Tanya :

Aapakah hukum bercampurnya kaum laki-laki dan kaum wanita, dalam diskusi dan tukar pikiran dalam masalah agama ?

Jawab :

Bercampurnya kaum laki-laki dengan kaum perempuan adalah sebagian dari hal-hal yang sangat berbahaya, dan dalam hal ini Syaikh Muhammad bin Ibrahim telah mengeluarkan suatu fatwa yang bunyinya sebagai berikut :

Pertama : bercampurnya kaum perempuan dengan muhrimnya dari kaum laki-laki ( orang-orang yang tidak boleh ia nikahkan selama-lamanya, seperti ayah, saudara seibu, atau seibu-sebapak dll. pent ) adalah hal yang tidak ada perselisihan dalam kebolehannya.

Kedua : bercampurnya kaum perempuan dengan kaum laki-laki asing ( kaum laki-laki yang boleh dia menikah dengannya. Pent. ) untuk maksud yang diharamkan syari’at adalah tidak ada perbedaan dalam keharamannya.

Ketiga : bercampurnya kaum wanita dengan kaum laki-laki di tempat-tempat menuntut ilmu, toko-toko, kantor-kantor, rumah sakit, tempat-tempat pesta dan lain sebagainya, maka penanya menyangka pertama kali bahwa hal yang sedemikian itu tidak akan menimbulkan fitnah dari dua jenis manusia itu, oleh karena itu untuk menjelaskan hakekat permasalahan ini, kami akan menjawab pertanyaan di atas secara global dan terperinci :

Adapun secara global, maka Allah telah menciptakan kaum lelaki atas kekuatan dan kecondongannya kepada kaum wanita, dan menciptakan kaum wanita berdasarkan kecondongannya kepada kaum laki-laki bersamaan dengan kelemahan dan kelembutannya, maka jika terjadi ikhthilath ( bercampur antara kaum laki-laki dan kaum wanita ) maka akan timbul sesuatu yang akan mengarahkan kepada akibat yang buruk, karena diri manusia selalu memerintahkan kepada hal yang buruk dan hawa nafsu dapat membuat orang buta dan tidak mau mendengar, sedang setan selalu memerintahkan kepada hal yang keji dan mungkar. Adapun jawaban secara rinci adalah sebagai berikut :

Syari’at Islam menghukumi sesuatu pekerjaan berdasarkan tujuan dan sarananya, dan sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu, sama hukumnya dengan hukum tujuan tersebut. Kaum wanita adalah tempat pemenuhan kebutuhan kaum laki-laki, dan

Syari’ telah menutup segala pintu yang mencapaikan kepada ketergantungan setiap kaum laki-laki dan kaum wanita dengan lainnya, hal yang sedemikian itu dapat dilihat dengan jelas dari dalil-dalil yang kami sebutkan dibawah ini : Allah berfirman : ( Dan wanita ( Zulaikha ) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata : ” marilah ke sini.” Yusuf berkata : ” aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan beruntung. Q.S.12 : 23. Dalil dari ayat ini adalah : bahwa ketika terjadi percampuran antara istri pembesar Mesir dan Nabi Yusuf shallallahu ‘alaihi wasallam tampak dari wanita itu apa yang terpendam dalam hatinya dan meminta kepada Yusuf shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengikuti hasratnya itu, namun rahmat Allah mendahuluinya lalu Allah memeliharanya dari ajakan wanita tersebut, sebagaimana Allah berfirman : ( Maka Tuhannya memperkenankan do’a Yusuf, dan Dia mengindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.) Q.S.12 : 34.

Dan demikian juga, jika terjadi percampuran antara kaum laki-laki dan kaum wanita, maka setiap dari dua jenis manusia ini akan memilih pasangan yang dimauinya dan mengeluarkan segala upaya untuk mencapai hal itu. Allah memerintahkan kaum laki-laki dan kaum wanita untuk menahan pandangannya, sebagaimana Allah firmankan : ( katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman agar menahan pandangan mereka ) Q.S.24: 30-31.

Pengertian ayat di atas bahwa Allah memerintahkan kaum mu’minin dan mu’minat untuk menahan pandangan mereka dan perintah wajib dilaksanakan, kemudian Allah menerangkan bahwa hal yang sedemikian itu lebih suci dan bersih untuk hamba-hambanya, dan Syari’ tidak memaafkan kecuali pandangan yang tiba-tiba, Hakim meriwayatkan dalam Mustadraknya dari Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya : hai Ali, jangan kamu ikuti penglihatan dengan penglihatan, bagi kamu penglihatan yang pertama dan penglihatan yang kedua bukan bagi kamu. ( maksudnya, penglihatan yang pertama yang tiba-tiba, tidak disengaja, maka yang sedemikian itu tidak dosa, dan penglihatan yang selanjutnya adalah berdosa. Pent. )

Hakim berkata : hadits ini shahih sesuai dengan syarat-syarat hadits muslim tapi dia tidak meriwayatkannya, dan hal ini disepakati oleh Dzahabi dalam kitab Talkhishnya, dan ada beberapa hadits yang semakna dengan hadits ini. Dan Allah memerintahkan menahan penglihatan karena melihat hal yang diharamkan adalah zina, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : kedua mata zinanya adalah penglihatan, perbuatan zina kedua telinga adalah mendengarkan, zina lisan adalah perkataan, zina tangan adalah tidakan dan zina kaki adalah melangkah. HR.Muttafatwa ‘alaih dan lafadz ini dikeluarkan oleh Muslim.

Penglihatan termasuk zina karena dengan penglihatan itu seseorang dapat menikmati kecantikan wanita dan meninggalkan bekas di hati yang melihatnya, setelah itu dia berusaha untuk melakukan perbuatan keji dengannya, oleh karena itu jika Syari’ melarang melihat karena penglihatan itu dapat menyeret kepada kerusakan, dan penglihatan itu pasti terjadi pada saat bercampur ( ikhthilath ), maka bercampur itu ( ikhthilath ) dilarang karena dia merupakan sarana yang menjerumuskan kepada hal-hal yang tidak terpuji, yaitu menikmati wanita dengan penglihatan dan berusaha untuk berbuat yang lebih jelek dari penglihatan itu sendiri. Dalil-dalil yang telah disebut terdahulu tentang bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, dan wajib menutupinya dari pandangan orang lain, karena membuka aurat itu atau sebagiannya akan menarik penglihatan kaum laki-laki, dan melihat kepadanya membuat hati tergantung dengannya, kemudian dia akan melakukan usaha-usaha untuk mencapai hasratnya itu, begitu juga dengan ikhthilath. ( ikhthilath akan menimbulkan hal yang sama. Pent. ) Allah berfirman : ( dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. )Q.S.24 : 31. Pengertian ayat ini bahwa Allah melarang kaum wanita memukulkan kaki mereka supaya tidak menjadi sebab didengarnya suara perhiasan itu oleh kaum laki-laki yang dapat membangkitkan syahwat kaum laki-laki kepada mereka, begitu juga ikhthilath dilarang karena dapat menimbulkan kerusakan. ( perbuatan zina. Pent. ) Allah berfirman : ( Dia mengetahui pandangan mata yang berkhianat, dan apa yang disembunyikan oleh hati ) Q.S. 40 : 19.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan ayat ini yaitu laki-laki yang masuk ke suatu rumah dan diantara mereka ada wanita yang cantik dan wanita itu lewat di hadapannya, jika penghuni rumah itu sedang lalai ( tidak memperhatikan laki-laki itu ) maka laki-laki itu melirik atau memandang wanita itu, dan jika mereka mengetahuinya ia buru-buru menahan pandangannya, dan jika penghuni rumah itu sedang lalai ( tidak memperhatikan laki-laki itu ) maka laki-laki itu melirik atau memandang wanita itu, dan jika mereka mengetahuinya ia buru-buru menahan pandangannya, dan Allah mengetahui apa yang ada di hati laki-laki tersebut, dan sungguh dia itu ingin jika dapat melihat kemaluan wanita itu dan mampu untuk mengusainya niscaya dia akan berzina dengannya. Ayat di atas mengandung pengertian bahwa mata yang suka mencuri pandang kepada hal yang tidak boleh dipandang oleh mata tersebut dari badan wanita, Allah menyipati mata tersebut dengan menyatakan bahwa mata itu adalah berkhianat, dan tentunya ikhthilath itu akan menyebabkan lebih besar dari pandangan itu sendiri. Bahwa Allah memerintahkan kaum wanita agar menetap di rumah mereka, Allah berfirman Q.S.33 : 33.

