Setelah Rasulullah SAW., menyelesaikan pembuatan parit, datanglah orang-orang Quraisy kemudian berhenti di tempat berkumpulnya aliran air di rumah antara Al-Juruf dan Zughabah. Mereka datang ke tempat tersebut dengan membawa sepuluh ribu orang dari orang-orang ahabisy (multi kabilah), Bani Kinanah, dan Bani Tihamah.،¨ Dan Ghathafan datang diikuti oleh penduduk Nejed lalu mereka singgah di Dzanab Naqma di samping uhud. Sementara Rasulullah keluar bersama orang-orang muslim hingga mereka sampai di Sala،¦ dengan diikuti 3000 pasukan, lalu beliau tempatkan pasukan di sana, sedang khandaq berada di antara dia dan musuh. Dan beliau memerintahkan kepada kaum perem-puan dan anak-anak agar bersembunyi di dalam benteng.

“Musuh Allah, Huyai bin Akthab An-Nadhri, keluar kemudian pergi ke tempat Ka’ab bin Sa’ad Al-Quradhi, wakil Bani Quraizhah dalam per-janjian dengan Rasulullah SAW. Ka’ab bin Asad Al-Quradhi telah membuat perjanjian dengan beliau mewakili kaumnya dan orang yang menanda-tanganinya. Ketika Ka’ab bin Sa’ad Al-Quradhi mendengar kedatangan Huyai bin Akhthab An-Nadhri, ia menutup pintu bentengnya. Huyai bin Akhthab meminta Ka’ab bin Sa’ad Al-Quradhi membukakan pintu, namun ia menolak membukanya hingga akhirnya Huyai bin Akhthab An-Nadhri berteriak, “Hai Ka’ab, celakalah engkau, bukakan pintu untuk-ku!”. Ka’ab bin Sa’ad Al-Quradhi menjawab, “Hai Huyai, celakalah eng-kau, engkau orang tercela. Aku telah membuat perjanjian dengan Mu-hammad dan aku tidak ingin membatalkan perjanjianku dengannya, karena aku melihatnya menepati perjanjian dan jujur.”

Huyai bin Akhthab An-Nadhri berkata, “Celakalah engkau, bukakan pintu untukku karena aku ingin bicara denganmu.” Ka’ab bin Sa’ad Al-Quradhi berkata, “Aku tetap tidak mau membuka pintu.” Huyai bin Akhthab An-Nadhri berkata, “Demi Allah, jika engkau tetap mengunci benteng dariku, itu karena engkau takut aku makan makanan jasyisyah (makanan yang terbuat dari gandum kasar yang adon) milikmu.” Perkataan Huyai bin Akthab An-Nadhri tersebut membuat Ka’ab bin Sa’ad Al-Quradhi naik darah, kemudian membuka pintu bagi Huyai bin Akhthab An-Nadhri yang kemudian berkata, “Celakalah engkau hai Ka’ab, aku datang kepadamu dengan kemuliaan zaman dan lautan air yang banyak. Aku datang kepadamu membawa orang-orang Quraisy lengkap dengan panglima perang dan tokoh-tokoh mereka. Sekarang mereka aku tempatkan di tempat berkumpulnya air di Duman. Aku juga datang kepadamu membawa orang-orang Ghathafan lengkap dengan panglima perang dan tokoh-tokohnya.

