Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

اَلْعَيْنُ حَقٌّ

“Ain (pengaruh jahat pada mata, karena dengki) adalah benar adanya.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab ath-Thibb,Bab al-Ainu Haqqun, 10/203, no, 5740; dan Muslim, Kitab as-Salam, Bab ath-Thibb wa al-Maradh wa ar-Ruqa, 4/1719, no. 2187.

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, (Al-Bukhari, Kitab ath-Thibb, Bab Ruqiyyah al-Ain, 10/199, no. 5739; dan Muslim, Kitab as-Salam, Bab Istihbab ar-Ruqyah, 4/1725, no. 2197.dari Ummu Salamah radiyallahu ‘anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم رَأَى فِي بَيْتِهَا جَارِيَةً فِي وَجْهِهَا سَفْعَةٌ، فَقَالَ: اِسْتَرْقُوْا لَهَا فَإِنَّ بِهَا النَّظْرَةَ.

“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat di rumah Ummu Salamah seorang budak perempuan yang di wajahnya terdapat saf’ah, maka beliau bersabda, ‘Carilah orang yang bisa meruqyahnya karena di wajahnya terdapat ain (pengaruh jahat pada mata karena dengki)’.”

اِسْتَرْقُوْا لَهَا bermakna carilah orang yang bisa meruqyahnya dengan ruqyah yang disyariatkan. Ar-Ruqyah bermakna ucapan yang digunakan untuk berobat dari segala penyakit.

Saya berkata, “السَّفْعَةُ” bermakna berubah dan pucat pasi, “النَّظْرَةُ” bermakna “الْعَيْنُ” (penyakit ‘Ain). Dikatakan, “صَبِيٌّ مَنْظُوْرٌ” maksudnya “أَصَابَتْهُ الْعَيْنُ” (seorang anak terkena ‘ain).

Dan kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, Kitab as-Salam, Bab ath-Thibb wa al-Maradh wa ar-Ruqa, 4/1719, no. 2188. dari Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْعَيْنُ حَقٌّ، وَلَوْ كَانَ شَيْءٌ سَابَقَ الْقَدَرَ، سَبَقَتْهُ الْعَيْنُ، وَإِذَا اسْتُغْسِلْتُمْ، فَاغْسِلُوْا.

“‘Ain (pengaruh jahat pada mata, karena dengki orang) adalah benar adanya. Kalau seandainya ada sesuatu yang mampu mendahului takdir, niscaya ‘ain adalah yang mendahuluinya. Dan apabila kalian diminta untuk membasuh, maka basuhlah.”

Saya berkata, Para ulama berkata, “اْلإِسْتِغْسَالُ” adalah apabila dikatakan untuk orang yang menimpakan ‘ain (yaitu yang melihat), ‘Basuhlah sesuatu dalam sarungmu yang bersentuhan langsung dengan kulit.’ Kemudian disiramkan kepada orang yang terkena ‘ain, yaitu orang yang dilihat.”

Dan hal ini merupakan sifat mandi secara singkat, karena di dalamnya harus ada wudhu, sebagaimana datang pada sejumlah hadits lainnya, dan di antaranya adalah hadits berikutnya.

Dan terdapat riwayat shahih dari Aisyah radiyallahu ‘anha, dia berkata,

كَانَ يُؤْمَرُ الْعَائِنُ أَنْ يَتَوَضَّأَ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ مِنْهُ الْمَعِيْنُ.

“Dahulu al-‘A`in (orang yang menimpakan ‘Ain) diperintahkan untuk berwudhu kemudian al-Ma’in (yang terkena ‘ain) mandi dari (sisa air)nya.”

Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Kitab ath-Thibb, Bab Ma Ja`a fi al-Ain, 2/401, no. 3880; dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab no. 11224: dari jalur al-A’masy, dari Ibrahim, dari al-Aswad, dari Aisyah dengan hadits tersebut.

Dan sanad ini shahih berdasarkan syarat asy-Syaikhain, sebagaimana yang dikatakan oleh an-Nawawi, dan ia mempunyai hukum marfu’. Dan terdapat riwayat shahih (tsabit) juga pada Ibnu Abi Syaibah, no. 23586: dari perbuatan Aisyah radiyallahu ‘anha.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan isnad yang shahih berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim.

Kami meriwayatkan dalam Kitab at-Tirmidzi, an-Nasa`i dan Ibnu Majah, dari Abu Sa’id al-Khudzri radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَتَعَوَّذُ مِنَ الْجَانِّ وَعَيْنِ اْلإِنْسَانِ، حَتَّى نَزَلَتِ الْمُعَوِّذَتَانِ، فَلَمَّا نَزَلَتَا، أَخَذَ بِهِمَا، وَتَرَكَ مَا سِوَاهُمَا.

“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berta’awwudz kepada Allah dari gangguan setan dan ‘ain (pengaruh jahat melalui mata karena dengki yang dilakukan) manusia hingga turun surat an-Nas dan al-Falaq. Maka ketika turun kedua surat tersebut beliau menjadikan keduanya sebagai ta’awwudz dan meninggalkan selain keduanya.”

Hasan Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Kitab ath-Thibb, Bab Man Istarqa Min al-Ain, 2/1161, no. 3511; at-Tirmidzi, Kitab ath-Thibb, Bab ar-Ruqyah bi al-Mu’awwidzatain, 4/395, no. 2085; an-Nasa`i, Kitab al-Isti’adzah, Bab al-Isti’adzah min Ain al-Jann, 8/271, no. 5509; dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 2562: dari dua jalur, dari al-Jariri, dari Abu Nadhrah, dari Abu Sa’id dengan hadits tersebut.

Dan sanad ini para perawinya perawi tsiqah milik Muslim, kalau bukan karena al-Jariri menjadi tua sehingga hafalannya rusak dan berubah. Makna hadits ini diperkuat oleh syahid Uqbah bin Amir pada Abu Dawud no. 1463; an-Nasa`i 8/251, dengan sanad yang shahih. Dan at-Tirmidzi telah menghasankan hadits kita ini, an-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim dan al-Asqalani telah menyepakatinya dan al-Albani menshahihkannya.

Perhatian: Ucapan “Beliau menjadikan keduanya sebagai ta’awwudz dan meninggalkan selain keduanya,” kata al-Hafizh dalam al-Fath 10/195, “Dan hal ini tidak menunjukkan pada larangan untuk berta’awwudz dengan selain dua surat ini, namun hanya sebatas menunjukkan lebih utama, apalagi dengan adanya ketetapan berta’awwudz dengan selain keduanya. Akan tetapi mencukupkan berta’awwudz dengan keduanya karena apa yang dikandungnya berupa jawami’ al-isti’adzah (perlindungan yang mencakup banyak hal) dari segala yang dibenci secara global ataupun terperinci.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.”

Dan kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, hadits Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم كَانَ يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ: أُعِيْذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ. وَيَقُوْلُ: إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ بِهِمَا إِسْمَاعِيْلَ وَإِسْحَاقَ.

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu melindungi al-Hasan dan al-Husain dengan berta’awwudz, ‘Saya meminta perlindungan untuk kalian berdua kepada Allah dengan kalimat Allah yang sempurna dari setiap gangguan setan, binatang melata yang berbisa serta setiap ain (pengaruh jahat orang dengki) yang menyakitkan.’ Dan beliau bersabda, ‘Sesungguhnya bapak kalian (Ibrahim) berta’awwudz untuk Ismail dan Ishaq dengan kedua kalimat tersebut’.” Hadits ini telah dikemukakan, telah diterangkan makna dan takhrijnya pada no. 410.

Dan kami meriwayatkan dalam Kitab Ibn as-Sunni, dari Sa’id bin Hakim radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم إِذَا خَافَ أَنْ يُصِيْبَ شَيْئًا بِعَيْنِهِ، قَالَ: اللّهُمَّ بَارِكْ فِيْهِ، وَلاَ تَضُرَّهُ.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila takut mendapatkan sesuatu karena hasad, maka beliau berdoa, ‘Ya Allah berilah berkah padanya dan janganlah Engkau memudharatkannya’.”

Dhaif Sekali: Diriwayatkan oleh Ibn as-Sunni, no. 208; Muslim bin Muadz telah menceritakan kepadaku, Abd al-Hamid bin Muhammad al-Harrani telah menceritakan kepada kami, Utsman bin Abdurrahman telah menceritakan kepada kami, dari Abu Razin, saya mendengar Hizam bin Hakim bin Hizam dengan hadits tersebut.

Dan sanad ini gelap, penuh dengan rentetan rawi-rawi yang majhul. Muslim bin Mu’adz, saya tidak mendapatkan biografinya, dan Utsman bin Abdurrahman jujur pada dirinya sendiri, akan tetapi banyak riwayatnya dari orang-orang yang dhaif dan majhul, maka dia dhaif karenanya. Abu Razin ini adalah salah seorang dari rawi-rawi majhul yang diriwayatkan haditsnya oleh utsman tersebut. Dan sesungguhnya saya belum menemukan namanya Abu Razin pada generasi ini, kecuali kalau karena salah ketik dari Abu Ruzaiq, dan dia seorang Madani, maka pada waktu itu dia seorang yang majhul.

dan Hizam juga majhul, kemudian dia termasuk golongan tabi’in, maka haditsnya mursal. Dan telah tertulis pada an-Nawawi, “Sa’id bin Hakim radiyallahu ‘anhu“. dan saya tidak menduganya kecuali salah ketik, karena ia tidak tercantum dalam naskah-naskah Ibn as-Sunni yang ada di hadapanku sekarang, dan jika dia terjaga kebenarannya, maka Sa’id ini adalah seorang yang tsiqah, namun dia bukan seorang sahabat sebagaimana mereka telah berpraduga salah terhadap perkataannya. Bahkan dia termasuk pengikut tabi’in, sehingga haditsnya mu’dhal. Hadits tersebut diawali oleh Ibnu Taimiyah dengan perkataan yang menunjukkan kedhaifannya. Al-Albani mendhaifkannya, padahal ia lebih rendah dari itu.

Dan kami meriwayatkan di dalamnya, dari Anas radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ رَأَى شَيْئًا فَأَعْجَبَهُ فَقَالَ مَا شَاءَ اللهُ لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، لَمْ يَضُرَّهُ.

“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang membuatnya kagum (takjub) lalu dia mengucapkan, ‘Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah,’ niscaya tidak ada sesuatupun yang memudharatkannya.”

Dhaif: Diriwayatkan oleh Ibn as-Sunni, no. 207; Ibnu Adi 3/1171; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 4370 secara mu’allaq: dari jalur Hajjaj bin Nushair, Abu Bakar al-Hudzali telah menceritakan kepada kami, dari Tsumamah bin Abdullah, dari Anas dengan hadits tersebut.

Dan sanad ini sangat parah, Hajjaj bin Nushair adalah dhaif, Abu Bakar al-Hudzali adalah ditinggalkan (matruk), dan hadits tersebut dimunculkan Ibnu Taimiyah dengan ungkapan yang mendhaifkan. Al-Albani berkata, “Isnadnya dhaif sekali.” Ya, telah muncul dari jalur yang lain dari Anas dengan hadits semisalnya. Akan tetapi ia juga dhaif. Saya telah memerincikan pembahasannya pada no. 395. Maka lihatlah jika kamu menginginkan.

Dan kami meriwayatkan di dalamnya, dari Sahal bin Hunaif radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يُعْجِبُهُ فِي نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ، فَلْيُبَرِّكْ عَلَيْهِِ فَإِنَّ الْعَيْنَ حَقٌّ.

‘Apabila salah seorang di antara kalian melihat sesuatu yang membuatnya kagum (takjub) pada dirinya atau hartanya, maka hendaklah dia mendoakan agar keberkahan terlimpahkan padanya, karena ‘ain (pengaruh jahat karena kedengkian orang) adalah benar adanya.”

Shahih: Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa`22/938 dan 939; Abdurrazaq, no. 19766; Ibnu Abi Syaibah, no. 23585; Ahmad 3/486; Ibnu Majah, kitab ath-Thibb, Bab al-Ain, 2/1160, no. 3509; an-Nasa`i dalam al-Yaum wa al-Lailah, no. 208 dan 209; Ibnu Hibban, no. 6105 dan 6106; ath-Thabrani 6/78, no. 5574, 5575, 5578, 5580, 5581, dan 5582; Ibn as-Sunni, no. 205; al-Baihaqi 9/351 dan 352; dan al-Baghawi, no. 3245: dari berbagai jalur, dari Abu Umamah bin Sahal bin Hunaif, (dari ayahnya), maka dia menyebutkan hadits secara marfu’ dengan lafazh ini dan semisal ini dalam suatu kisah.

Dan hadits ini mempunyai lebih dari satu sanad yang shahih, dan sebagian isnadnya berdasarkan syarat asy-Syaikhain, akan tetapi ia mempunyai illat yaitu perselisihan mereka terhadap kemaushulan dan kemursalannya, akan tetapi illat seperti ini tidak membuatnya cacat sebagaimana yang sering saya kemukakan pada sejumlah tempat, karena hukumnya tetap maushul selama sanadnya shahih, dan itulah yang terjadi di sini. Oleh karena itu Ibnu Hibban menshahihkan hadits. Al-Asqalani dan al-Albani menyepakatinya.

