Pasal: Diharamkan mengucapkan bagi seorang penguasa dan makhluk yang lainnya dengan sebutan Syahansyah, dengan pengharaman yang tegas karena maknanya adalah raja diraja dan tidak seorang pun yang disifati demikian selain Allah Subhanahu waTa`ala.

(1140) Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

إِنَّ أَخْنَعَ اسْمٍ عِنْدَ اللهِ رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ اْلأَمْلاَكِ.

“Sesungguhnya sejelek-jeleknya nama di sisi Allah adalah seorang laki-laki yang menamakan dirinya sebagai raja diraja.

Dan telah kami kemukakan penjelasan ini pada Kitab nama-nama, dan bahwa Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata, “Malikul Amlak semisal Syahansyah.

Pasal: Tentang lafazh as-Sayyid: Ketahuilah bahwa kata as-Sayyid (tuan) diberikan kepada orang yang melebihi kaumnya dan kadar kemampuannya ada di atas mereka. Kata tersebut juga diberikan kepada pemimpin dan orang yang mulia. As-Sayyid juga disandangkan kepada orang yang sabar yang mampu mengalahkan amarahnya. As-Sayyid juga disandangkan kepada dermawan, raja, dan juga suami. Dan telah muncul hadits-hadits yang banyak tentang pemberian nama As-Sayyid pada Ahli Ilmu.

(1141) Di antaranya apa yang kami riwayatkan dalam Shahih al-Bukhari Kitab ash-Shulh, Bab Qaulu an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam li al-Hasan, 5/306, no. 2704, dari Abu Bakrah radiyallahu ‘anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم صَعِدَ بِالْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ رضي الله عنه الْمِنْبَرَ، فَقَالَ: إِنَّ ابْنِيْ هذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ عز و جل أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ.

“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam naik ke mimbar bersama al-Hasan bin Ali radiyallahu ‘anhu, kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid. Boleh jadi dengannya Allah ‘azza wa jalla akan mendamaikan antara dua kelompok Muslimin’.”

(1142) Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Sa’id al-Khudri radiyallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kaum Anshar ketika menyambut Sa’ad bin Muadz radiyallahu ‘anhu,

قُوْمُوْا إِلَى سَيِّدِكُمْ (أَوْ: خَيْرِكُمْ). كَذَا فِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ: سَيِّدِكُمْ أَوْ خَيْرِكُمْ، وَفِي بَعْضِهَا: سَيِّدِكُمْ، بِغَيْرِ شَكٍّ.

“Berdirilah kalian menuju sayyid kalian (atau yang terbaik dari kalian).” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Jihad, Bab Idza Nazala al-Aduwwu ala Hukmi Rajulin, 6/165, no. 3043; dan Muslim, Kitab al-Jihad, Bab Jawaz qital Man Naqadha al-Ahda, 3/1388, no. 1768. Demikianlah dalam beberapa riwayat, “Sayyid kalian atau yang terbaik dari kalian.” Dan pada riwayat yang lain, “Sayyid kalian,” tanpa ada keraguan.”

(1143) Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim,Kitab al-Li’an, 2/1135, no. 1498 dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwa Sa’ad bin Ubadah radiyallahu ‘anhu bertanya,

يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَجِدُ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلاً، أَيَقْتُلُهُ؟… اْلحَدِيْثَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: اُنْظُرُوْا إِلَى مَا يَقُوْلُ سَيِّدُكُمْ.

“Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu bila seorang laki-laki mendapatkan laki-laki lain bersama istrinya, apakah dia (boleh) membunuhnya?…”Maka Rasulullah menjawab, “Lihatlah kepada apa yang diucapkan oleh sayyid kalian.

Sedangkan hadits yang datang dalam pelarangan penyebutan as-Sayyid:

(1144) Hadits yang kami riwayatkan dengan isnad yang shahih dalam Sunan Abu Dawud, dari Buraidah radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَقُوْلُوْا لِلْمُنَافِقِ سَيِّدٌ، فَإِنَّهُ إِنْ يَكُ سَيِّدًا، فَقَدْ أَسْخَطْتُمْ رَبَّكُمْ تبارك و تعالى.

