Pengalaman ini kami haturkan kepada pembaca untuk berbagi pengalaman semata, dan bukan untuk mencari sum’ah atau memunculkan keriyaan ataupun menghilangkan keikhlasan.

Keseharian di NAD

Keseharian yang penuh dengan kesibukan, dari bangun shubuh (di NAD, shubuh jam 05.30 WIB) sudah mulai mengurus pengungsi. Kebetulan, SIWAKZ ALSOFWA memiliki pengungsi sendiri yang dibina agama dan tata-krama nya dan dipasok seluruh kebutuhanya secara mandiri. Tidak dibarengkan dengan pengungsi pada umumnya. Sistem ini lebih menguntungkan dalam seluruh aspek. Pertama, bagi pengungsi, mereka lebih steril dari effect berbagai LSM dari berbagai latar belakang agama dan tujuan, ada yang islam, ada yang misionaris, ada yang nasionalis, dan mungkin ada yang sosialis ataupun bahkan mungkin yahudi. Dari aspek ini, pengungsi lebi terjamin pendidikan agama dan kebersian makanannya. Ada sebuah laporan yang terungkap dari MPU NAD bahwa ada LSM asing yang ketahuan membagikan daging babi di sebua lokasi di Banda Aceh. Ini satu misal. Maaf, agak berpanjang lebar.

Kembali ke pengalaman relawan. Sebagian relawan sibuk menyiapkan logistik yang hendak dibagikan kepada pengungsi. Memastikan mereka dalam keadaan sehat wal afiat. Apabila ada yang sakit, langsung diberikan obat yang dimiliki kami. Akan tetapi jika ternyata berat, dibawa ke rumah sakit terdekat. Sebagian lagi menyiapkan sarapan pagi untuk seluruh relawan, dari mulai belanja, mencuci piring, ke dapur dan seterusnya. Ada yang terlihat merapikan pakaian-pakaian yang sudah diacak-acak oleh pengungsi, untuk di tata kembali dan dikelompokkan menurut jenis gender dan usia.

Seorang relawan lagi terlihat sedang breifing dengan sejumlah ustadz untuk program da’wah setiap harinya, penjadwalan, tematikalnya, dan sarana yang akan digunakan.
Seorang lagi sedang sibuk ‘ngurusi administrasi dan manajeria relawan dan seluk-beluk pengungsi, persiapan relokasi, dan penerimaan tamu-tamu yang meminta bantuan ataupun informasi. Bahkan masih berkutat dengan laporan keuangan hingga jam 03 atau jam 04 dini hari. Sementara laporan kegiatan pun mendesak meminta untuk dibuat dan diupload ke internet agar bisa dikonsumsi para netter atau browser di seluruh penjuru dunia.

Dalam keadaan yang sangat sibuk sekali, kadang ustadz juga ikut memasak untuk makan sendiri ataupun untuk makan bersama bersama seluruh relawan. Akan tetapi sang ustadz dengan senangnya ikut memasak. Untuk menghilangkan stress, katanya.

Berharaplah Pahala dari Allah Semata

Berharaplah pahala yang besar dari Allah semata karena bantuan yang kita berikan untuk warga Aceh. Baik, anda yang bisa menyumbang uang, pakaian, tenaga, maupun doa serta air mata. Sebab itula yang akan membahagiakan anda, di dunia ini maupun di akhirat kelak. Kalau anda membantu ke Aceh berharap sanjungan dan ucapan terima kasih, itu tidak akan anda peroleh. Mayoritas warga Aceh tidak kenal terima kasih. Malah terkesan –dan ini sangat kentara sekali– mereka tidak butuh dengan kedatangan serta bantuan anda. Seorang relawan perna berujar, “Kalau mereka bukan muslimin, kami tidak sudi datang ke tempat ini.” Demikian ungkapan seorang relawan yang ingin menepis kekesalannya menghadapi warga Aceh.

Kepulangan

Ketua relawan biasanya terlihat sibuk sekali dan kadang uring-uringan ketika hendak memulangkan sejumlah relawan untuk rolling dengan relawan baru berikutnya. Bukan uring-uringan dengan sesama relawan, tapi karena prosedur yang mbulet dan immanajerial. Bagaimana tidak, mulai dari ngedaftar yang susah. Terpampang di pintu tempat mendaftar, “Tidak Ada Pendaftaran”, terus “Selain Petugas Dilarang Masuk”, “Tidak ada jadwal penerbangan hari ini”, dan petugas pendaftar yang tidak tahu tata-krama senyum bahkan mendiamkan, cuek dan terkadang terkena semprot walaupun kami tidak tahu akan kesalahan yang kami lakukan. Memang ada yang njowo, sedikit. Bahkan sampai adanya sejumlah warga Aceh yang hendak melancong ke Jakarta gratis (dengan hercules) tapi akhirnya dengan sejumlah uang pelicin bisa berangkat. Akibatnya sejumlah relawan terkalahkan dan menunggu lagi untuk pemulangan berikutnya yang tidak tahu kapan waktunya….

Belum lagi dengan layanan helikopter yang tidak kosong dari penumpang warga Aceh yang tujuannya tidak lebih dari sekedar jalan-jalan sekeluarga gratis dan seterusnya. Memang, ada yang benar-benar tidak demikian, tapi sangat sedikit jika dibandingkan yang itu. Seorang relawan pernah bincang-bincang dengan seorang laki-laki berumur dengan anaknya di Lamno, dan belakangan ketahuan ia seorang kepala sebuah kantor pos dan giro. Obrol punya obrol, ia bilang untuk jalan-jalan liat-liat Aceh dari udara secara gratis sekeluarga, ke Lamno, Calang, dan Meulaboh. Sang relawan gedheg-gedheg dan berujar di dalam hati, “Kalo begini mental seorang kepala kantor pos, lha gimana dengan rakyatnya???” Akibatnya, puluhan relawan terkatung-katung dua atau tiga hari untuk bisa kembali ke Banda dan bekerja kembali.

Sementara itu dulu. Insya Allah akan disambung dengan pengalaman berikutnya. (abm)