Dan kami meriwayatkan di dalamnya, dari Amir bin Rabi’ah radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ وَأَعْحَبَهُ مَا يُعْجِبُهُ، فَلْيَدْعُ بِاْلبَرَكَةِ.

‘Apabila salah seorang di antara kalian melihat sesuatu pada dirinya dan hartanya lalu sesuatu membuatnya kagum, maka hendaklah dia mendoakan agar keberkahan (terlimpahkan kepadanya)’.”
Hasan Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, no. 23584; Ahmad 3/447; Ibnu Majah, Ibid., 2/1159, no. 3506, secara ringkas; an-Nasa`i dalam al-Yaum wa al-Lailah, no. 211 dan 2041; Ibn as-Sunni, no. 206; dan al-Hakim 4/215: dari dua jalur sanad, dari Abdullah bin Isa, dari Umayyah bin Hind, dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya dengan hadits tersebut. Maka dia menyebutkannya secara marfu’ dalam susunan kisah itu sendiri yang telah dikemukakan sebelumnya.

Dan sanad ini rawinya tsiqah kecuali Umayyah bin Hind, di mana Ibnu Hibban telah mentsiqahkannya sendiran. Dan dua orang tsiqah meriwayatkan darinya, maka orang semisalnya adalah haditsnya tidak mengapa (la ba’sa), atau minimal dia dapat diterima dalam syawahid. Walaupun demikian hadits ini telah muncul dari jalur yang lain, maka an-Nasa`i dalam al-Yaum wa al-Lailah, no. 210; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 6/81, no. 5579, telah meriwayatkannya dari dua jalur yang salah satunya menguatkan yang lain, dari az-Zuhri, dari Abu Umamah bin Sahal bin Hunaif, dari amir bin Rabi’ah dengan hadits tersebut. Dan sanad ini hasan Insya Allah. Dan hadits ini shahih dengan terkumpulnya dua jalur sanadnya, apabila tidak demikian, maka berdasarkan syahidnya yang terdahulu, karena dia meriwayatkan kisah itu sendiri.

Dan al-Imam Abu Muhammad al-Qadhi Husain rahimahullah dari golongan sahabat kami, menyebutkan dalam kitabnya at-Ta’liq fi al-Madzhab, dia berkata, “Sebagian para Nabi semoga shalawat dan salamNya terlimpah kepada mereka semua- melihat kaumnya pada suatu ketika, maka mereka melihat bahwa umatnya banyak, dan itu membuat mereka takjub, kemudian meninggallah dalam satu waktu tujuh puluh ribu orang, maka Allah mewahyukan kepadanya, ‘Sesungguhnya kamu telah menolong mereka, kalau seandainya kamu ketika membantu mereka, kamu membentengi mereka, niscaya mereka tidak akan celaka.’ Sang Nabi itu menjawab, ‘Dengan apa saya akan membentengi mereka?’ maka Allah memberikan wahyu kepadanya, ‘Ucapkanlah, saya membentengimu dengan Dzat Yang Mahahidup dan Mengatur terus menerus yang tidak akan mati selamanya. Dan saya akan menolak keburukan dari kalian dengan ucapan, ‘Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung’.”

