Dan Apa Yang Diucapkan Ketika Memberitahunya

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan at-Tirmidzi, dari al-Miqdam bin Ma’dikarib radiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda,

إِذَا أَحَبَّ الرَّجُلُ أَخَاهُ، فَلْيُخْبِرْهُ أَنَّهُ يُحِبُّهُ.

“Apabila seseorang menyukai saudaranya maka hendaklah dia memberitahukannya bahwa dia menyukainya.”

Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad 4/130; al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, no. 542; Abu Dawud, Kitab al-Adab, Bab Ikhbar ar-Rajulu ar-Rajula bi Mahabbatih, 2/754, no. 5124; at-Tirmidzi, Kitab az-Zuhd, Bab Ma Ja’a fi al-I’lam bi al-Hub 4/599, no. 2393; an-Nasa`i dalam al-Yaum wa al-Lailah, no. 206; Ibnu Hibban no. 570; ath-Thabrani 20/279, no. 661; Ibn as-Sunni no. 197; al-Hakim 4/171: dari berbagai jalur, dari Yahya bin Sa’id al-Qaththan, Tsaur bin Yazid telah menceritakan kepada kami, dari Habib bin Ubaid, dari al-Miqdam bin Ma’dikarib dengan hadits tersebut.

At-Tirmidzi berkata, “Hasan shahih”, dan al-Mundziri menyetujuinya, serta menambahkan, Abu al-Fadhl al-Maqdisi berkata, “Dan dia shahih menurut syarat asy-Syaikhain namun mereka berdua tidak meriwayatkannya. Al-Mundziri berkata, Mereka berdua telah mengeluarkan hadits tentang an-Nudzur dengan isnad ini. al-Mazi berkata, Hamzah bin Muhammad al-Hafizh berkata, “Hadits hasan.” Dan al-Albani telah menshahihkannya.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih”.

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, dari Anas radiyallahu ‘anhu,

أَنَّ رَجُلاً كَانَ عِنْدَ النَّبِيِّ فَمَرَّ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! إِنِّيْ لأُحِبُّ هذَا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ أَعْلَمْتَهُ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: أَعْلِمْهُ. فَلَحِقَهُ، فَقَالَ: إِنِّيْ أُحِبُّكَ فِي اللهِ. فَقَالَ: أَحَبَّكَ الَّذِي أَحْبَبْتَنِيْ لَهُ.

“Bahwa seorang laki-laki berada di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu seorang laki-laki melewatinya seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya aku menyukai orang ini.’ Maka Nabi bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau telah memberitahukannya?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Beritahukanlah kepadanya.’ Maka dia menjumpainya seraya berkata, ‘Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.’ Dia menjawab, ‘Semoga Dzat Yang membuatmu mencintaiku karenaNya mencin-taimu’.”

Shahih: Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq no. 20319; Ahmad 3/140,150 dan 241; Abu Dawud, Ibid., no. 5125; Abu Ya’la no. 3442; Ibnu Hibban no. 571; Ibn as-Sunni no. 198; al-Hakim 4/171; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab no. 9006 dan 9011; al-Baghawi no. 3482: dari berbagai jalur, dari Tsabit al-Bunani dan Hasyim al-Ahwal dan al-Asy’ats bin Abdullah dari Anas dengan hadits tersebut.

Dan mayoritas jalur-jalurnya -dengan jalur Abu Dawud di dalamnya- adalah hasan, dan sebagiannya shahih, dan hadits ini shahih yang merupakan batas maksimal dengan menyatukan jalur-jalur sanad tersebut. Dan al-Hakim serta adz-Dzahabi telah menshahihkannya, dan al-Albani menghasankannya.

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan an-Nasa`i, dari Mu’adz bin Jabal radiyallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ: يَا مُعَاذُ، وَاللهِ، إِنِّيْ لأُحِبُّكَ. أُوْصِيْكَ يَا مُعَاذُ، لاَ تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ أَنْ تَقُوْلَ: اَللّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meraih tangannya seraya bersabda, ‘Wahai Mu’adz, demi Allah, sungguh saya menyukaimu, saya berwasiat kepadamu wahai Mu’adz agar kamu jangan meninggalkan doa di akhir setiap shalat, untuk mengucapkan, ‘Ya Allah, tolonglah saya untuk mengingat-Mu, mensyukuriMu, dan membaguskan ibadah kepadaMu’.”

Shahih: Telah dikemukakan teks dan takhrijnya pada no. 207.

Kami meriwayatkan dalam Kitab at-Tirmidzi, dari Yazid bin Na’amah adh-Dhabbi, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا آخَى الرَّجُلُ الرَّجُلَ، فَلْيَسْأَلْهُ عَنِ اسْمِهِ وَاسْمِ أَبِيْهِ وَمِمَّنْ هُوَ، فَإِنَّهُ أَوْصَلُ لِلْمَوَدَّةِ.

‘Apabila seorang laki-laki menjadikan seorang laki-laki lainnya sebagai saudara (karena Allah), maka hendaklah dia menanyakan kepadanya tentang namanya dan nama ayahnya serta dari kabilah mana dia berasal, karena sesungguhnya hal tersebut lebih mempererat kecintaan’.”

Dhaif: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 26633; Ibnu Sa’ad 6/392; Abd bin Humaid no. 435; al-Bukhari dalam at-Tarikh 8/314; at-Tirmidzi, Kitab az-Zuhd, Bab al-Hubb fillah, 4/599, no. 2392; ath-Thabrani 22/244, no. 637; Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 6/181; Ibnu al-Atsir dalam Usd al-Ghabah 5/510: dari jalur Hatim bin Ismail, dari Imran al-Qashir, Sa’id bin Sulaiman telah mengabarkan kepadaku, dari Yazid bin Na’amah dengan hadits tersebut.
Dan hadits ini dhaif sekali, ia mempunyai dua illat:

Pertama, mursal, sebagaimana diisyaratkan oleh at-Tirmidzi sebagaimana kamu lihat. Pendapat tersebut dipegang oleh mayoritas ahli ilmu dan inilah pendapat yang benar, insya Allah.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits gharib” kami tidak mengetahuinya kecuali dengan jalur sanad ini”. Dia berkata, “Dan kami tidak mengetahui Yazid bin Na’amah mempunyai penerimaan hadits dengan mendengar (sima’) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam“, dia juga berkata, “Dan diriwayatkan dari Ibnu Umar hadits semisal ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dhaif sekali: Diriwayatkan oleh Tammam dalam al-Fawa`id no. 1725-adh-Dha’ifah; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab no. 9023: dari jalur Maslimah bin Ali al-Khusyani, dari Ubaidillah bin Umar, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, kemudian dia menyebutnya secara marfu’ dengan hadits semisalnya.

Hadits ini lemah disebabkan al-Khusyani, sesungguhnya dia seorang yang matruk. Dan riwayat seperti ini tidak layak menjadi syahid untuk hadits tersebut sebagaimana diketahui. Karena ia lebih dhaif darinya. Wallahu A’lam.

Dan sanadnya tidak shahih.” Saya berkata, “Dan status sahabat Yazid bin Na’amah telah diperselisihkan”. Abdurrahman bin Abu Hatim berkata, “Dia bukanlah termasuk golongan sahabat. Dia berkata, “Al-Bukhari menceritakan bahwa dia mempunyai status sahabat.” Adurrahman berkata, “Dan dia dipersalahkan”.

Al-Asqalani dalam at-Tahdzib 11/319 berkata, “Dalam perkataan Ibnu Abi Hatim bahwa penetapan al-Bukhari bahwa dia masih seorang sahabat adalah perlu dianalisa, karena at-Tirmidzi berkata dalam al-Ilal, “Saya bertanya kepada Muhammad bin Ismail tentang hadits ini?” Dia menjawab, “Ia hadits mursal.” Seolah-olah dia tidak menjadikan Yazid bin Na’amah termasuk golongan sahabat.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky