Aku tidak tahu harus memulai rincian musibah yang menimpaku ini dari mana; apakah dari sejak aku kecil ketika aku dimanja kedua orangtuaku yang membelikan apa saja yang aku maui tanpa menolaknya sama sekali atau dari sejak aku sia-siakan seorang wanita yang begitu ikhlash akibat kebodohanku dan anakku yang hingga sekarang belum pernah aku lihat?.

Yah, musibah yang memiliki banyak aspek dan memerlukan rincian-rincian yang aku akan berusaha untuk meringkasnya dalam lembaran yang singkat sehingga orang lain dapat menjadikannya sebagai pelajaran dan tidak terjerumus ke dalam jebakan-jebakan yang telah merenggut kebahagiaanku dan mewariskan kesengsaraan dan kesialan serta menjadikan air mata tak henti-hentinya menetes ke pipiku…Cukuplah yang aku rasakan sekarang bahwa Rabbku tidak ridla terhadapku.

Aku hidup di bawah naungan keluarga yang demikian kaya. Sejak lulus dari SMP, kedua orangtuaku telah menghadiahkanku sebuah mobil baru. Dari sinilah aku belajar mengemudikan beberapa model mobil dan sering sekali melakukan balap dengan teman-temanku dan memenangkannya. Balapan itu kami lakukan di jalan-jalan raya dekat rencana pembangunan komplek baru. Setelah berhasil menyelesaikan kesarjanaan (S1), aku jadi sering menemani ayahku di dalam beberapa perjalanannya ke luar negeri untuk mengimpor suku cadang buat perusahaan yang dimilikinya. Ketika itu, aku selalu menghabiskan waktuku jauh dari pengamatan ayahku yang sibuk mengadakan beberapa kontrak dan meneken tender.

Pada suatu hari, ayahku memergokiku sedang menggandeng salah seorang wanita bule namun dia sama sekali tidak mengusikku akan tetapi setelah aku selesai melakukan affair dengan wanita itu, barulah dia menyampaikan keinginannya untuk menikahkanku dengan seorang wanita dari kalangan kerabat kami tanpa menyebutkan rincian sebab-sebab yang melatarbelakanginya karena tidak mau terganggu dengan tetek bengek lainnya. Aku pun menyetujui usulannya itu setelah mengetahui bahwa calon isteri yang dipilihkannya untukku itu memenuhi semua kriteria calon isteri yang aku idam-idamkan. Maka, dilaksanakanlah resepsi pernikahan secepatnya guna memenuhi keinginan ayahku itu. Selama masa berumahtangga dengan isiteriku itu, aku merasakan betapa dia seorang wanita yang cerdik sehingga menambah kecintaanku terhadapnya.

Selama setahun penuh, kehidupan di antara kami berlangsung dengan bahagia dan tenteram.

Kebahagiaanku semakin bertambah manakala isteriku menyampaikan berita gembira bahwa dia sudah hamil. Bersamaan dengan itu, ayahku mengalami sakit yang sangat serius sehingga harus terus terbujur di pembaringan. Akhirnya, aku harus bepergian ke luar negeri sendirian untuk mengadakan beberapa kontrak dan tender mewakilinya mengingat aku adalah anak tunggalnya.

Sekalipun kecintaanku begitu besar terhadap isteriku, namun kehidupan yang demikian bebas di sana (luar negeri) membuatku demikian tergoda sehingga menyebabkanku terjerumus kembali ke lubang maksiat dan melakukan affair dengan wanita-wanitanya. Dalam pada itu, aku tetap memberikan nafkah untuk isteriku dari jatah uang yang cukup besar yang telah dikhususkan oleh ayahku untukku dalam beberapa perjalanan tersebut.

Pada suatu hari, aku sangat kaget atas kemunculan bercak-bercak aneh di tubuhku. Ketika aku berkonsultasi dengan salah seorang dokter, dia memberitahukan bahwa aku mengidap penyakit ‘Hervest’. Dia menyebutkan beberapa obat untuk penyembuhannya disamping menyampaikan juga bahwa anggota badan yang terkena penyakit ini tidak akan segera hilang dalam beberapa hari tetapi perlu secara intensif berada dalam perawatan selama beberapa bulan.

Lalu aku pergi ke dokter-dokter lainnya di sana dengan maksud agar masalahku ini tidak terbongkar di tengah keluargaku dan di hadapan isteriku namun hasilnya tetap nihil. Menghadapi cobaan itu, tidak ada lagi jalan bagiku kecuali harus pulang ke negeriku dan berdusta kepada semua orang bahwa yang aku idap adalah penyakit kulit akibat sangat sensitif terhadap makanan-makanan Eropa.

Untuk beberapa waktu, isteriku tidak curiga terhadap kebohonganku itu karena dia begitu percaya dengan prilakuku akan tetapi dia memperhatikan diriku selalu menghindar bila bersentuhan dengannya atau tidur di sampingnya. Dan ketika dia berkonsultasi dengan salah seorang kerabatnya yang bekerja sebagai dokter, dia menginformasikan berita sebenarnya yang teramat menyakitkan. Dan begitu dia menghadapku guna mengklarifikasi apa yang telah didengarnya dari kerabatnya tersebut, aku tidak memiliki alasan lagi selain mengakui kesalahan yang telah aku perbuat. Di sinilah, isteriku menumpahkan kekesalannya dengan menangis dan bersumpah dengan sumpah yang keras akan meninggalkan rumahku tanpa menggubris permohonan dan permintaanku agar dia tidak menyingkap aib ini kepada anggota keluarga yang lain.

Demikianlah, prilaku menyimpangku itu akhirnya sampai juga ke keluargakku dan semakin bertambah lagi derita yang aku alami manakala aku harus menjadi tahanan di balik dinding salah satu kamar rumahku untuk masa lima bulan ke depan agar tidak ada seorangpun yang menyaksikan benjolan-benjolan yang menyebar di seluruh anggota tubuhku yang kemudian akan meniggalkan bekas di kulitku. Dan setelah Allah menyembuhkanku, ayahku meminta agar aku menceraikan isteriku itu karena dia menolak mentah-mentah untuk hidup kembali bersamaku sekalipun dia telah melahirkan keturunan dariku. Demikian pula, ayahku telah mencabut perwakilan yang telah diserahkannya kepadaku terkait dengan urusan kontrak dan tender bisnis dan menyampaikan kepadaku tekadnya untuk memutus hubungan denganku dan tidak lagi memberikan uang jajan untukku.

Begitulah, aku sekarang hidup sendirian dengan perasaan sedih, tidak seorangpun yang mau menyapaku, seorang tahanan empat dinding rumahku. Setiap kali aku teringat dengan anakku yang belum pernah aku lihat wajahnya, berlinanganlah air mataku karena menyesal dan menyayangkan kejahatan yang telah aku lakukan sendiri terhadap diriku sehingga terjerumus ke dalam jebakan-jebakan yang aku tidak tahu kapan akan berakhir. Semua apa yang aku harapkan sekarang hanyalah ampunan Allah atas segala dosa-dosaku sebab rahmat nya sangat luas dan diatas segala sesuatu.

(SUMBER: Qashash Wa Mawâqif Dzât ‘Ibar, disusun oleh ‘Adil bin Muhammad Ali ‘Abdul ‘Aliy, h.21-24, sebagai dinukil dari Harian ‘Okâzh, Vol.30)