Semoga Allah merahmati dan mengampuni Al-Imam an-Nawawi. Dia lebih tepat tidak menyebutkan riwayat mu’allaq yang sama sekali tidak dapat dipegang. Dan puncak yang dicapai riwayat tersebut adalah berasal dari Israiliyyat yang tidak bisa dibenarkan dan disalahkan, dan tidak berFa`idah pada hukum syar’i. Dia mencukupkan diri pada hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq, no. 9751; Ibnu Abi Syaibah, no. 29499; Ahmad 4/332-334, 6/16; at-Tirmidzi, Kitab at-Tafsir, Bab Wa Min Surah al-Buruj, 5/437, no. 3340; an-Nasa`i dalam al-Yaum wa al-Lailah, no. 619; Ibnu Hibban, no. 1975; ath-Thabrani, no. 7318 dan 7319; dan Ibn as-Sunni, no. 117: dari jalur Abdurrahman bin Abi Laila, dari Shuhaib radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِذَا صَلَّى هَمَّسَ شَيْئًا لاَ نَفْهَمُهُ وَلاَ يُحَدِّثُنَا بِهِ. قَالَ: فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: فَطَنْتُمْ لِيْ؟ قَالَ قاَئِلٌ: نَعَمْ. قَالَ: فَإِنِّيْ قَدْ ذَكَرْتُ نَبِيًّا مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ، أُعْطِيَ جُنُوْدًا مِنْ قَوْمِهِ فَقَالَ: مَنْ يُكَافِئُ هؤُلاَءِ؟ (أَوْ: مَنْ يَقُوْمُ لِهؤُلاَءِ؟ أَوْ كَلِمَةً شَبِيْهَةً بِهذِهِ. شَكَّ سُلَيْمَانُ) قَالَ: فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ: اِخْتَرْ لِقَوْمِكَ بَيْنَ إِحْدَى ثَلاَثٍ: إِمَّا أَنْ أُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ، أَوِ الْجُوْعَ أَوِ الْمَوْتَ. قَالَ: فَاسْتَشَارَ قَوْمَهُ فِي ذلِكَ فَقَالُوْا: أَنْتَ نَبِيُّ اللهِ نَكِلُ ذلِكَ إِلَيْكَ فَخِرْ لَنَا. قَالَ: فَقَامَ إِلَى صَلاَتِهِ. قَالَ: وَكَانُوْا يَفْزَعُوْنَ إِذَا فُزِعُوْا إِلَى الصَّلاَةِ. قَالَ: فَصَلَّى. قَالَ: أَمَّا عَدُوٌّ مِنْ غَيْرِهِمْ؛ فَلاَ، أَوِ الْجُوْعُ؛ فَلاَ، وَلكِنَّهُ الْمَوْتُ. قَالَ: فَسَلَّطَ عَلَيْهِمُ الْمَوْتُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَمَاتَ مِنْهُمْ سَبْعُوْنَ أَلْفًا. فَهَمْسِي الَّذِيْ تَرَوْنَ أَنِّيْ أَقُوْلُ: اَللّهُمَّ يَا رَبِّ، بِكَ أُقَاتِلُ، وَبِكَ أُصَاوِلُ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.

“Rasulullah[Shallallahu ‘alaihi wasallam] apabila shalat, maka dia mengucapkan (suatu doa) pelan yang mana kami tidak memahaminya, dan beliau tidak menceritakannya kepada kami. Perawi berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apakah kamu memahamiku?’ Dia menjawab, ‘Ya’. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya aku teringat tentang kejadian yang dialami salah seorang nabi, yang mana dia diberi tentara dari kalangan umatnya, kemudian Nabi itu berkata, ‘Siapa yang mampu menandingi mereka? (atau siapa yang mampu melawan mereka? atau kalimat semisal ini, Sulaiman ragu).’ Nabi bersabda, ‘Maka Allah mewahyukan kepadanya, ‘Pilihlah salah satu dari tiga pilihan untuk umatmu; Aku membuat mereka dikalahkan oleh musuh mereka, atau kelaparan, atau kematian.’ Lalu dia bermusyawarah dengan umatnya membahas hal tersebut. Maka mereka berkata, ‘Kamu adalah Nabi Allah, kami menyerahkan keputusan tersebut kepadamu, pilihkanlah keputusan untuk kami.’ Beliau bersabda, ‘Lalu Nabi tersebut melakukan shalat’. Beliau bersabda lagi, ‘Mereka ketakutan, apabila ketakutan mereka melakukan shalat.’ Beliau bersabda, ‘Maka Nabi tersebut shalat lalu berkata, ‘Adapun bila dikalahkan oleh musuh maka bukanlah pilihan, lapar juga bukan pilihan, akan tetapi pilihannya adalah kematian.’ Beliau bersabda, ‘Maka mereka ditimpakan kematian, tujuh puluh ribu meninggal selama tiga hari. Maka ucapanku yang pelan yang mana kamu melihatnya adalah doaku, ‘Wahai Allah, wahai Rabbku, denganMu aku berperang, denganmu aku menye-rang, tiada daya dan kekuatan melainkan denganMu’.” Hadits shahih. Al-asqalani telah menshahihkan sebagian isnadnya berdasarkan syarat Muslim.

Pengomentar berkata tentang al-Qadhi, “Kebiasaan al-Qadhi Husain apabila melihat kepada sahabatnya, lalu sifat baik dan kondisi mereka yang bagus membuatnya takjub, maka dia membentengi mereka dengan apa yang disebutkan ini. Wallahu a’lam.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky