Pendahuluan:

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Ta’ala dan shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad, keluarga beliau, sahabat dan orang-orang yang senantiasa istiqamah di jalan mereka hingga akhir zaman. Amin.

Belakangan ini, baik di majelis-mejelis ilmu, kajian, obrolan-obrolan ringan, di jejaring sosial FB dan lainnya, terutama di situs-situs Islam telah semarak dibahas dan dikaji tentang seputar masalah masjid, batasan-batasanya dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya, seperti jual beli, shalat Tahiyatul Masjid, i’tikaf, iklan atau promosi produk tertentu dan selainnya.

Atas latar belakang itu, kami sengaja ingin ikut serta mengangkat hal yang sama, dengan harapan setiap kita mendapatkan kepastian hukum dan informasi yang seimbang dan proporsional berkaitan dengan hal-hal yang sedang hangat menjadi pembicaraan tersebut, meskipun pada akhirnya setiap kita mungkin berbeda dalam mengambil kesimpulan hukum, berdasarkan alasan-alasan yang dianggap lebih kuat daripada pendapat yang lain.

Berikut ini kami nukilkan jawaban Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid ketika beliau ditanya tentang hal yang sama, sebagaimana yang dirilis oleh situs www.islamqa.com dalam rubrik soal dan jawab.

Soal Pertama:

Pertanyaan:

Jika saya tinggal di sebuah kamar di Masjid, apakah saya harus shalat Tahiyatul Masjid setiap kali saya masuk ke kamar tersebut?

Jawab:

Alhamdulillah. Jika kamar tersebut bersambung dengan masjid, telah disiapkan sebagai masjid, maksudnya yang membangun masjid telah meniatkan untuk menjadikan kamar tersebut sebagai bagian dari masjid yang dijadikan tempat shalat di dalamnya, maka berlaku pada kamar tersebut hukum-hukum masjid. Maka sangat dianjurkan (sunnah muakkad) untuk melakukan shalat tahiyatul masjid ketika memasukinya, tidak diperbolehkan bagi wanita haidh dan nifas untuk tinggal di dalamnya.

Adapun jika kamar tersebut diniatkan untuk dihubungkan dengan masjid sebagai tempat ta’lim (kegiatan belajar mengajar), atau untuk pertemuan-pertemuan, atau untuk tempat tinggal imam dan muadzin, dan bukan sebagai tempat shalat, maka pada saat itu tidak berlaku hukum masjid. Dan jika niat si pembangun masjid tidak diketahui, maka pada asalnya adalah segala sesuatu yang berada di dalam pagar masjid, dan memiliki pintu ke masjid, maka berlaku hukum masjid.

Ini adalah kesimpulan perkataan para ulama seputar kamar dan ruangan-ruangan yang bersambung dengan masjid, dengan memperhatikan (mempertimbangkan) perbedaan kondisi sekarang dengan kondisi yang ada di masa para ulama (ahli fikih) pada zaman dahulu.

Berikut ini fatwa-fatwa sebagian ulama dalam masalah ini:

1. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya: ”Di Amerika ada sebuah masjid yang dibangun dari tiga lantai: Lantai yang paling atas adalah tempat shalat kaum wanita, lantai yang ada di bawahnya adalah tempat shalat yang asli (inti), dan lantai yang ada di bawahnya lagi adalah sebuah basement yang di sana terdapat kamar mandi, tempat untuk majalah dan koran Islam, ruang kelas untuk pembelajaran kaum wanita, dan tempat shalat untuk wanita juga. Maka apakah boleh bagi wanita haidh untuk masuk ke lantai paling bawah (basement) ini?”

Beliau rahimahullah menjawab: ” Jika gedung yang disebutkan diperuntukkan untuk masjid, dan penghuni lantai paling atas dan paling bawah mendengar suara imam, maka shalat mereka sah, dan tidak boleh bagi wanita haidh untuk duduk di tempat yang dipersiapkan untuk shalat di lantai bawah, karena hukumnya mengikuti hukum masjid.

