Seorang laki-laki dari daerah Azd Syanu’ah yang dikenal dengan Dlimad bin Tsa’labah al-Azdi menceritakan, dan ketika itu dia meruqyah (dirinya) karena terkena ganguan jin. Dia mendengar desas-desus tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang bodoh Mekah meyebarkan desas-desus bahwasanya Muhammad adalah seorang yang gila.

Dlimad bergumam dalam hatinya, “Andaikan aku datang kepada orang ini (Muhammad), siapa tahu Allah subhanahu wata’ala akan menyembuhkan penyakit itu melalui usahaku sendiri.” Maka akhirnya dia pun mendatangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dlimad berkata, “Hai Muhammad, sungguh aku melakukan ruqyah untuk mengobati penyakitku ini, dan sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala akan memberi kesembuhan melalui tangan siapa saja yang Dia kehendaki. Maka apakah engkau bersedia untuk meruqyahku?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda,
“Innal hamda lillah, nahmaduhu wanasta’inuhu, man yahdihillahu fala mudhilla lah, waman yudhlil fala hadiya lah. Wa asyhadu an la ilaha illallahu wahdahu la syarika lah, wa anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh. Amma ba’du.”

Dlimad merasa kagum dengan ucapan itu lalu berkata, “Ulangilah untukku kalimat-kalimat tersebut.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengulangi khutbahnya tersebut hingga tiga kali. Dlimad lalu berkata, ” Sungguh aku telah mendengarkan ucapan dukun, ucapan tukang sihir dan ucapan penyair. Namun aku sama sekali belum pernah mendengar kalimat-kalimat seperti yang engkau ucapkan. Maka ulurkanlah tanganmu, saya akan berbaiat kepadamu untuk masuk Islam.” Maka dia pun berbaiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya, “Apakah (juga baiat) untuk kaummu?” Dijawab oleh Dlimad, “Ya, aku berbaiat kepadamu untuk kaumku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim sariyah (sepasukan utusan) untuk datang kepada kaumnya.

Komandan pasukan berkata kepada anak buahnya, “Apakah ada sesuatu yang engkau peroleh dari mereka? Salah seorang dari mereka menjawab, “Ya, aku mendapatkan dari mereka tempat bejana untuk berwudhu.” Komandan tersebut lalu berkata, “Kembalikan bejana itu, karena mereka adalah kaumnya Dlimad.” (HR. Muslim, no.868)

Beberapa Faidah Kisah

  • Orang-orang Arab pada masa sebelum Islam telah meyakini adanya massul jin, yaitu gangguan jin (kesurupan). Mereka menyebutnya dengan ar-rih (angin). Dan setelah itu Islam datang menetapkan adanya hal itu, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,
    “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS. Al-Baqarah:275)

  • Sebagian orang Arab ada yang meruqyah (menjampi-jampi) orang yang terkena gangguan jin. Mereka bisa jadi minta bantuan kepada jin pula, sehingga Islam melarang minta pertolongan model seperti ini. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
    “Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. 72:6)

    Maksudnya yakni jin itu akan menambahkan terhadap orang-orang kafir tersebut rasa takut, dosa dan sikap melampaui batas. Dan sebagian ummat Islam ada yang beristi’anah (minta bantuan) kepada jin untuk mengobati orang yang sedang sakit, atau untuk melepaskan pengaruh sihir. Padahal ini termasuk syirik akbar yang dapat menggugurkan amalan, hanya menambah kekufuran dan sikap melampaui batas. Hendaknya seorang muslim mangobatinya dengan mu’awwidzatain (dua surat untuk perlindungan diri, yaitu al-Falaq dan an-Nas).

    Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berlindung dari ‘ain (mata jahat) jin dan mata jahat manusia. Setelah turun dua surat tersebut, maka beliau beralih kepada keduanya dan meninggalkan yang lain. (HR at-Tirmidzi, dan berkata hadits hasan shahih).

