rujuk dalam masa iddah) maka selayaknya dia tetap tinggal bersama serumah dengan suaminya, dan masing-masing pihak berusaha mencari jalan keluar barangkali akan terjadi rujuk, baik dengan ucapan ataupun perbuatan suami. Seandainya ummat Islam mau mengikuti petunjuk Kitabullah dan as-Sunnah serta menerapkan adab-adab yang diwajibkan atau dianjurkan maka niscaya tidak akan menghadapi berbagai masalah bertubi-tubi dan tak terhitung. Amat banyak problem rumah tangga yang pada akhirnya berujung dengan penyesalan dan kerugian. Lebih-lebih jika suami terlanjur menjatuhkan talak tiga atau talak yang tidak ada rujuk lagi, maka segala penyesalan sudah tidak ada gunanya lagi. Berapa banyak para suami dan istri yang menyesal, berapa banyak anak-anak yang terlantar dan berantakan kehidupannya, gara-gara sebuah keputusan dan pertimbangan yang kurang matang.

Apa yang disyari’atkan Allah terkait dengan masalah talak ini benar-benar mengandung hikmah yang mendalam, di antaranya adalah mempersempit ruang gerak para suami agar tidak mudah atau gampang menjatuhkan talak. Sehingga Allah mengaturnya agar tidak menalak ketika sang istri sedang haid, atau ketika dia suci namun sudah digauli lebih dahulu. Hal ini untuk meredam rencana seorang suami yang akan menalak istrinya serta memberikan kesempatan untuk berfikir dan mempertimbangkan kembali. Tidaklah bagus dan proporsional jika seorang suami menjatuhkan talak terhadap istrinya kecuali ketika dia dalam sikap dan keadaan adil terhadap keputusannya.

Seharusnya seorang laki-laki terlebih dahulu mempertimbangkan masak-masak ketika memilih istri. Hendaknya jangan menikahi wanita yang tidak diinginkan dan hendaknya siap menerima keadaan sang istri tersebut apa adanya (qana’ah), lebih-lebih bagi mereka yang ada rencana untuk ta’addud (poligami). Karena pada umumnya orang yang sering menikah maka dia sering mencerai juga, padahal wanita adalah syaqaiq (bagian) dari laki-laki, berasal dari jiwa yang satu. Mereka bukanlah mainan untuk dipermainkan, bukan untuk berbangga-banggaan seorang laki-laki karena banyak nenikahi wanita dan banyak mencerai.

Bahkan prinsip dasar pernikahan dalam Islam adalah menikahi wanita untuk menjadi istrinya sepanjang hidup. Apabila pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan telah berlangsung maka babak selanjutnya adalah peran kedua belah pihak untuk menjawab berbagai tantangan dan problem rumah tangga, karena rumah tangga tidak akan sepi dari masalah. Seorang suami tidak dibolehkan menjadikan talak sebagai senjata pamungkas untuk mengancam, menekan dan memprovokasi istrinya, sedikit-sedikit bilang, “Awas kamu akan kuceraikan.” Ini selain manyakiti batin istri juga akan menambah keretakan rumah tangga dan menjauhkan hati suami dan istri. Namun hendaknya talak merupakan akhir dari pemecahan suatu masalah setelah berbagai cara yang ditempuh menemui jalan buntu dan diperkirakan jika terus dipertahankan maka keadaan rumah tangga semakin memburuk.

Kami memohon kepada Allah agar Dia memperbaiki kondisi kaum muslimin, dan agar memberikan taufik kepada mereka untuk menempuh jalan Islam. Sesungguhnya Dia adalah Pemegang segala urusan dan Maha Kuasa untuk melakukan semua itu.

Sumber: “Tsalatsun majlisan fi irsyadil ummah” hal 88-92 bab 15 ath-Thalaq, Dr. Ahmad bin Sulaiman al-Uraini (Khalif)