Ketahuilah bahwasanya dianjurkan bagi suami agar tidak berbicara kepada seorang pun dari saudara istrinya dengan lafazh yang di dalamya mengandung penyebutan jima’, ciuman, pelukan, atau hal lain yang merupakan bagian percumbuan dengan wanita atau perkataan yang mengandung hal tersebut atau yang dijadikan pedoman perbuatan tersebut atau dipahami seperti itu.

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim,

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-‘Ilm, Bab Man Istahya fa Amara Ghairahu bi as-Su`al, 1/230, no. 132, dan Muslim, Kitab al-Haidh, Bab al-Madzi, 1/247, no. 303. dari Ali radiyallahu ‘anhu dia berkata,

كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً، فَاسْتَحْيَيْتُ أَنْ أَسْأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم لِمَكَانِ ابْنَتِهِ مِنِّيْ، فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ اْلأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ.

“Saya adalah seorang laki-laki yang banyak mengeluarkan madzi, maka saya malu untuk bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam karena kedudukan putrinya sebagai istriku, lalu saya menyuruh al-Miqdad bin al-Aswad untuk bertanya kepadanya, maka dia pun menanyakan kepadanya.”

Kata “al-Madzdza” bermakna orang yang banyak keluar madzi, yaitu cairan yang dikenal yang keluar ketika ada syahwat. Kata “Li Makani Ibnatihi Minni” bermakna karena saya suami anak perempuannya.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky