Sanggahan Atas Pendapat KeDua

Adapun pendapat kedua, yaitu pendapat golongan yang ekstrim dalam menetapkan kemampuan manusia, maka pendapat inipun bertentangan dengan nash dan kenyataan. Sebab banyak ayat yang menjelaskan bahwa kehendak manusia di bawah (tidak lepas dari) kehendak Allah Subhannahu wa Ta’ala. Firman Allah:
“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (At-Takwir: 28-29).

“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali ti-dak ada pilihan bagi mereka.” (Al-Qashash: 68).

“Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (Surga), dan menunjuki orang yang dikehen-dakiNya kepada jalan yang lurus (Islam).” (Yunus: 25).

Mereka yang menganut pendapat ini sebenarnya telah mengingkari salah satu aspek dari rububiyah Allah, dan berprasangka bahwa ada dalam kerajaan Allah Subhannahu wa Ta’ala ini apa yang tidak dikehendaki dan tidak diciptakan-Nya. Padahal Allah-lah yang menghendaki segala sesuatu, menciptakannya dan menentukan qadar (taqdir)nya.

Sekarang, kalau semuanya kembali kepada kehendak Allah dan segalanya berada di Tangan Allah, lalu apakah jalan dan upaya yang akan ditempuh seseorang apabila dia telah ditakdirkan Allah tersesat dan tidak mendapat petunjuk?

Jawabnya: bahwa Allah Subhannahu wa Ta’ala menunjuki orang-orang yang patut mendapat petunjuk dan menyesatkan orang-orang yang patut menjadi sesat. Firman Allah:
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (As-Shaff: 5).

“(Tetapi) karena mereka melanggar janji-nya, Kami kutuk mereka dan Kami jadikan hati mereka keras membatu, mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya.” (Al-Maidah: 13).

Di sini Allah menjelaskan bahwa Dia tidak menyesatkan orang yang sesat kecuali disebabkan oleh dirinya sendiri. Dan sebagaimana telah kami terangkan tadi bahwa manusia tidak dapat mengetahui apa yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk dirinya. Karena dia tidak mengetahui takdirnya kecuali apabila sudah terjadi, maka dia tidak tahu apakah dia ditakdirkan Allah menjadi orang yang tersesat atau menjadi orang yang mendapat petunjuk.

Kalau begitu, mengapa jika seseorang menempuh jalan kesesatan lalu berdalih bahwa Allah Subhannahu wa Ta’ala telah menghendakinya demikian? Apa tak lebih patut baginya menempuh jalan kebenaran kemudian mengatakan bahwa “Allah Subhannahu wa Ta’ala telah menunjukkan kepadaku jalan kebenaran?”.

Pantaskah dia menjadi seorang jabari (Jabari, ialah orang yang berpendapat bahwa manusia itu terpaksa dalam perbuatannya, tidak mempunyai kehendak dan keinginan ) kalau tersesat dan qadari (Qadari, ialah orang yang berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dalam perbuatannya dan mengingkari adanya takdir ) kalau berbuat kebaikan?

Sungguh tak pantas bagi seseorang menjadi jabari ketika berada dalam kesesatan dan kemaksiatan, kalau ia tersesat atau berbuat maksiat kepada Allah dia mengatakan: “Ini sudah takdirku, dan tak mungkin aku dapat keluar dari ketentuan dan takdir Allah”; tetapi ketika berada dalam ketaatan dan memperoleh taufik dari Allah untuk berbuat ketaatan dan kebaikan dia mengatakan: “Ini kuperoleh dari diriku sendiri.” Dengan de-mikian dia menjadi qadari dalam segi ketaatan dan menjadi jabari dalam segi kemaksiatan.

Ini tidak boleh sama sekali, sebab sebe-narnya manusia mempunyai kehendak dan kemampuan.
Masalah hidayah sama halnya dengan masalah rizki dan menuntut ilmu. Sebagai-mana kita semua tahu bahwa manusia telah ditentukan rizki yang menjadi bagiannya. Namun demikian dia tetap berusaha untuk mencari rizki ke kanan dan ke kiri, di daerahnya sendiri atau di luar daerahnya. Tidak duduk saja di rumah seraya berkata: “Kalau sudah ditakdirkan rizkiku tentu akan datang dengan sendirinya.” Bahkan dia akan berusaha untuk mencari rizki tersebut. Padahal rizki ini disebutkan bersamaan dengan amal perbuatan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Shalallaahu alaihi wasalamyang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud Radhiallaahu anhu, “Sesungguhnya kalian ini dihimpunkan kejadiannya dalam perut ibu selama empat puluh hari berupa air mani, kemudian berubah menjadi segumpal darah selama empat puluh hari pula, kemudian berubah menjadi segumpal daging selama empat puluh hari pula, lalu Allah mengutus seorang malaikat yang diberi tugas untuk mencatat empat perkara, yaitu: rizkinya, ajalnya, amal perbuatannya dan apakah termasuk orang celaka atau bahagia.”

Jadi rizki ini pun telah dicatat seperti halnya amal perbuatan, baik ataupun buruk, juga telah dicatat.
Kalau begitu, mengapa Anda pergi ke sana kemari untuk mencari rizki dunia tetapi tidak berbuat kebaikan untuk mencari rizki akhirat dan mendapatkan kebahagiaan Surga? Padahal kedua-duanya adalah sama, tidak ada perbedaanya.

Jika Anda mau berusaha untuk mencari rizki dan untuk mempertahankan kelangsungan hidup Anda, sehingga kalau Anda sakit pergi ke manapun mencari dokter ahli yang dapat mengobati penyakit Anda, padahal Anda tahu kalau ajal telah ditentukan, tidak akan dapat bertambah maupun berkurang, Anda tidak bersikap pasrah sambil berkata: “Sudahlah aku tetap tinggal di rumah saja meski menderita sakit, karena kalaupun aku ditakdirkan panjang umur aku akan tetap hidup.” Bahkan Anda berusaha sekuat tenaga untuk mencari dokter yang ahli, yang sekiranya dapat menyembuhkan penyakit Anda dengan takdir Allah. Jika demikian, mengapa usaha Anda di jalan akhirat dan dalam amal shalih tidak seperti usaha Anda untuk kepentingan dunia?

Sebagaimana telah kami kemukakan bahwa masalah qadar adalah rahasia Allah yang tersembunyi, tak mungkin Anda dapat mengetahuinya. Sekarang Anda berada di antara dua jalan; jalan yang membawa Anda kepada keselamatan, kebahagiaan, kedamaian dan kemuliaan; dan jalan yang dapat membawa Anda kepada kehancuran, penyesalan dan kehinaan. Sekarang Anda sedang berdiri di antara ujung kedua jalan tersebut dan bebas untuk memilih, tak ada seorangpun yang akan merintangi Anda untuk melalui jalan yang kanan atau yang kiri. Anda dapat pergi ke manapun sesuka hati Anda. Lalu mengapa Anda memilih jalan kiri (sesat) kemudian berdalih bahwa “Itu sudah takdirku”? Apa tidak lebih patut jika Anda memilih jalan kanan dan mengatakan bahwa “Itulah takdirku”?

Untuk lebih jelasnya, apabila Anda mau bepergian ke suatu tempat dan di hadapan Anda ada dua jalan. Yang satu mulus, lebih pendek dan lebih aman; sedang yang kedua rusak, lebih panjang dan mengerikan. Tentu saja Anda akan memilih jalan yang mulus, yang lebih pendek dan lebih aman, tidak memilih jalan yang tidak mulus, tidak pendek dan tidak aman. Ini berkenaan dengan jalan yang visual, begitu pula dengan yang non-visual, sama saja dan tidak ada bedanya. Namun kadangkala hawa nafsulah yang memegang peran dan menguasai akal. Padahal, sebagai seorang mukmin seyogyanya akalnyalah yang harus lebih berperan dan menguasai hawa nafsunya. Jika orang meng-gunakan akalnya, maka akal itu -menurut pengertian yang sebenarnya- akan melindungi pemiliknya dari yang membahayakan dan membawanya kepada yang bermanfaat dan membahagiakan.

Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa manusia mempunyai kehendak dan pilihan dalam perbuatan yang dilakukannya secara sadar, bukan terpaksa. Kalau manusia berbuat dengan kehendak dan pilihannya untuk kepentingan dunia, maka diapun begitu pula dalam usahanya menuju akhirat. Bahkan jalan menuju akhirat lebih jelas. Karena Allah Subhannahu wa Ta’ala telah menjelaskannya dalam Al-Qur’an dan melalui sabda RasulNya Shalallaahu alaihi wasalam, maka jalan menuju akhirat tentu saja lebih jelas dan lebih terang daripada jalan untuk kepentingan dunia.

Namun, kenyataannya, manusia mau berusaha untuk kepentingan dunia yang tidak terjamin hasilnya tapi meninggalkan jalan menuju akhirat yang telah terjamin hasilnya dan diketahui balasannya berdasarkan janji Allah Subhannahu wa Ta’ala, dan Allah Subhannahu wa Ta’ala tidak akan menyalahi janjiNya.

Pembaca yang budiman.
Inilah yang menjadi ketetapan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan inilah yang menjadi aqidah serta madzhab mereka, yaitu bahwa manusia berbuat atas dasar kemauannya dan berkata menurut keinginannya, tetapi keinginan dan kemauannya itu tidak lepas dari kemauan dan kehendak Allah Ta’ala Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa kehendak Allah tidak lepas dari hikmah kebijaksanaanNya, bukan kehendak mutlak dan absolut, tetapi kehendak yang senantiasa sesuai dengan hikmah kebijaksanaanNya. Ka-rena di antara asma Allah adalah Al-Hakim yang artinya Pemutus Yang Bijaksana, yang memutuskan segala sesuatu dan bijaksana dalam keputusanNya.

Allah dengan sifat hikmahNya, menentukan hidayah bagi siapa yang dikehendakiNya yang menurut pengetahuanNya menginginkan al-haq dan hatinya berada dalam istiqamah. Dan dengan sifat hikmahNya pula, Dia menen-tukan kesesatan bagi siapa yang suka akan kesesatan dan hatinya tidak senang dengan Islam. Sifat hikmah Allah tidak dapat menerima bila orang yang suka akan kesesatan termasuk dalam golongan orang-orang yang mendapat petunjuk, kecuali jika Allah memperbaiki hatinya dan merubah kehendak-nya, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Namun, sifat hikmahNya menetapkan bahwa setiap sebab berkaitan erat dengan akibatnya.