Adapun jika lantai paling bawah, tidak diniatkan oleh waqif (yang memberikan wakaf) sebagai bagian dari masjid, akan tetapi ia diniatkan sebagai gudang dan tempat untuk kepentingan yang telah disebutkan dalam pertanyaan, maka tidak berlaku baginya hukum masjid, dan boleh bagi wanita haidh dan junub untuk duduk di situ. Dan tidak mengapa shalat di lantai tersebut, di tempat yang suci yang tidak terhubung dengan WC, sebagaimana di tempat-tempat suci yang lain yang tidak ada larangan syar’i untuk shalat ditempat tersebut. Akan tetapi yang shalat di lantai tersebut, tidak boleh mengikuti imam yang ada di atasnya jika ia tidak melihat imam, atau melihat sebagian makmum, karena tempat tersebut tidak tersambung dengan masjid menurut pendapat yang paling kuat di antara dua pendapat ulama.”(Diringkas dari Fatawa Ibnu Baz rahimahullah, 10/221)

2. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: ”Apakah boleh beri’tikaf di kamar yang berada di dalam masjid?”

Beliau rahimahullaahu menjawab: ”Dalam masalah (kamar) ini mengandung kemungkinan. Barangsiapa yang melihat kepada kemutlakan perkataan para ahli Fiqh, maka dia mengatakan, ia termasuk bagian dari masjid. Karena ruangan dan kamar yang dikelilingi tembok masjid, termasuk bagian dari masjid. Barangsiapa yang melihat bahwa dibangunnya bukan bagian dari masjid, dan kamar tersebut dikhususkan untuk imam. Maka ia seperti rumah Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam. Maka rumah Rasulullah pintu-pintunya langsung ke masjid, meskipun begitu ia termasuk rumah. Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam tidak masuk ke rumah (yakni ketika beri’tikaf). Yang lebih hati-hati, orang yang beri’tikaf jangan berada di dalamnya. Akan tetapi orang-orang pada masa kita sekarang menganggap kamar yang ada di dalam masjid termasuk bagian dari masjid. Selesai dari ‘Syarkh Al-Kafi’

3. Beliau rahimahullah pernah ditanya: ”Apa hukum shalat Tahiyatul Masjid bagi orang yang masuk ke perpustakaan masjid pada kondisi-kondisi berikut:

a. Jika pintu perpustakaan ada di dalam masjid?

b. Jika pintu perpustakaan ada di luar masjid?

c. Jika pintu perpustakaan memiliki dua pintu, salah satunya ada di dalam masjid dan yang lainnya di luarnya?

Maka beliau menjawab:”Pada kondisi yang pertama yaitu ketika pintu perpustakaan ada di dalam masjid, maka perpusatakaan tersebut termasuk masjid dan berlaku di dalamnya hukum masjid. Maka disyari’atkan bagi yang masuk ke dalamnya untuk shalat Tahiyatul Masjid, tidak boleh bagi orang yang junub untuk tinggal di dalamnya kecuali kalau ia berwudhu, sah melakukan i’tikaf di situ, haram berjual beli di situ, dan seperti itu pula hukum-hukum masjid yan lain yang sudah diketahui bersama.

Pada kondisi yang kedua, yaitu ketika pintu perpustakaan di luar masjid, dan ia tidak memiliki pintu ke arah masjid, maka ia bukan bagian dari masjid dan tidak berlaku hukum-hukum masjid. Maka tidak disyari’atkan shalat Tahiyatul Masjid, tidak sah i’tikaf di di dalamnya, dan tidak diharamkan jual beli, karena ia bukan bagian dari masjid karena sudah terpisah darinya.

Dan pada kondisi yang ketiga, yaitu jika perpustakaan itu memiliki dua pintu, salah satunya di dalam masjid dan yang kedua di luar. Maka jika pagar masjid mengelilinginya, maka ia bagian dari masjid dan berlaku padanya hukum-hukum masjid. Dan jika pagar masjid tidak mengelilinginya, bahkan ia memiliki pagar terpisah, maka tidak berlaku padanya dihukumi sebagai masjid dan tidak berlaku padanya hukum-hukum masjid, karena ia terpisah dari masjid. Oleh sebab itu rumah-rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak termasuk bagian dari masjid, padahal ia memiliki pintu-pintu ke arah masjid, karena ia terpisah dari masjid. (Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, 14/351)”. Wallahu A’lam.

