Sebab Lemahnya Keadaan Kita Saat Ini Di-Bandingkan Kaum Salaf Dalam Pemuliaan Menjunjung Tinggi Al-Qur’an

Jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas sudah terdapat pada atsar Ibnu Umar dan hal itu cukup sebagai pegangan sebagaimana dikatakan: “Di hadapan orang alim saya menyerah,” beliau menjelaskan pembelaan para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim dan amal mereka terhadap Al-Qur’an serta pewujudan pemuliaan padanya, sebagaimana beliau jelaskan sebab lemahnya dalam beramal dengan Al-Qur’an.

Beliau (Ibnu Umar ) berkata: “Aku telah hidup dalam waktu yang singkat dari umurku di dunia ini. Sesungguhnya salah seorang diantara kita diberikan iman sebelum Al-Qur’an dan surat-surat Al-Qur’an masih turun berkesinam-bungan kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, maka kami belajar tentang halal dan haramnya serta apa-apa yang seyogyanya kami perhatikan sebagaimana kalian mempelajari Al-Qur’an, sungguh aku melihat kaum yang salah satunya diberi Al-Qur’an sebelum keimanan maka dia membacanya dari Al-Fatihah hingga menghatamkannya namun ia tidak tahu apa yang diperintah dan yang dilarang serta hal-hal yang seyogyanya diperhatikan darinya bagai menebar biji kurma yang usang.”

Keimanan yang ditunjukkan oleh Ibnu Umar dengan perkataannya: “Sesungguhnya di antara kita diberikan iman sebelum Al-Qur’an”, adalah keimanan bahwa Al-Qur’an di-turunkan untuk direnungkan ayat-ayatnya dan diamalkan-nya. Itulah keimanan yang ditunjukkan oleh para sahabat ridhwanulahi ‘alaihim untuk mengaplikasikan pemuliaan Al-Qur’an dalam wujud yang nyata. Maka ketika turun surat/ayat, mereka bersegera untuk mempelajari dan menga-malkannya, sebagaimana perkataan Ibnu Umar di atas: “Surat masih turun berlangsung kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam maka kami belajar tentang hukum halal dan haramnya serta hal-hal yang seyogyanya diperhatikan.”

Abu Abdurrahman As-Sulami berkata: “Orang-orang ahli Al-Qur’an mengabarkan pada kami bahwa mereka dahulu dibacakan oleh Nabi Shalallaahu alaihi wasalam. Setelah itu mereka belajar sepuluh ayat dan tidak pindah pada yang lain sebelum mengamalkan isinya.”

Inilah kenyataan dalam diri para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim. Mereka melihat pentingnya belajar Al-Qur’an dan beramal dengannya karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Dan mereka mengajarkan hal itu pada murid-murid mereka dari kalangan tabi’in. Sebagaimana dikatakan Ibnu Umar dalam perkataannya di atas: “Sebagaimana kalian belajar Al-Qur’an.” Dan berkata Abu Abdurrahman As-Sulami salah seorang murid sahabat: “Kami belajar Al-Qur’an dan me-ngamalkannya secara bersamaan.” Hal ini menjadi manhaj (sistem) yang tersusun di kalangan para tabi’in, hingga me-reka mengingkari dengan amat kuat orang yang melanggar-nya.

Al-Hasan Al-Bashri salah seorang pemuka tabi’in berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini telah dibaca budak-budak dan anak-anak yang tidak mengetahui ta’wilnya dan tidak merenungkannya, tidak menghafal huruf-hurufnya, meninggalkan ketentuan-ketentuannya hingga salah seorang mereka berkata: “Aku telah membaca Al-Qur’an seluruhnya tanpa tersisa satu huruf pun!” Padahal demi Allah, mereka menggugurkan semua isinya, Al-Qur’an tidak terlihat sedikit pun dalam akhlak dan amalnya. Sehingga jika seorang dari mereka berkata: “Aku membaca satu surat dalam sekali nafas.” Demi Allah, mereka bukan ahli pembaca dan bukan ahli hukumnya dan bukan orang yang waro’ (meninggalkan perbuatan dosa).” Sejak kapan Al-Qur’an dijadikan seperti ini? Mudah-mudahan Allah tidak memperbanyak orang-orang seperti mereka!

Atsar ini memperkuat perkataan Ibnu Umar yang menga-takan bahwa lemahnya mengamalkan Al-Qur’an disebabkan tidak adanya iman dalam hati. Sehingga perkataan beliau: “Aku melihat seseorang yang diberi Al-Qur’an sebelum keimanan maka ia membaca dari mulai Al-Fatihah hingga khatam namun tidak tahu apa-apa yang diperintahkan dan dilarang.” Maksudnya orang-orang yang aku temui, lemah dalam beramal. Salah seorang dari mereka membaca Al-Qur’an tetapi dalam hatinya tidak memiliki iman pada kewa-jiban untuk mengamalkannya dan hal-hal yang harus dijauhi.

Keterangan di atas telah menjelaskan kepada kita bahwa keimanan kaum salaf adalah dengan terus menerus mempelajari dan mengamalkan Al-Qur’an, itulah yang membuat mereka benar-benar memuliakan Kitab Allah Subhannahu wa Ta’ala , begitu pula sebaliknya, kelemahan iman di hati membuat seseorang me-remehkan pemuliaan Kitab ini, sebagaimana dikritisi oleh Ibnu Umar dan Al-Hasan .

Maka seberapa tinggi tingkat iman seseorang hamba di hati setinggi itu pula terwujud pemuliaannya pada kitab Al-Qur’an dan semakin dekatnya pada derajat kaum salaf. Begitu pula sebaliknya, seberapa rendahnya iman di hati seseorang sekian itu pula terjadi pelecehan terhadap kemuliaan Al-Qur’an dan jauhnya dia dari derajat kaum salaf. Jadi setiap orang terukur dengan jiwa (keimanan)-nya. Semoga Allah menggelar anugerahNya, sebab Dia-lah Tempat memohon