Pengertian ayat di atas bahwa Allah memerintahkan para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang suci, disucikan dan baik untuk selalu tetap di rumah-rumah mereka, dan perintah ini umum ( untuk seluruh umat. Pent.) kecuali ada dalil yang menunjukkan akan kekhususannya ( khusus untuk para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak ada dalil kekhususan itu. Pent ), oleh karena itu jika mereka diperintahkan untuk selalu berada di rumah kecuali ada kebutuhan yang memaksa mereka keluar rumah, maka bagaimana bisa dibenarkan pendapat yang membolehkan ikhthilath sebagaimana pertanyaan di atas ? padahal pada zaman sekarang ini banyak perempuan yang melampaui batas, menanggalkan pakaian kemaluan, terang-terangan menampakkan perhiasan dan muka mereka di hadapan kaum laki-laki asing ( bukan muhrimnya. Pent ) dan membuka aurat , dan sedikit sekali kesadaran beragama dari mereka yang bertanggungjawab mendidik kaum wanita ( suami, orangtua dll pent. ). Adapun dalil dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka kami hanya akan menyebutkan sepuluh saja(*) :

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ummu Humaid Istri Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anha, bahwa dia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata : Wahai Rasulullah ! sungguh aku suka shalat berjama’ah bersamamu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : sungguh aku mengetahui bahwa kamu suka shalat bersamaku, ( ketahuilah ) shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalat di masjid dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik dari shalatmu di masjidku ( masjid nabawi ), lalu perawi itu berkata : maka dia ( wanita itu ) memerintahkan maka dibangunlah sebuah tempat shalat di yang paling ujung dari rumahnya dan paling gelap. Dan dia shalat di tempat itu sampai meninggal. Dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : sungguh shalat wanita yang paling dicintai Allah adalah shalatnya di tempat yang paling gelap dari bagian rumahnya. Dan banyak hadits hadits lain yang semakna dengan dua hadits di atas yang menunjukkan bahwa shalat kaum wanita di rumahnya lebih utama dari shalat di masjid.

Pengertian hadits di atas : bahwa jika disyari’atkan bagi wanita shalat di rumah dan itu adalah yang lebih utama bahkan dari shalat di masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka bercampur di zaman sekarang harus dilarang dan hal itu lebih pantas lagi. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : sebaik-baik barisan kaum laki-laki adalah yang pertama, dan seburuk-buruknya adalah yang paling akhir, dan sebaik-baik barisan kaum wanita adalah yang paling akhir dan seburuk-buruknya adalah yang pertama. Tirmidzi berkata : hadits shahih.

Pengertian hadits di atas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kaum wanita jika datang ke masjid agar mereka terpisah dari kaum laki-laki kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa barisan pertama dari barisan kaum wanita adalah seburuk-buruk barisan dan barisan terakhir adalah sebaik baik barisan, yang sedemikian itu semata-mata karena jauhnya barisan terakhir dari kaum laki-laki, sehingga terhindar dari bercampur dengan mereka, melihat mereka dan keterkaitan hati ketika melihat gerak-gerik mereka dan mendengar perkataan mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencaci barisan yang pertama dari kaum wanita karena hal-hal di atas akan terjadi, dan menerangkan bahwa barisan terakhir dari kaum laki-laki jika shalat bersama kaum wanita adalah barisan yang paling buruk, karena mereka tidak mendapatkan keutamaan barisan pertama, dan karena dekatnya mereka dengan barisan kaum wanita yang mengganggu konsetrasi dan mungkin dapat merusak ibadah mereka, dan mengganggu niat dan kekhusyu’an mereka, oleh karena itu jika Syari’ mengingatkan akan terjadinya hal-hal yang sedemikian pada tempat-tempat ibadah, padalah tidak terjadi ikhthilath hanya saling berdekatan saja, maka bagaimana dengan ikhthilath itu sendiri.?

Muslim meriwayatkan dari Zainab istri Abdillah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami : jika seseorang di antara kalian menghadiri masjid, maka janganlah ia memakai wangi-wangian. Dan Abu Daud dan Ahmad dan Syafi’I meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : janganlah kalian menghalangi kaum wanita dari masjid-masjid Allah, tapi mereka hendaknya kelauar tanpa memakai sedikitpun wangi-wangian. Ibnu Daqiqil ‘Iid berkata : dalam hadits ini ada larangan memakai wangi-wangian bagi wanita yang hendak keluar pergi ke Masjid karena memakai wangi-wangian akan menggerakkan nafsu syahwat kaum laki-laki dan mungkin juga syahwat kaum wanita itu sendiri, dan Daqiqil ‘Iid berkata : semakna dengan wangi-wangian adalah pakaian yang indah, perhiasan dan penampilan yang menawan.

Ibnu Hajar berkata : demikian juga dengan ikhthilath dengan kaum laki-laki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : tidaklah aku meninggalkan setelahku suatu fitnah yang lebih bahaya bagi kaum laki-laki dari fitnah kaum wanita. HR. Bukhari dan Muslim. Pengertian hadits di atas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa kaum wanita adalah fitnah yang paling bahaya bagi kaum laki-laki, bagaimana jika berkumpul kaum wanita yang menimbulkan fitnah dengan kaum laki-laki yang bisa difitnah ? oleh karena itu, ikhthilath tidak boleh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Dunia manis dan indah, dan Allah telah menjadikan kamu penguasa di dalamnya dan Dia akan melihat bagaimana kamu bekerja, maka takutlah akan fitnah dunia dan fitnah wanita, karena fitnah yang pertama terjadi di bani Isra’il adalah pada kaum wanita. HR.Muslim. Pengertian hadits di atas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk hati-hati dengan fitnah kaum wanita dan perintah itu wajib dilaksanakan, bagaimana kita dapat melaksanakan perintah itu jika terjadi ikhthilath ? hal ini tidak mungkin oleh karena itu haram hukumnya ikhthilath. Bagi mereka yang merenungkan dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa pendapat yang mengatakan bahwa bercampur ( ikhthilath ) tidak akan menimbulkan fitnah itu hanyalah dengan pemahaman beberapa orang, kalau tidak demikian ( hanya pemahaman beberapa orang ), sungguh ikhthilath itu memang benar-benar dapat menimbulkan fitnah, oleh karena itu

Syari’ melarangnya untuk mengubur kerusakan dari akarnya. Tidak termasuk yang dilarang, sesuatu ( ikhthilath ) yang sangat terpaksa, yang terjadi pada urusan ibadah seperti yang terjadi di sekitar Ka’bah dan Masjid Madinah, dan kami memohon kepada Allah agar membimbing orang-orang yang sesat dari kaum muslimin, dan menambah hidayat bagi mereka yang telah mendapatkan petunjuk, dan memberikan taufiq kepada pemimpin-pemimpin mereka untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran, sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Dekat lagi Maha mengabulkan.

Yang dimaksud dengan Syari’ adalah pembuat syari’at yaitu Allah Ta’ala atau Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. (*) Penerjemah hanya menerjemahkan 5 hadits yang ada dalam fatwa. Lajnah Daimah, buku Fatawa Jami’ah,Jld. III. Hlm. 1089.