Soal Kedua:

Pertanyaan:

Di masjid kami ada dua tempat terpisah dari masjid. Kami telah terbiasa shalat di tempat ini. Semenjak pembangunan masjid selesai, kita shalat di dalamnya. Apakah kita diperbolehkan beri’tikaf di tempat ini?

Jawaban:

Alhamdulillah,

I’tikaf adalah berdiam diri di masjid untuk ketaatan kepada Allah, dan ini khusus di dalam masjid tidak sah selain masjid.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, ‘I’tikaf tidak sah di selain masjid. Kalau orang yang beri’tikaf laki-laki. Kami tidak tahu diantara para ulama’ ada perbedaan dalam hal ini. Asal hal itu adalah firman Allah Ta’ala,(artinya) ‘Dan janganlah engkau pergauli (para wanita) sementara kamu semua dalam kondisi beri’tikaf di dalam masjid.’ Maka Allah khususkan hal itu. Kalau i’tikaf sah di selain masjid, tidak dikhususkan pengharaman mempergauli di dalamnya. Karena berhubungan badan, diharamkan dalam i’tikaf secara mutlak. Dalam hadits Aisyah radhiallahu’anha berkata:

(إن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليدخل علي رأسه , وهو في المسجد , فأرجله , وكان لا يدخل البيت إلا لحاجة إذا كان معتكفا)

‘Jikalau Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam memasukkan kepalanya sementara beliau di masjid dan saya menyisir (rambutnya). Biasanya beliau tidak masuk rumah kecuali kalau ada keperluan dikala beliau dalam kondisi beri’tikaf.

Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dengan sanadnya dari Zuhri dari Urwah dan Said bin Musayyab dari Aisyah dalam hadits :

(وأن السنة للمعتكف أن لا يخرج إلا لحاجة الإنسان , ولا اعتكاف إلا في مسجد جماعة)

‘Sesungguhnya sunnah bagi orang beri’tikaf, tidak keluar kecuali untuk keperluan orang. Dan tidak ada i’tikaf kecuali di masjid (yang ada shalat) jama’ah.’ Selesai dari kitab ‘Al-Mugni, 3/65.

Tempat yang terpisah ini, nampaknnya bukan bagian dari masjid yang digunakan untuk shalat. Maka i’tikaf di dalamnya tidak sah.

Batasan penentuan kamar, ruangan yang masuk masjid dengan yang tidak masuk masjid adalah:
1. Kalau kamar yang menyatu dengan masjid disediakan untuk diabuat masjid atau berniat untuk dijadikan bagian dari masjid untuk shalat di dalamnya. Maka ia mempunyai hukum masjid. Maka diperbolehkan i’tikaf di dalamnya. Orang haid dan nifas dilarang (menetap) di dalamnya. Akan tetapi kalau diniatkan bagian untuk belajar, tempat pertemuan atau tempat tinggal imam dan muazin. Bukan dibuat tempat shalat, maka ketika itu, tidak mengambil hukum masjid.
2. Kalau tidak diketahui niatan orang yang membangun masjid. Asalnya adalah sesuatu yang masuk dalam pagar masjid, dan ia ada pintu ke masjid. Maka ia mempunyai hukum masjid.
3. Halaman dan pelataran yang dikelilingi pagar masjid, ia mempunyai hukum masjid. An-Nawawi rahimahullah berkata, ‘Tembok masjid di dalam dan luarnya, mempunyai hukum masjid dalam pemeliharaan dan menghormati kesuciannya. Begitu juga atapnya, sumur di dalamnya, begitu juga pelatarannya. Syafi’i dan teman-teman rahimahumullah telah menegaskan sahnya i’tikaf di pelataran dan atapnya. Dan sahnya shalat makmum di dalamnya yang mengikuti orang di dalam masjid.’ Selesai dari kitab ‘Al-Majmu’, 2/207.

Dalam kitab ‘Matolib Ulin Nuha, 2/234 dikatakan, ‘Diantara (batasan) masjid adalah belakangnya yakni atapnya. Diantaranya juga pelataran yang dikelilingi (tembok). Al-Qodi berkata, ‘Kalau ia ada pagar dan pintu, maka ia seperti masjid. Karena ia bersama masjid. Dan mengikutinya. Kalau tidak dikelilingi (pagar) maka, tidak ada ketetapan baginya hukum masjid. Diantaranya menara (masjid) yang mana pintunya (menyatu) dengan masjid. Kalau menara dan pintunya diluar masjid, meskipun dekat. Dan orang yang beri’tikaf keluar untuk adzan, maka i’tikafnya batal.’ Selesai dengan ringkasan.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, ‘Kamar yang ada di dalam masjid, apakah sah beri’tikaf di dalamnya?

Beliau menjawab, ‘Ini ada beberapa kemungkinan. Barangsiapa yang melihat keumuman perkataan para ahli fiqih maka dia mengatakan, ia termasuk bagian dari masjid. Karena ruangan dan kamar yang dikelilingi tembok masjid, termasuk bagian dari masjid. Barangsiapa yang melihat bahwa dibangunnya bukan bagian dari masjid, bahwa kamar dikhususkan untuk imam. Maka ia seperti rumah Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam. Maka rumah Rasulullah pintu-pintunya langsung ke masjid, meskipun begitu ia termasuk rumah. Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam tidak masuk ke rumah (yakni ketika beri’tikaf). Yang lebih hati-hati, orang yang beri’tikaf jangan berada di dalamnya. Akan tetapi orang-orang pada masa kita sekarang menganggap kamar yang ada di dalam masjid termasuk bagian dari masjid. Selesai dari ‘Syarkh Al-Kafi’

Silahkan melihat soal jawab no. 118685 dan no. 34499 sebagai tambahan faedah. Wallahu’alam. [Sumber: Soal Jawab Tentang Islam di www.islamqa.com]

Kesimpulan:

Dari jawaban dan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa tidak selamanya area masjid berlaku padanya hukum-hukum sebagaimana hukum masjid. Dengan demikian setiap masjid memiliki hukum yang berbeda-beda tergantung illat (alasan) yang menyertai dibangunya masjid tersebut berikut areanya, seperti teras, halaman, dan ruang-ruang yang bersambung dengan masjid sebagaimana penjelasan di atas.

Oleh karena itu, sebelum menghukumi bahwa area atau bangunan yang bersambung dengan masjid itu memiliki hukum-hukum sebagaimana hukum masjid, maka perlu diperhatikan beberapa hal, diantaranya:
1. Niat pewaqif ketika mewaqafkan tanahnya, apakah diperuntukkan sebagai bangunan masjid secara umum atau sebagai masjid dan bangunan yang lainnya? Sehingga masing-masing bangunan tersebut memiliki hukum yang berbeda dengan yang lainnya.
2. Jika tidak diketahui niat pewaqif, maka yang menjadi patokan adalah pagar masjid yang mengelilinginya.
3. Ada dan tidaknya pagar yang mengelilingi masjid yang dibangun.
4. Bangunan atau area yang bersambung dengan masjid yang berlaku padanya hukum masjid, maka ia memiliki hukum sebagaimana hukum masjid, dan sebaliknya jika bangunan atau area tersebut ternyata tidak berlaku padanya hukum masjid karena beberapa alasan, maka ia tidak memiliki hukum sebagaimana hukum masjid.

Berdasarkan kaidah-kaidah ini, maka setiap kita dapat mengambil kesimpulan hukum apa saja yang dibangun menyertai dan bersambung dengan masjid, baik dalam bentuk ruang, kamar, teras, pelataran maupun halaman dan selainnya berdasarkan illat (alasan) peruntukan awal mula dibangunnya masjid dan bangunan-bangunan yang menyertainya. Dengan demikian setiap kita tidak mudah menghukumi atau memfonis masjid tertentu memiliki hukum yang sama dengan masjid yang lain, sehingga berlaku hukum masjid secara muthlak tanpa perincian dan melihat latar belakang pembangunannya. Semoga pembahasan singkat dan sederhana ini bermanfaat. Wallaahu a’lamu bish shawab. [Redaksi]

Fatwa Terkait:
1. Hukum Menyewakan Bagian Masjid Untuk Bisnis.
2. Hukum Promosi Di Masjid.