Pertanyaan:

Apa hukumnya berobat menurut pandangan Dienul Islam, terutama penyakit-penyakit yang tidak ada harapan sembuh? Apakah harus meminta izin kepada si sakit sebelum melakukan pengobatan? Terlebih pada saat-saat darurat!

Jawaban:

Alhamdulillah,

Pertama:

Pada dasarnya berobat adalah disyariatkan, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, baik sunnah qauliyah (ucapan) maupun fi’liyah (perbuatan). Dan juga dengan berobat keselamatan jiwa yang merupakan salah satu dari lima perkara asasi dapat terjaga. Hukum berobat itu sendiri berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan orangnya.

Hukum berobat wajib jika dengan meninggalkannya akan mengancam keselamatan jiwanya atau dapat melumpuhkan salah satu anggota badannya atau penyakit yang dideritanya itu dapat menular kepada orang lain, seperti orang yang terkena penyakit menular misalnya.

Hukum berobat adalah sunnat jika dengan meninggalkannya akan melemahkan badan dan tidak menimbulkan efek seperti tersebut pada kondisi yang pertama tadi.

Hukum berobat adalah mubah (boleh) jika dengan meninggalkannya tidak menimbulkan efek seperti yang tersebut pada dua kondisi di atas tadi.

Hukum berobat adalah makruh (ditinggalkan berpahala dan dikerjakan tidak berdosa) apabila dengan berobat tersebut justru menimbulkan efek samping yang lebih berbahaya daripada penyakit yang akan diobati.

Kedua: Pengobatan penyakit yang tiada harapan disembuhkan.

1. Merupakan konsekuensi aqidah muslim adalah meyakini bahwa penyakit berikut kesembuhannya mutlak berada di tangan Allah. Sementara berobat merupakan salah satu bentuk usaha dan ikhtiar yang telah Allah anugrahkan di alam jagad raya. Dan meyakini bahwa seorang muslim tidak boleh berputus asa dari rahmat dan inayah (pertolongan) Allah Subhana wa Ta’ala. Bahkan sebaliknya seorang muslim seyogiyanya menaruh harapan kuat untuk sembuh dengan izin Allah. Dan hendaknya para dokter dan keluarga si sakit terus memberi sugesti (semangat) bagi si sakit. Terus memperhatikan kondisinya dan meringankan penyakit jasmani maupun rohani yang tengah dideritanya, terlepas apakah si sakit bakal sembuh ataupun tidak.
2. Sesungguhnya istilah penyakit akut yang tiada harapan untuk disembuhkan yang dipakai dalam ilmu kedokteran adalah berdasarkan analisa ahli medis dan diagnosa kedokteran yang bisa saja berubah di setiap zaman dan tempat sesuai dengan kondisi si sakit itu sendiri.

Ketiga: Mengenai izin dari si sakit.

1. Pengobatan baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari si sakit jika ia adalah seorang yang sempurna akalnya, adapun jika ia seorang yang kurang akal atau belum berakal (misalnya anak-anak) maka harus meminta izin kepada walinya sesuai dengan tingkatan wali yang telah ditetapkan dalam syariat. Dan sejalan dengan hukum-hukum syariat yang membatasi hak-hak wali sebatas perkara yang mendatangkan manfaat dan maslahat serta menghilangkan kesulitan dari orang yang berada di bawah kewaliannya. Dan apabila keputusan wali yang tidak memberi izin berobat secara jelas mendatangkan mudharat bagi orang yang berada si bawah kewaliannya, maka keputusan itu tidak perlu ditanggapi. Maka hak kewalian berpindah kepada wali-walinya yang lain. Jika tidak ada maka urusannya diserahkan kepada pemerintah.
2. Pemerintah berhak mewajibkan beberapa orang tertentu untuk berobat, misalnya jika penyakit yang di derita tersebut adalah penyakit menular, pengobatan preventif dan pencegahan.
3. Dalam keadaan gawat darurat (ICU) yang membahayakan keselamatan jiwa pasien tidak perlu meminta izin kepada yang bersangkutan.
4. Proses pemeriksaan atau diagnosa penyakit harus melalui persetujuan si sakit -jika ia seorang yang sempurna akalnya- tanpa ada unsur paksaan, seperti para terpidana, dan tanpa ada unsur tekanan materi, seperti fakir miskin. Dan disyaratkan pemeriksaan tersebut tidak menimbulkan efek samping yang lebih berbahaya. Tidak boleh melakukan pemeriksaan jika si sakit seorang yang kurang akal ataupun belum berakal sekalipun dengan persetujuan walinya.

[Sumber: www.islamqa.com. Silakan lihat Mujamma’ Fiqih Islami hal 147]