Pendapat-pendapat Tentang Qadar

Pembaca yang budiman.
Umat Islam dalam masalah qadar ini terpecah dalam tiga golongan:

Pertama: Mereka yang ekstrim dalam menetapkan qadar dan menolak adanya kehendak dan kemampuan makhluk. Mereka berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan keinginan, dan hanyalah disetir dan tidak mempunyai pilihan, laksana pohon yang tertiup angin. Mereka tidak membedakan antara perbuatan manusia yang terjadi dengan kemauannya dan perbuatan yang terjadi tanpa kemauannya. Tentu saja mereka ini keliru dan sesat, karena sudah jelas menurut agama, akal dan adat kebiasaan bahwa manusia dapat membedakan antara perbuatan yang dikehendaki dan perbuatan yang terpaksa.

Kedua: Mereka yang ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk, sehingga mereka menolak bahwa apa yang diperbuat manusia adalah karena kehendak dan keinginan Allah serta diciptakan olehNya. Menurut mereka, manusia me-miliki kebebasan atas perbuatannya. Bahkan ada di antara mereka yang mengatakan bahwa Allah Subhannahu wa Ta’ala tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh manusia kecuali setelah terjadi. Mereka inipun sangat ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk.

Ketiga: Mereka yang beriman, sehingga diberi petunjuk oleh Allah untuk menemukan kebenaran yang telah diperselisihkan. Mereka itu adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dalam masalah ini mereka menempuh jalan tengah dengan berpijak di atas dalil syar’i dan dalil ‘aqli. Mereka berpendapat bahwa perbuatan yang dijadikan Allah di alam semesta ini terbagi atas dua macam:

  • Perbuatan yang dilakukan oleh Allah Ta’ala terhadap makhlukNya. Dalam hal ini tidak ada kekuasaan dan pilihan bagi siapapun. Seperti; turunnya hujan, tumbuhnya tanaman, kehidupan, kematian, sakit, sehat dan banyak contoh lainnya yang dapat disaksikan pada makhluk Allah. Hal seperti ini, tentu saja tak ada kekuasaan dan kehendak bagi siapapun kecuali bagi Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa.
  • Perbuatan yang dilakukan oleh semua makhluk yang mempunyai kehendak. Perbuatan ini terjadi atas dasar keinginan dan kemauan pelakunya karena Allah menjadikannya untuk mereka. Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta’ala :

    “Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.” (At-Takwir: 28).
    “Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.” (Ali Imran: 152).
    “Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” (Al-Kahfi: 29).

    Manusia bisa membedakan antara perbuatan yang terjadi karena kehendaknya sendiri dan yang terjadi karena terpaksa. Sebagai contoh, orang yang dengan sadar turun dari atas rumah melalui tangga, ia tahu kalau perbuatannya itu atas dasar pilihan dan kehendaknya sendiri. Lain halnya kalau ia terjatuh dari atas rumah, ia tahu bahwa hal tersebut bukan karena kemauannya. Dia dapat membedakan antara kedua perbuatan ini, yang pertama atas dasar kemauannya dan yang kedua tanpa kemauannya. Dan siapapun mengetahui perbedaan ini.

    Begitu juga orang yang menderita sakit beser umpamanya, ia tahu kalau air kencingnya keluar tanpa kemauannya. Tetapi apabila ia sudah sembuh, ia sadar bahwa air kencing-nya keluar dengan kemauannya. Dia mengetahui perbedaan antara kedua hal ini dan tak ada seorangpun yang mengingkari adanya perbedaan tersebut.

    Demikianlah segala yang terjadi dari manusia, dia mengetahui perbedaan antara mana yang terjadi dengan kemauannya dan mana yang tidak.
    Akan tetapi, karena kasih sayang Allah Subhannahu wa Ta’ala, ada di antara perbuatan manusia yang terjadi atas kemauannya namun tidak dinyatakan sebagai perbuatannya. Seperti perbuatan orang yang kelupaan dan orang yang sedang tidur. Firman Allah dalam kisah Ashabul Kahfi:

    “… dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri …” (Al-Kahfi: 18).
    Padahal merekalah sendiri yang berbalik ke kanan dan ke kiri, tetapi Allah Ta’ala menyatakan bahwa Dialah yang membalik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sebab orang yang sedang tidur tidak mempunyai kemauan dan pilihan serta tidak mendapat hukuman atas perbuatannya, maka perbuatan tersebut di-nisbat-kan kepada Allah.

    Dan sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, “Barangsiapa yang lupa ketika dalam keadaan berpuasa, lalu makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena Allah yang memberinya makan dan memberinya minum.”

    Dinyatakan dalam hadits ini bahwa yang memberinya makan dan minum adalah Allah Subhannahu wa Ta’ala, karena perbuatannya tersebut terjadi di luar kesadarannya, maka seakan-akan terjadi tanpa kemauannya.
    Kita semua mengetahui perbedaan antara rasa sakit atau rasa senang yang kadangkala dirasakan seseorang dalam dirinya tanpa kemauannya serta dia sendiri tidak tahu sebabnya dan rasa sakit atau rasa senang yang timbul dari perbuatan yang dilakukan oleh dia sendiri. Hal ini, alhamdulillah, sudah cukup jelas dan gamblang.