    Diriwayatkan pula oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mengeluh sakit maka beliau membaca mu’awwidzatain (al-Falaq dan an-Nas)untuk dirinya sendiri, lalu meniupkannya. Apabila sakitnya agak parah maka aku yang membacakan mu’wwidzat itu, lalu aku usapkan dengan tangan beliau sendiri ke bagian yang sakit, karena mengharap berkah dari tangan beliau itu.” (HR. al-Bukhari)

  • Sebagian orang Arab pada masa jahilyah ada yang berkeyakinan bahwa yang memberikan kesembuhan hanya Allah subhanahu wata’ala saja. Namun sangat disayangkan bahwa sebagian kaum muslimin ada yang berkeyakinan bahwa Rasul, wali, orang shalih dapat memberikan kesembuhan dari berbagai penyakit.

    Ada seorang yang menulis di sebuah majalah, “Dalam berbagai riwayat yang amat banyak, diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disifati sebagai “rahmatan muhdah” rahmat yang dihadiahkan (untuk kemanusiaan). Mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, menyembuhkan hati, penglihatan, dan badan dari segala penyakit hissiyah (jasmani) dan maknawiyah (rohani) secara bersamaan.”

    Bantahan atas pernyataan ini terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Al-Qur’an telah menyebutkan ucapan nabi Ibrahim ’alaihissalam, artinya, “Dan jika aku sakit maka Dia (Allah) yang menyembuhkanku.” Sedangkan di dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa,
    “Ya Allah Rabb manusia, hilangkanlah penyakit, sembuhkanlah, hanya Engkau yang menyembuhkan, tidak ada kesembuhan (obat) kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan bekas (sakit) sama sekali.”

  • Khutbatul haajah yang didengar oleh Dlimad telah membuatnya tertarik dan dia meminta agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengulanginya lagi, lalu dia pun berbaiat untuk masuk Islam dan juga berbaiat untuk kaumnya. Karena khutbah tersebut memuat pujian kepada Allah subhanahu wata’ala, isti’anah (memohon pertolongan) hanya kepada-Nya, dan bahwa yang berhak disembah hanya Dia saja.

Terjemah Teks Lengkap Khutbatul Haajah

Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, dan meminta ampun kepada-Nya. Dan kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa kami, dan dari keburukan-keburukan perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang bisa memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah saja, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”

“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah mengembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silatur rahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mena’ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.

Amma ba’du; Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad , dan seburuk-buruk perkara dalam agama adalah yang di ada-adakan, setiap yang diada-adakan (dalam urusan agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan. (HR. Muslim, an-Nasa’i dan selain keduanya)

Beberapa Faidah Khutbah

  • Khutbah ini diriwayatkan dari hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan itu apabila beliau berkhutbah,” sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan an-Nasa’i dan selain keduanya. Dan hal itu mencakup segala jenis khutbah, secara khusus khutbah Jum’at, yang nashnya terdapat di dalam riwayat Imam Muslim. Maka selayaknya para khatib menghidupkan sunnah ini.

  • Dari khutbah ini dapat diambil faidah bahwa ta’awwudz sebelum membaca ayat tidak diucapkan, ketika seseorang sedang dalam keadaan khutbah, berbicara, berceramah dan semisalnya. Membaca ta’awwudz hanya disyari’atkan pada saat akan membaca al-Qur’an secara khusus.

  • Firman Allah subhanahu wata’ala, ”Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,” menunjukkan bolehnya meminta dengan menyebut nama Allah subhanahu wata’ala. Sedangkan hadits yang menyebutkan ,”Tidak diminta dengan menyebut wajah Allah kecuali surga,” adalah dhaif (lemah).

  • Boleh meringkas bagian awal khutbah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam kisah di atas.

Sumber: Min Badai’ al-Qashash an-Nabawi ash-Shahih, Muhammad bin Jamil Zainu. (Kholif)