‘Janganlah kalian mengatakan sayyid kepada orang munafik, karena apabila dia menjadi sayyid, maka kalian akan membuat murka Rabb kalian Tabaraka wa Ta’ala’.

Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad 5/346; al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, no. 760; Abu Dawud, Kitab al-Adab, Bab La Yaqulu al-Mamluk Rabbi, 2/713, no. 4977; an-Nasa`i dalam al-Yaum wa al-Lailah, no. 245; Ibn as-Sunni, no. 391; al-Hakim 4/311; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 4883; dan al-Khathib dalam at-Tarikh 5/454: dari jalur Uqbah bin Abdillah al-Asham dan Qatadah, dari Abdullah bin Buraidah, dari Buraidah dengan hadits tersebut.

Al-Hakim menshahihkannya dan adz-Dzahabi mengomentarinya dengan menyatakan, “Uqbah adalah dhaif.” Saya berkata, Akan tetapi Qatadah memutaba’ahnya pada selain al-Hakim sebagaimana kamu lihat. Oleh karena itu, al-Mundziri menshahihkan isnad Abu Dawud dan an-Nasa`i. Al-Albani menyepakatinya dan menambahkan, “Berdasarkan syarat asy-Syaikhain

Saya berkata, “Penggabungan antara hadits-hadits ini adalah, bahwa saya tidak mengapa memberikan nama, ‘Fulan sayyid, wahai sayyidku, dan semisalnya’, dengan syarat apabila orang yang disebut sebagai sayyid adalah orang yang utama lagi baik, baik disebabkan karena ilmu ataupun kebaikannya ataupun selain itu. Namun apabila dia seorang yang fasik, atau tertuduh jelek dalam agamanya atau semisalnya, maka pengucapan sayyid kepadanya adalah dibenci.

Dan telah kami riwayatkan dari al-Imam Abu Sulaiman al-Khaththabi dalam Ma’alim as-Sunan dalam penyatuan antara keduanya semisal itu.

Pasal: Seorang budak Dimakruhkan mengatakan kepada majikannya, “rabbi” akan tetapi hendaklah mengatakan, “Sayyidi” (tuanku) dan jika berkehendak dia boleh mengatakan, “Maulaya” (tuanku). Dan dimakruhkan bagi majikan untuk mengatakan, “Hamba laki-lakiku dan hamba perempuanku”, akan tetapi hendaklah dia mengatakan, “Pemuda dan pemudiku, atau anakku”.

(1145) Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam , beliau bersabda,

لاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ: أَطْعِمْ رَبَّكَ، وَضِّئْ رَبَّكَ، اِسْقِ رَبَّكَ، وَلْيَقُلْ: سَيِّدِيْ وَمَوْلاَيَ. وَلاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ: عَبْدِيْ، أَمَتِيْ، وَلْيَقُلْ: فَتَايَ وَفَتَاتِيْ وَغُلاَمِيْ.
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: وَ لاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ: رَبِّيْ، وَلْيَقُلْ: سَيِّدِيْ وَمَوْلاَيَ.
وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ: لاَ يَقُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ: عَبْدِيْ، فَكُلُّكُمْ عَبِيْدٌ. وَلاَ يَقُلِ اْلعَبْدُ: رَبِّيْ، وَلْيَقُلْ: سَيِّدِيْ.
وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ: لاَ يَقُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ: عَبْدِيْ وَأَمَتِيْ، كُلُّكُمْ عَبِيْدُ اللهِ، وَكُلُّ نِسَائِكُمْ إِمَاءُ اللهِ، وَلكِنْ لِيَقُلْ: غُلاَمِيْ وَجَارِيَتِيْ وَفَتَايَ وَفَتَاتِيْ.

“Janganlah salah seorang dari kalian mengatakan (kepada majikannya), ‘Berilah makan rabb-mu, bersihkanlah rabbmu, berilah minum rabbmu!’ Akan tetapi katakanlah, ‘Sayyidi (tuanku) dan maulaya (majikanku).’ Dan janganlah seorang dari kalian mengatakan, ‘Abdi (hamba laki-lakiku) dan amati (hamba perempuanku)’, akan tetapi katakanlah, ‘Fataya (pemudaku), fatati (pemudiku), dan ghulami (bocah laki-lakiku)’.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Itqu, Bab Karahiyah at-Tathawul ala ar-Raqiq, 5/177, no. 2552; Muslim, Kitab al-Alfazh, Bab Hukmu Lafzhah al-‘Abd wa al-Amah, 4/1764, no. 2249.

Dalam satu riwayat milik Muslim, “Janganlah salah seorang dari kalian mengatakan (kepada majikannya), ‘Rabbku,’ akan tetapi katakanlah, ‘Tuanku dan majikanku’.”

Dalam riwayat lain miliknya, “Jangan sekali-kali seorang dari kalian mengatakan (kepada budaknya), ‘hambaku,’ karena setiap kalian adalah hamba. Dan janganlah seorang hamba mengatakan (kepada tuannya), ‘Rabbku,’ akan tetapi katakanlah, ‘Sayyidku’.”

Dan dalam riwayat lain miliknya, “Janganlah sekali-kali seseorang di antara kalian mengatakan, ‘Hamba laki-lakiku dan hamba perempuanku,’ karena kalian semua adalah hamba-hamba Allah, dan istri-istri kalian adalah hamba-hamba perempuan Allah, akan tetapi katakanlah, Ghulami ‘(Anak laki-lakiku) dan Jariyati (anak perempuanku), Fataya (pemuda) dan Fatati (pemudiku)’.”

(1146-1148) Saya berkata, Para ulama berkata, ‘Tidaklah kata ar-Rabbu (الرَّبُّ) dengan alif dan lam dipakai kecuali khusus hanya untuk Allah Subhanahu waTa`ala, sedangkan dengan Idhafah seperti dikatakan: Rabbu al-Mali (رَبُّ الْمَالِ ) ‘Pemilik harta,’ Rabbu ad-Dari (رَبُّ الدَّارِ) ‘Pemilik rumah’ dan semisalnya. Dan di antaranya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits shahih tentang unta yang tersesat,

دَعْهَا حَتَّى يَلْقَاهَا رَبُّهَا.

“Biarkanlah ia hingga pemiliknya menemukannya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Ilm, Bab al-Ghadhab fi al-Mau’izhah, 1/186, no. 91; dan Muslim, Kitab al-Luqa-thah, 3/1346, no. 1722: dari hadits Zaid bin Khalid al-Juhani.

Dan hadits shahih,

حَتَّى يُهِمَّ رَبَّ الْمَالِ مَنْ يَقْبَلُ صَدَقَتَهُ.

“…hingga menyusahkan pemilik harta (untuk mencari) orang yang mau menerima zakatnya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab az-Zakah, Bab ash-Shadaqah Qabla ar-Rad, 3/281, no. 1412; dan Muslim, Kitab az-Zakah, Bab at-Targhib fi ash-Shadaqah, 2/701, no. 157: dari hadits Abu Hurairah

Dan ucapan Umar radiyallahu ‘anhu dalam ash-Shahih,

رَبُّ الصُّرَيْمَةِ وَرَبُّ الْغُنَيْمَةِ.

“Pemilik sedikit unta dan pemilik sedikit kambing.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Jihad, Bab Idza Aslama Qaumun fi Dari Harbin, 6/175, no. 3059.

Dan hadits yang semisalnya sangat banyak dan masyhur, sedangkan penggunaan teks-teks syari’at (al-Qur`an dan as-Sunnah) tentang hal tersebut, maka ia merupakan perkara yang masyhur dan dikenal (yang dimaksud adalah Rabb).

