Telah dibahas pada pasal pertama dalam kitab ini, pemaparan tentang substansi do`a yang masyru`, yaitu: adab-adab berdo`a dan syarat-syaratnya, waktu, tempat, keadaan dan cara pelaksanaannya, serta point-point lain yang merupakan ringkasan dari nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah yang ada.

Sekarang, kita beralih kepada tashhih (koreksi, meluruskan) iba-dah do`a ini dari segala sesuatu yang telah menyusup kepadanya, adalah sebagai berikut:

Pertama

Dzikir Melalui Nyanyian 

Para ulama kaum muslimin telah sepakat (ijma`) mengharamkan nyanyian (lagu) beserta alat-alat musik yang mengiringinya, bahkan kesepakatan ini telah dinyatakan oleh banyak ulama, di antaranya: Ibnul Jauzi, Ibnu ash-Shalâh, Imam al-Qurthubi, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Hajar al-Haitami, dan masih banyak lagi para ulama sebelum dan sesudah mereka. Atas dasar ini, maka ada beberapa pengecualian tertentu, seperti nyanyian dan rebana bagi para wanita untuk i`lân (walimah) pernikahan, sya’ir peperangan, nyanyian safar, dan puisi celaan terhadap orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya sya’ir itu, yang baik adalah baik dan yang jelek adalah jelek, dan lain sebagainya dari apa yang sudah diketahui pada tempatnya. Lihat At-Tarâtîb al-Idâriyyah, (2/255, 299-300), yaitu dua bab penting pada awal penu-lisan sya’ir, dan anjuran menjaganya untuk dijadikan syahid (dalil) guna menjaga lisan Arab.

Dan sesungguhnya nyanyian selain yang dikecualikan, dan menabuh instrumen-instrumen selain ‘rebana’ pada momen yang telah dikecualikan adalah bentuk kemaksiatan dan kefasikan, dan pelakunya termasuk golongan orang-orang yang fasik. Berkaitan dengan masalah ini, telah dikarang banyak buku tersendiri dari dulu hingga kini. Inilah hukum umum tentang nyanyian (lagu) dan instrumen-instrumennya yang digunakan untuk tujuan permainan dan kesia-siaan.

Kemudian, para pelaku kebatilan dalam umat ini menjadikan nyanyian-nyanyian setan ini, berupa lagu beserta musik yang meng-iringinya sebagai sarana ibadah kepada Allah ta’ala di dalam berdzikir dan berdo`a. Lagu-lagu dan nyanyian mereka anggap sebagai bentuk qurbah (ibadah) yang dijadikan sebagai sarana taqarrub kepada Allah oleh para ahli dzikir. Mereka membumbui hal itu dengan berbagai ungkapan yang bermakna menyilaukan, seperti perkataan mereka: “Sesungguhnya lagu dan nyanyian bisa menambah kerinduan kepada Allah ta’ala, dan dapat menguatkan perasaan dan naluri, bahkan -menurut pengakuan mereka- hal itu tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang telah sampai pada tingkat hakikat.”

Para ulama kaum muslimin telah sepakat bahwa yang demikian ini termasuk bentuk pelanggaran yang paling jelek di dalam dzikir dan do`a, itu adalah bid’ah sesat dan perbuatan haram yang jelek, tidak boleh dijadikan wasilah beribadah oleh seorang muslim, ia termasuk fitnah, tindakan mengikuti hawa nafsu, merusak agama, menghalang-halangi dari dzikir dan do`a yang diajarkan Islam (masy-ru’), memusuhi Allah ta’ala terhadap apa yang telah Dia syariatkan bagi hamba-hamba-Nya, mendurhakai Rasul-Nya terhadap apa yang telah dia sampaikan melalui wahyu-Nya, dan merupakan tindakan melawan syariat-Nya yang suci.

Oleh karena itu, orang yang pertama-tama memunculkan benih bid`ah ini untuk pertama kali, adalah kaum zindik (sempalan). Merekalah yang melakukan dzikir dalam bentuk nyanyian, menden-dangkan sya’ir disertai dengan menabuh gendang, yang mereka namakan dengan “taghbir.” Imam Syafi’I rahimahullah (w. 204) mengatakan: “Aku keluar dari kota Baghdad, dan meninggalkan sesuatu di sana yang dimunculkan oleh kaum zindik yang mereka beri nama ‘taghbir’, yang dengannya mereka justeru menghalang-halangi orang-orang dari al-Qur’an.”

Ketika Imam Ahmad rahimahullah (w. 241) ditanya tentang hal ini, beliau berkata, “Itu adalah bid’ah yang dimunculkan.” Sementara itu guru beliau, Yazid bin Harun (w. 206), juga berkata, “Taghbir itu bid’ah sesat.”

Pada tahapan kedua keadaan dzikir dengan ‘taghbir’ ini berkembang menjadi berbagai macam nyanyian yang mereka beri nama ‘al-qaul’, dan pelakunya disebut ‘al-Qawwâl’. Ibnu Baththah rahimahullah. (w. 387) pernah ditanya tentang hal ini, lalu beliau menjawab dengan mengingkarinya dan bahwa hal semacam ini merupakan bid’ah yang menyesatkan.

Kemudian, pada tahapan ketiga, bid’ah ini menjadi nyanyian (lagu) yang disertai dengan tarian, seruling, siulan, dan tepukan tangan hingga alat-alat musik yang terdiri dari rebana dan alat musik milik kaum Yahudi yang bernama ‘kûbah’, (yaitu: genderang dan sejenis seruling).
Juga, beribadah dengan melantunkan sya’ir, qasidah (rajaz), dan menjadikannya sebagai bacaan wirid.

Cara orang-orang Nasrani di dalam nyanyian dan lagu ritualnya.
Cara orang-orang Yahudi pada saat membaca bacaan ritulnya dalam goyangan dan gerakan.

Pada tahapan yang paling buruk dan melanggar ini, para ulama sangat mengingkari para ahli bid’ah ini, dan memporak porandakan tipu muslihat mereka dengan menelorkan berbagai tulisan tersendiri dan fatwa-fatwa yang lurus, terutama Ibnul Jauzi rahimahullah di dalam kitabnya “Talbîs Iblîs”, hal. 222-264.

Dua Imam besar, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah mempunyai sikap yang terpuji dalam mengritik orang-orang yang terpedaya tersebut. Di antaranya melalui kitab “al-Istiqâmah” karya Syaikhul Islam, “al-Kalâm `alâ Mas’alat as-Simâ’”, kedudukan as-simâ’ di dalam kitab “Madârij as-Sâlikîn” (1/ 481-504), Bantahan keras terhadap as-simâ’ setan di dalam kitab “Ighâtsat al-Lahfân.” Ketiga kitab yang terakhir ini adalah karya Ibnul Qayyimrahimahullah, muridnya Ibnu Taimiyah rahimahullah, dan Alhamdulillah, ketiganya sudah dicetak dan tersebar luas.

Yang ingin kami katakan di sini adalah bahwa dzikir dan do`a dengan nyanyian, lantunan sya’ir, suara merdu, berbagai instrumen musik, tepukan tangan dan badan bergerak adalah bid’ah yang sangat keji dan amalan yang sangat jelek, termasuk jenis pelanggaran di dalam dzikir dan do`a yang paling keji. Maka, wajib bagi setiap pelakunya atau yang melakukan sebagiannya agar segera meninggalkannya, dan hendaknya ia tidak menjadikan dirinya sebagai tun-gangan bagi hawa nafsu dan setan. Di samping itu, wajib pula bagi orang yang melihat sesuatu darinya untuk mengingkarinya, serta wajib pula bagi orang yang diberi kesempatan oleh Allah menjadi pemimpin kaum muslimin agar mencegahnya, membimbing pelakunya dan membuatnya jera serta memberi pencerahan di dalam agamanya.

Cukup di sini saya akan menyebutkan apa yang telah merasuki kebanyakan ahli dzikir dan do`a yang bukan berasal dari para penganut ajaran tasawuf. Mereka bersama para sufi membuat sebuah bid’ah, namun mereka tidak merasa. Hal itu adalah sebagaimana berikut ini:

1. Bergoyang-goyang dan mengangguk-anggukkan kepala ketika membaca dzikir dan do`a, seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi.

2. Dzikir dan do`a dengan lagu dan paduan suara, seperti yang dila-kukan orang-orang Nasrani.

3. Bertepuk tangan sewaktu berdzikir dan berdo`a, seperti perbuatan orang-orang musyrik, dan ditiru oleh kalangan sufi yang sesat.

4. Dzikir dan do`a dengan suara keras dan teriakan, seperti dilaku-kan oleh kalangan sufi sesat.

5. Beribadah dengan melantunkan sya’ir, seperti yang dilakukan ka-langan sufi sesat. Dan berikut ini adalah penjelasannya:

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]