Tidak semua orang dikaruniai Allah subhanahu wata’ala berupa Istri Shalihah. Tetapi tidak berarti orang yang mendapatkan istri yang kurang baik harus diklaim dan divonis sebagai suami yang tidak baik pula. Sekalipun disebutkan di dalam ayat al-Qur’an bahwa lelaki yang shalih, telah Allah subhanahu wata’ala persiapkan baginya wanita yang shalihah.

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ (النور: 26)

“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” (QS. an-Nur: 26)

Tentunya kasus di atas merupakan pengecualian bagi orang-orang tertentu, untuk tujuan dan hikmah tertentu sesuai dengan kehendak Allah subhanahu wata’ala. Bahkan kasus di atas bukan saja terjadi pada manusia biasa, tetapi juga pada manusia-manusia pilihanNya, seperti para nabi dan rasul, orang-orang shalih, dan lain sebagainya.

Karena boleh jadi hal tersebut merupakan ujian dan cobaan Allah subhanahu wata’ala kepadanya untuk menguji seberapa besar kesabaran dan kualitas amalan yang dia persembahkan kepadaNya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, ar-tinya,

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً (الملك: 2)

“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. al-Mulk: 2)

Kasus seorang istri yang memandang rendah harga diri sang suami, tidak mengindahkan perintahnya, membangkang kepadanya, atau benci terhadapnya (nusyuz) bukan suatu yang baru di dalam Islam, bahkan Islam telah memberikan solusi yang tepat atas kasus tersebut, sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,

وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً (النساء: 34)

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. an-Nisa: 34).

Inilah solusi yang diajarkan Allah subhanahu wata’ala untuk para suami yang memiliki istri-istri yang kurang baik, atau tidak taat kepadanya, yaitu:

1. Firman Allah subhanahu wata’ala, artinya, (“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka… “)
Hendaklah seorang suami menasihati sang istri. Tentunya nasihat tersebut disampaikan dengan cara yang lembut dan bijaksana, dan melihat situasi dan kondisi sang istri. Mengingatkannya agar takut dengan siksaan Allah subhanahu wata’ala atas perbuatan maksiatnya. Dan sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala telah mewajibkan seorang isteri untuk menunaikan hak suaminya dan menaatinya, serta mengharamkan kepadanya (sang istri) untuk mendurhakainya, karena keutamaan sang suami atas seorang istri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجَهَا (رواه الترمذي)

“Seandainya aku boleh menyuruh seseorang agar sujud kepada orang lain, niscaya aku akan menyuruh seorang istri agar sujud kepada suaminya.” (HR. at-Tirmidzi, dengan sanad yang shahih)
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ (رواه البخاري ومسلم)

“Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu ia enggan memenuhinya, lalu ia (suami) marah kepadanya, niscaya para malaikat melaknatnya higga pagi hari.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang lainnya,

إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ (رواه مسلم)

“Apabila seorang istri tidur memboikot tempat tidur suaminya, niscaya para malaikat melaknatnya hingga pagi hari.” (HR. Muslim).

2. Firman Allah subhanahu wata’ala, artinya, (“…dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka…”)

Hendaklah seorang suami memisahkan sang istri di tempat tidurnya. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “al-Hajr” (memisahkan) adalah tidak meng-gauli sang istri di tempat tidurnya, dan hendaklah ia membelakanginya, serta tidak mengajaknya bicara.

Langkah yang kedua ini diambil oleh seorang suami jika sang istri tetap tidak ada perubahan atas nasihat yang disampaikan. Sebagaimana hal tersebut juga pernah dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Hendaklah seorang suami menasehati sang istri terlebih dahulu, barangkali ia menerima nasihat tersebut. Jika tidak, maka dengan cara mendiamkannya atau memboikotnya di tempat tidurnya, tidak mengajaknya bicara, tanpa harus menceraikannya. Karena tindakan tersebut sangat cukup (sebagai pelajaran baginya, red).

3. Firman Allah subhanahu wata’ala, artinya (“…dan pukullah mereka…”)
Hendaklah seorang suami memukul sang istri jika diperlukan. Langkah atau tindakan yang ketiga ini, tentunya diambil ketika dengan kedua cara di atas tidak mampu mengatasi atau membuat sang istri sadar atas perbuatannya tersebut. Maka saat itu boleh sang suami memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakiti. al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata tentang masalah ini, “Yaitu pukulan yang tidak meninggalkan bekas.” Sedangkan para ahli fiqih berkata, “Pukulan yang tidak menyebabkan salah satu anggota tubuh menjadi remuk/patah, dan tidak pula meninggalkan bekas sedikit pun.”
Perlu diperhatikan oleh para suami agar tidak memukul sang istri pada bagian wajahnya, sebagaimana hal tersebut dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ فَإِنَّ اللَّهَ خَلَقَ آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ (رواه أحمد وصححه الألباني)

“Apabila salah seorang di antara kalian memukul, maka hendaklah ia menghindari wajah, maka sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala menciptakan Adam ‘alaihissalam atas bentuk/ sifatnya.” (HR. Ahmad, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani v).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ (رواه مسلم)

“Apabila salah seorang di antara kalian memerangi saudaranya, maka hendaklah ia menghindari wajah.” (HR. Muslim).

4. Firman Allah subhanahu wata’ala, artinya (“..Kemudian jika mereka menaati-mu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya..”)

Hendaklah seorang suami tidak berbuat zhalim terhadap istrinya dengan mencari-cari jalan untuk menyusahkan sang istri, ketika sang istri telah menaatinya dan mematuhi seluruh keiginannya yang dihalalkan Allah subhanahu wata’ala. Seperti tetap mendiamkan sang istri, tidak menggauli dan mempergaulinya dengan baik, atau bahkan terus memukulnya dan tidak memenuhi hak-haknya.

5. Firman Allah subhanahu wata’ala, artinya, (“…Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”)

Sifat Allah subhanahu wata’ala di atas menunjukkan ancaman dan kecaman bagi para suami yang bertindak melampaui batas terhadap para istri dan berbuat zhalim terhadap mereka tanpa sebab-sebab yang dibenarkan oleh syari’at Islam, bahwa Allah Maha Tinggi dan Maha Besar yang akan menjadi penolong mereka dan membalas siapa saja yang menganiaya mereka dan bertindak melampaui batas terhadapnya.

6. Apabila kasus di atas berkembang menjadi percekcokan dan pertengkaran yang dapat berakhir dengan keretakan sebuah rumah tangga, maka hendaklah mengangkat dua orang terpercaya dari kedua belah pihak, seorang dari pihak suami, dan seorang dari pihak istri yang dapat dijadikan penengah dan mampu mencarikan maslahat dan solusi dalam mendamaikan keduanya . Baik maslahat tersebut berupa perbaikan/perdamaian di antara keduanya, atau pun perceraian, jika memang alternatif terakhir tersebut dipandang maslahat dan terbaik untuk keduanya.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً (النساء: 35)

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru runding) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. an-Nisa: 35).

Inilah solusi Islam yang sangat indah dan tepat yang seharusnya dijadikan rujukan para suami ketika mendapati para istri mereka tidak lagi taat kepada mereka. Dan inilah solusi yang tidak diragukan lagi sebagai tanda dan bukti betapa Islam benar-benar sangat memuliakan kaum wanita serta menjaga harkat dan martabat mereka. Wallahu a’lam. (Oleh: Muhammad Ruliyandi Abu Nabiel)

Sumber: (Takrim al-Mar’ati fi al-Islami, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, dll.)