Para ulama berkata, “Dan sesungguhnya dimakruhkan bagi seorang budak untuk mengatakan kepada tuannya “rabbi” karena di dalam lafazhnya terdapat perserikatan bagi Allah dalam rububiyyahNya. Sedangkan hadits “حَتَّي يَلْقَاهَا رَبُّهَا” dan “رَبُّ الصُّرَيْمَةِ” dan yang semakna dengan keduanya, maka ia dipakai karena tidak mukallaf (tidak terkena pembebanan syariat). Ia sebagaimana rumah dan harta, dan tidak diragukan bahwasanya mengucapkan rabb ad-Dar (pemilik rumah) dan rabb al-mal (pemilik harta) tidaklah dimakruhkan.

Adapun perkataan Yusuf ‘alaihis salam,

اذْكُرْنِي عِندَ رَبِّكَ

“Terangkanlah diriku kepada tuanmu” (Yusuf: 42),

ia mengandung dua jawaban: pertama, bahwa dia mengajaknya bicara dengan sesuatu yang diketahuinya. Penggunaan ini diperbolehkan untuk kondisi darurat, sebagaimana dikatakan oleh Musa ‘alaihis salam Kepada as-Samiri,

وَانظُرْ إِلَى إِلهِكَ

“Lihatlah kepada tuhanmu” (Thaha: 97) maksudnya, lihatlah kepada sesuatu yang kamu jadikan sebagai tuhan. Kedua, ini merupakan syariat bagi kaum sebelum kita (syar’u man qablana). Sedangkan syar’u man qablana tidak menjadi syariat untuk kita, apabila syariat kita bertentangan dengannya. Ini adalah pendapat yang tidak diperselisihankan. Karena para ahli ushul hanya berselisih dalam syar’u man qablana, apabila syariat kita tidak menyetujui dan tidak pula menyelisihinya. Apakah ia akan menjadi syariat kita atau tidak?

Pasal: Imam Abu Ja’far an-Nahhas berkata dalam kitabnya Shina’ah al-Kitab, “Adapun kata al-Maula (tuan), maka kami tidak mengetahui adanya pertentangan di antara ulama bahwa tidak seharusnya seseorang memanggil orang lain sesama makhluk dengan sebutan Maulaya (tuanku).”( Ini merupakan klaim yang dibuat-buat. Cukuplah bagimu dalam hal tersebut bahwa ia menyelisihi nash hadits Shahihain terdahulu pada no. 1146.)

Saya berkata, ‘Dan telah dikemukakan pembolehan memutlakkan perkataan maulaya dalam pasal sebelumnya, dan tidak ada pertentangan antara pembahasan ini dan sebelumnya, karena an-Nahhas berbicara tentang al-Maula dengan menggunakan alif dan lam ta’rif (sehingga menjadi teridentifikasi, pent.).

cacatan: Bahkan di dalamnya sangat kontradiksi, karena dia tidak berbicara tentang al-Maula dengan alif dan lam ta’rif, akan tetapi dia hanya berbicara dalam lafazh secara umum dengan berbagai kondisinya sebagaimana yang zahir dan jelas dari awal hingga akhir perkataannya, kecuali kalau di dalamnya terdapat kesalahan penenukilan dari an-Nawawi atau kesalahan cetak orang yang membacanya, hingga walaupun perkataannya dalam al-Maula dengan alif dan lam ta’rif, maka pendapat tersebut tidaklah shahih dan tidak ada dalilnya.

Demikianlah yang dikatakan oleh an-Nahhas, “Sebutan sayyid diberikan untuk selain orang yang fasik, namun kata as-sayyid dengan alif dan lam ta’rif tidak disebutkan untuk selain Allah Subhanahu waTa`ala.

Dan pendapat yang paling kuat adalah bahwa tidak masalah untuk menyebutkan kata al-Maula dan as-Sayyid dengan alif dan lam ta’rif dengan syarat yang terdahulu.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Rifki Solehan El-Hawary.