Sesungguhnya identitas kita sebagai muslim tidaklah bertentangan dengan fitrah, yakni merasa cinta kepada tanah air yang kita menisbatkan diri kepadanya. Tidak pula bertentangan dengan keinginan untuk kebaikan negeri kita tersebut. Bahkan seorang muslim adalah nasionalis sejati, bukan dalam arti fanatik terhadap kewarga negaraannya, namun dalam makna dia menghendaki kebaikan dan kebahagiaan negaranya di dunia dan di akhirat dengan merealisasikan syari’at Islam, pembinaan aqidah serta menyelamatkan seluruh warga dari siksa neraka. Allah subhanahu wata’ala berfirman mengisahkan seorang mukmin keluarga Fir’aun,
(Musa berkata),”Hai kaumku, untukmu lah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi. Siapakah yang akan menolong kita dari azab Allah jika azab itu menimpa kita!” Fir’aun berkata, “Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar”. Dan orang yang beriman itu berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa (bencana) seperti peristiwa kehancuran golongan yang bersekutu.” (QS. al-Mukmin:29-30)

Tampak sekali pengertian nasionalisme ini dalam kisah seorang mukmin dari keluarga Fir’aun, yang menghendaki kebaikan kaum dan bangsanya.

Akan tetapi negeri yang sesungguhnya bagi seorang muslim adalah surga, tempat bapak kita nabi Adam ’alaihis salam tinggal pertama kali. Sementara kita di dunia ini sedang kehilangan negeri (surga) tersebut, dan sedang berusaha untuk dapat meraihnya kembali. Dan ajaran Islam telah menuliskan bagi kita peta perjalanan untuk kembali ke negri asal tersebut.

Surga adalah negeri kebahagiaan yang jika seseorang telah memasukinya, maka dia tidak akan mau lagi untuk berpindah darinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
“Seandainya dunia ini sama di sisi Allah dengan satu sayap nyamuk, maka tentu Allah tidak akan memberi minum orang kafir darinya walau hanya seteguk air.” (HR at-Tirmidzi no. 2320 dan dia berkata, Hadits shahih gharib. Di shahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 686 karena banyak pendukungnya). Jika dunia seisinya tidak ada artinya di sisi Allah subhanahu wata’ala jika dibandingkan dengan sayap seekor nyamuk, maka bagaimana dengan hanya sebuah negara?

Di dunia ini tidak ada negeri yang paling dicintai oleh seorang mukmin dibanding Makkah al-Mukarramah, al-Madinah an-Nabawiyah, dan Baitul Maqdis di Palestina. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan bahwa negri yang paling beliau cintai adalah Makkah al-Mukarramah, karena ia merupakan negri yang paling dicintai Allah subhanahu wata’ala dan diberkahi.

Sedangkan selain tiga negeri yang disucikan tersebut, maka Islamlah negeri kita, keluarga dan kerabat kita. Di mana syari’at Islam ditegakkan dan kalimat Allah ditinggikan, maka di sanalah negeri kita tercinta. Adapun negara dalam arti sempit, yakni sepotong tanah yang ditulis batas-batasnya oleh manusia, dibuat pemisah, dibatasi warna kulit, suku dan kebangsaan maka itu sesuatu yang tidak pernah dikenal oleh kaum salaf maupun kholaf. Hal itu muncul dalam kerangka memberikan pemahaman yang rusak dan merusak yang ditebarkan oleh Barat dan para pengekornya untuk menyingkirkan semangat keislaman, meredupkan jati diri Islam yang telah mempersatukan berbagai suku, bangsa dan ummat serta menjadikannya sebagai satu ummat saja “Ummat Islam” serta “Ummat Tauhid”.

Saksi dari semua itu adalah seorang sejarawan yahudi Bernard Louis yang mengatakan, “Semua orang yang memperhatikan sejarah Islam maka dia akan mengetahui kisah Islam yang menakjubkan dalam memerangi penyembah berhala sejak permulaan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian bagaimana Nabi dan sahabatnya mendapatkan pertolongan dan menegakkan ibadah hanya kepada Ilah yang Esa serta memporak porandakan agama-agama berhala kaum Arab Jahiliyah. Dan pada hari ini mereka berhadapan dengan berhala yang lain. Mereka tidak berhadapan dengan Latta, Uzza dan tuhan-tuhan orang jahiliyah lainnya. Mereka melawan bebagai berhala-berhala baru, yang bernama negara (nasionalisme dan fanatik kebangsaan), kesukuan (rasialisme), serta qaumiyah (fanatik golongan).

Sesungguhnya barat tidak memandang kita dengan dua kaca mata, namun hanya satu kaca mata saja, yaitu kacamata fanatik buta, kedengkian dan kezhaliman yang nyata terhadap kaum muslimin. Tatkala Islam tegak dengan tanpa mempermasalahkan batas-batas wilayah, bersatu dalam amal serta telah rekat persatuannya maka tiba-tiba saja mereka merobek-robek dan mencerai beraikan kita.

Aqidah Islam merupakan satu-satunya pandangan yang dengannya seorang muslim mampu melihat kesalahannya dalam bersikap, berfikir dan mengambil dasar hidup. Aqidah Islam merekomendasikan kepada kita untuk mengambil warisan sejarah agar kita tahu batas, mana yang harus kita terima dan mana yang wajib kita tolak.

Fir’aun dan pengikutnya adalah orang Mesir namun mereka kafir. Nabi Musa ’alaihis salam juga orang Mesir, tetapi dia Islam dan beriman. Maka wajib seorang mukmin memusuhi musuh-musuh Allah dan berlepas diri dari mereka meskipun mereka adalah satu bangsa, ras dan satu bahasa. Dan seorang mukmin berwala’ (loyal) kepada golongan Allah dan para wali-Nya, siapa pun mereka, di mana pun mereka berada dan kapan saja waktunya. Abu Jahal dan Abu Lahab adalah orang Arab, dari suku Quraisy dan masih kerabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Namun karena mereka memusuhi Allah subhanahu wata’ala, maka Rasulullah pun memusuhi mereka.

Allah subhanahu wata’ala juga berfirman tentang sekelompok orang mukmin dari Bani Israil di bawah pimpinan Thalut, yang berperang menghadapi Raja kafir yang juga Bani Israil yang bernama Jalut.

Kita orang mukmin selalu memegang prinsip ini, yaitu menolong aqidah Islam dari orang-orang kafir siapa pun orang kafir itu, meski seorang yang berbangsa Palestina.

Seandainya saja Allah subhanahu wata’ala menakdirkan Nabi Sulaiman ’alaihis salam dan Nabi Dawud ’alaihis salam hidup kembali di dunia ini, maka tentu mereka berdua akan mengikuti syariat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Demi Allah, seandainya Musa hidup di tengah-tengah kalian, maka dia tidak ada pilihan lain kecuali akan mengikutiku.” (HR. ad-Darimi, Imam Ahmad dan selain meeka, dihasankan oleh al-Albani).

Andaikan Nabi Musa ’alaihis salam, Nabi Sulaiman ’alaihis salam, Nabi Dawud ’alaihis salam dibangkitkan kembali tentu mereka akan memerangi yahudi, nashara, kaum sekuler dan orang-orang mulhidin.

Sesungguhnya aqidah adalah pondasi jati diri yang paling besar yang mengikat seorang muslim dengan saudaranya, sehingga menjadi ibarat satu tubuh. Jika ada salah satu anggota badan yang sakit maka anggota badan yang lain ikut merasakannya dengan susah tidur dan demam, seperti disebutkan dalam hadits.

Inilah ikatan yang hakiki dan yang sesungguhnya. Adapun selain itu seperti hubungan kerabat, teman, keluarga, suku, bangsa, ras adalah bersifat nisbi. Dalil yang menunjukkan hal ini yaitu firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. al-Mujadilah:22)

Dalam kisah Nabi Nuh ’alaihis salam Allah subhanahu wata’ala berfirman tentang putranya, “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik.” Dan dalam kisah Nabi Ibrahim ’alaihis salam beliau dan pengikutnya berkata, “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” Juga dalam kisah Nabi Isa ’alaihis salam ketika beliau menyeru Bani Israil agar menjadi penolongnya, maka sebagian ada yang beriman yakni kaum Hawariyyun dan sebagain ada yang kafir. Maka Allah subhanahu wata’ala menolong orang yang beriman atas musuh mereka. Demikian pula dalam surat al-Lahab yang menceritakan paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Lahab, “Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.” (QS. 111:3). Sebuah syair menyebutkan,

Islam tekah memuliakan Salman, seorang berbangsa Persi
Kekufuran telah menghinakan bangsawan mulia, Abu Lahab

Dalil lainnya adalah bahwa seorang mukmin yang memiliki anak kafir maka hartanya tidak diwarisi oleh anaknya, tetapi diwarisi kaum muslimin dan masuk ke baitul mal. Ini menunjukkan bahwa saudara yang hakiki adalah saudara seaqidah, sesama muslim tanpa memandang bangsa, ras, suku dan warna kulit.

Disadur dari kitab, “Huwiyyatuna awil Hawiyah”, Muhammad Ahmad Islamil al-Muqaddam, hal 19-32.