Dan sekarang mereka aku tempatkan di Dzanab Naqma di samping Uhud. Mereka semua telah bersumpah dan berjanji kepadaku untuk tidak pergi hingga kita berhasil menghabisi Muhammad dan para pengikutnya. Ka’ab bin Sa’ad Al-Quradhi berkata kepada Huyai bin Akhthab An-Nadhri, ‘Demi Allah, engkau datang kepadaku membawa kehinaan zaman dan awan yang tidak membawa air hujan di dalamnya. Awan tersebut berkilat namun tidak membawa apa-apa. Celakalah engkau hai Huyai, biarkan aku dengan pilihanku, karena aku melihat Muhammad adalah orang yang jujur dan menepati janji. Huyai bin Akhtab An-Nadhri tetap berada di rumah Ka’ab bin Sa’ad Al-Quradhi guna mengajukan berbagai argumen kepadanya, hingga akhirnya Ka’ab bin Sa’ad Al-Quradhi bersedia memberinya perjanjian untuknya. Isi perjanjian tersebut adalah jika orang-orang Quraisy dan Ghathafan pulang tanpa berhasil mengalahkan Muhammad maka engkau mengizinkan aku masuk ke dalam bentengmu hingga aku mengalami apa yang engkau alami. Dengan demikian, Ka’ab bin Sa’ad Al-Quradhi membatalkan perjanjian dengan Rasulullah SAW.”

“Ketika informasi pembatalan perjanjian tersebut terdengar oleh Rasulullah SAW., dan kaum muslimin, beliau mengirim Sa’ad bin Muadz bin An-Nu’man (tokoh Al-Aus ketika itu), Sa’ad bin Ubadah bin Dulaim warga Bani Saidah bin Ka’ab bin ka’ab bin Al-Khazraj (tokoh Al-Khazraj ketika itu), Abdullah bin Rawahah saudara Bani Al-Harits bin Al-Khazraj dan Khawwat bin Jubair saudara Bani Amr bin Auf kepada mereka (Bani Quraizhah), dan bersabda kepada mereka, “Pergilah, ke-mudian lihat apakah informasi yang sampai kepada kita itu benar atau tidak? Jika memang benar, hendaklah kalian berkata dengan bahasa sin-diran yang paling baik dan jangan lemahkan mereka. Jika mereka menepati perjanjian antara kita dengan mereka, berkatalah secara terus terang kepada mereka.” Para sahabat tersebut segera pergi ke Bani Quraizhah. Ketika mereka tiba di tempat mereka, mereka mendapati orang-orang Bani Quraizhah lebih brengsek dari informasi yang sampai pada mereka. Mereka menghina Rasulullah SAW., dan berkata, “Siapa Rasulullah itu? Kami tidak mempunyai perjanjian dengan Muhammad.” Sa’ad bin Muadz mengecam mereka dan mereka balik mengecam Sa’ad bin Muadz. Sa’ad bin Muadz adalah seorang yang emosional. Sa’ad bin Ubadah berkata Sa’ad bin Muadz, “Sudahlah, engkau tidak usah menge-cam mereka. Kita tidak perlu saling kecam.” Setelah itu, Sa’ad bin Muadz, Sa’ad bin Ubadah, dan dua sahabat lainnya menghadap Rasulullah SAW. Mereka mengucapkan salam kepada beliau, kemudian berkata, “Mereka seperti Adhal dan Al-Qarah yang mengkhianati Khubaib dan sahabat-sahabatnya di Ar-Raji.” Rasulullah berkata, “Allahu Akbar. Bergembiralah kalian hai kaum muslimin.”

“Ketika itulah, ujian terasa berat dan ketakutan memuncak di tengah kaum muslimin, karena musuh datang kepada mereka dari atas dan bawah mereka hingga kaum mukminin menyangka yang bukan-bukan dan terlihatlah kemunafikan sebagian orang-orang munafik, bahkan Muattib bin Qusyair saudara Bani Amr bin Auf berkata, ‘Muhammad pernah berjanji kepada kita bahwa kita akan menguasai perbendaharaan Kisra dan Kaisar, padahal hari ini salah seorang dari kita tidak merasa aman untuk pergi ke tempat buang air. Dan hingga Aus bin Qaidhi, salah seorang warga Bani Haritsah bin Al-Harits, berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya rumah-rumah kami tidak terlindungi dari musuh. Oleh karena itu, izinkan kami keluar untuk pulang ke rumah, karena rumah-rumah kami terletak di luar Madinah.”

“Selama dua puluh hari atau bahkan hampir sebulan tidak terjadi perang antara Rasulullah SAW., dengan orang-orang musyrikin. Yang terjadi hanya saling lempar panah dan pengepungan.”

“Ketika ketakutan menyelimuti kaum muslimin -seperti dikatakan kepadaku oleh Ashim bin Umar bin Qatadah dan dari orang yang tidak aku ragukan kejujurannya dari Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri-, Rasulullah SAW., pergi kepada Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah bin Badr dan Al-Harits bin Auf bin Abu Haritsah Al-Murri yang ketika itu menjadi Panglima Perang Ghathafan. Beliau memberi ke-duanya sepertiga buah-buahan Madinah dengan syarat keduanya pulang bersama anak buahnya dari beliau dan para sahabatnya. Pembicaraan perdamaian pun berlangsung antara Rasulullah dengan dua orang tersebut hingga mereka sepakat menulis perjanjian. Namun karena tidak adanya saksi dan kesungguhan, maka pertemuan itu hanya merupakan tukar pikiran saja.

Ketika Rasulullah SAW., bermaksud meneruskan rencana perdamaian, beliau pergi kepada Sa’ad bin Muadz dan Sa’ad bin Ubadah. Beliau men-ceritakan rencana perdamaian kepada keduanya dan meminta pertim-bangan. Kedua sahabat berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, ini tindakan yang engkau inginkan kami laksanakan, ataukah sesuatu yang diperintahkan Allah kepadamu dan harus kami laksanakan, ataukah eng-kau sendiri yang menetapkannya untuk kami.?” Rasulullah SAW., bersabda, “Ini sesuatu yang aku putuskan untuk kalian. Demi Allah, aku bertindak seperti itu, karena aku lihat orang-orang Arab telah menyerang kalian dari satu busur dan menyerbu kalian dari semua penjuru. Jadi aku ingin mengalihkan kekuatan mereka dari kalian kepada sesuatu yang lain.”

Sa’ad bin Muadz berkata kepada Rasulullah SAW., “Wahai Rasulullah, dulu kami dan kaum tersebut menyekutukan Allah, menyembah berhala-berhala, tidak menyembah Allah, tidak kenal denganNya, dan mereka tidak makan kurma melainkan dari hasil jamuan dan jual-beli. Apakah sesudah Allah memuliakan kita dengan Islam, memberi kita petunjuk kepadanya, memuliakan kita denganmu dan dengan Islam, kemudian kita berikan kekayaan kita kepada mereka? Demi Allah, kita tidak perlu melakukan hal ini. Demi Allah, kita hanya berikan pedang kepada mereka hingga Allah memutuskan perkara di antara kita dengan mereka،.” Rasulullah SAW., bersabda, “Engkau terserah dengan pendapatmu.” Setelah itu, Sa’ad bin Muadz menerima lembaran perjanjian, kemudian mengha-pus tulisan yang ada di dalamnya, dan berkata, “Silakan mereka memu-suhi kami.”

Rasulullah SAW., dan kaum muslimin tetap berada di dalam Madinah, sedang musuh mengepung mereka, namun perang tidak meledak di antara mereka. Beberapa tentara berkuda Quraisy, di antaranya Amr bin Abdu Wudd, Ikrimah bin Abu Jahal dari Bani Makhzum, Hubairah bin Abu Wahb dari bani Makhzum, dan Dhirar bin Khaththab bin Mirdas saudara Bani Muharits bin Fihr bersiap-siap untuk perang dan keluar dengan mengendarai kuda. Ketika mereka berjalan melewati kampung-kampung Bani Kinanah, mereka berkata, “Hai Bani Kinanah, bersiaplah kalian untuk perang, niscaya pada hari ini kalian akan tahu siapa sesungguhnya pasukan berkuda itu.” Usai berkata seperti itu, orang-orang Quraisy tersebut berlari kencang dengan kuda-kuda mereka hingga tiba di parit. Ketika mereka melihat parit tersebut, mereka berkata, “Demi Allah, ini tipu-muslihat yang tidak pernah dibuat oleh orang-orang Arab.”*

“Kemudian orang-orang Quraisy tersebut mencari tempat sempit di parit, memukul kuda-kuda mereka dan kuda-kuda mereka pun masuk ke tempat tersebut, kemudian berjalan di tanah as-sabkhah (tanah berair dan asin) di antara parit dan Sal’un. Pada saat yang sama, Ali bin Abi Thalib RA., bersama beberapa orang dari kaum muslimin keluar kemudian mem-persempit celah tempat masuknya orang-orang Quraisy. Penunggang-pe-nunggang kuda Quraisy berjalan cepat dengan kuda-kuda mereka ke tempat Ali bin Abi Thalib dan sahabat-sahabatnya. Amr bin Abdu Wudd ikut hadir di Perang Badar hingga terluka berat dan tidak hadir di Perang Uhud. Pada Perang Khandaq, ia keluar dengan mengenakan tanda pengenal agar tempatnya mudah diketahui. Ketika kudanya berhenti, ia bekata, “Siapa yang siap perang tanding denganku.?” Ali bin Abi Thalib muncul kemudian berkata, “Hai Amr, sungguh engkau telah berjanji kepada Allah bahwa tidaklah salah seorang dari Quraisy mengajakmu kepada salah satu dari dua pilihan melainkan engkau mengambilnya.” Amr bin Abdu Wudd menjawab, “Ya betul.” Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku mengajakmu kepada Allah, RasulNya, dan Islam.” Amr bin Abdu Wudd menjawab, “Aku tidak butuh itu semua.” Ali bin Abi Thalib berkata, “Kenapa begitu, wahai saudaraku? Demi Allah, aku tidak ingin membunuhmu.” Ali bin Abi Thalib berkata, “Namun demi Allah, aku ingin membunuhmu.” Amr bin Abdu Wudd menyambut tantangan Ali bin Abi Thalib. Ia turun dari atas kuda, kemudian menyembelih, memu-kul wajah kudanya, dan maju kepada Ali bin Abi Thalib. Keduanya ber-tempur hingga akhirnya Ali bin Abi Thalib berhasil membunuh Amr bin Abdu Wudd, sedang kuda-kuda Quraisy lari pontang-panting menerobos parit.”

Ketika itu, Ikrimah bin Abu Jahal meletakkan tombaknya pada saat ia melarikan diri meninggalkan Amr bin Abdu Wudd.”
Tentang peristiwa itu Hassan bin Tsabit berkata dalam syairnya:
“Ia melarikan diri dan meletakkan tombaknya untuk kami
Mudah-mudahan engkau hai Ikrimah tidak melakukannya
Engkau lari kabur seperti kaburnya burung unta ketika berpaling dari jalan
Engkau tidak membiarkan punggungmu jinak
Sepertinya dagumu adalah dagu biawak kecil.”

“Kode sahabat-sahabat Rasulullah SAW., di perang Khandaq dan Perang Bani Quraizhah adalah, “Haamm miim, laa yunsharuun.”

“Pada saat Rasulullah SAW., dan sahabat-sahabatnya berada dalam keta-kutan dan penderitaan yang luar biasa, karena persekutuan musuh untuk menghadapi mereka dan karena musuh-musuh mendatangi mereka dari atas dan bawah mereka.”

“Datanglah Nu’aim bin Mas’ud ke tempat Rasulullah SAW., dan ber-kata, “Wahai Rasulullah, aku telah masuk Islam dan kaumku tidak me-ngetahui ke-Islamanku. Oleh karena itu, suruhlah aku apa saja yang engkau inginkan.” Beliau bersabda, “engkau salah seorang dari kami. Oleh karena itu, pecahkan persatuan mereka dengan tipu-daya jika engkau mampu, karena perang adalah tipu-daya.”

“Kemudian Nu’aim bin Mas’ud pergi ke Bani Quraizhah -ia sahabat mereka pada masa jahiliyah- kemudian berkata kepada mereka, “Hai Bani Quraizhah, kalian tahu kecintaanku kepada kalian dan kekhususan antara aku dengan kalian.” Orang-orang Bani Quraizhah berkata, “Engkau benar. Engkau bukan orang patut dicurigai di tempat kami.” Nu’aim bin Mas’ud berkata, “Sesungguhnya orang-orang Quraisy dan orang-orang Ghathafan tidak sama seperti kalian. Negeri ini negeri kalian. Di dalam-nya, terdapat kekayaan, anak-anak, dan wanita-wanita kalian. Kalian tidak bisa pindah ke negeri lainnya. Sesungguhnya orang-orang Quraisy dan orang-orang Ghathafan datang untuk memerangi Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Anehnya kalian mendukung mereka, padahal negeri, kekayaan, dan wanita-wanita mereka tidak berada di negeri kalian. Jadi mereka tidak sama seperti kalian. Jika mereka mendapatkan kesempatan, mereka pasti mengambilnya. Jika mereka tidak mendapatkannya, mereka pulang ke negeri mereka dan meninggalkan kalian berhadapan dengan Muhammad di negeri kalian dan kalian tidak mempunyai kekuatan jika ia menyerang kalian. Oleh karena itu, janganlah kalian memerangi Muham-mad bersama kaum tersebut hingga kalian mengambil gadai dari tokoh-tokoh mereka untuk menjadi jaminan di tangan kalian sehingga dengan demikian kalian dapat memerangi Muhammad dengan mereka hingga kalian berhasil mengalahkannya.” Orang-orang Bani Quraizhah berkata, “Engkau telah memberikan pertimbangan yang baik.”

“Kemudian Nu’aim bin Mas’ud pergi ke tempat orang-orang Qu-raisy. Ia berkata kepada Abu Sufyan bin Harb dan orang-orang Quraisy yang bersamanya, “Kalian tahu kecintaanku kepada kalian dan sikapku meninggalkan Muhammad. Aku menerima informasi dan berpendapat bahwa aku harus menyampaikan suatu nasihat untuk kalian, oleh karena itu, rahasiakan aku.” Orang-orang Quraisy berkata, “Ya, itu akan kami kerjakan.” Nu’aim bin Mas’ud berkata, “Kalian tahu bahwa semua orang-orang Yahudi telah menyesali perbuatan mereka terhadap Muhammad dan berkirim surat kepadanya yang isinya, “Kami menyesali apa yang telah kami perbuat. Oleh karena itu, apakah engkau ridha jika kami mengambil tokoh-tokoh dari Quraisy dan Ghathafan kemudian mereka kami serahkan kepadamu lalu engkau penggal kepala mereka. Setelah itu kita bersama-sama menghadapi sisa-sisa mereka hingga kita menghabisi mereka.?” Muhammad membalas surat mereka dengan berkata, “Ya.” Jadi, jika orang-orang Yahudi datang kepada kalian untuk meminta gadai dari tokoh-tokoh kalian, jangan serahkan seorang pun dari kalian kepada mereka.”

“Kemudian Nu،¦aim bin Mas’ud pergi ke tempat orang-orang Gha-thafan dan berkata kepada mereka, ‘Hai orang-orang Ghathafan, sesung-guhnya kalian adalah asal-usulku, keluargaku, manusia yang paling aku cintai, dan aku tidak melihat kalian mencurigaiku.” Orang-orang Ghathafan menjawab, “Engkau berkata benar dan engkau bukanlah orang tertuduh di tempat kami.” Nu’aim bin Mas’ud berkata, “Rahasiakanlah aku.” Mereka menjawab, “Ya. Kami akan melakukannya.” Setelah itu, Nu’aim bin Mas’ud berkata seperti yang ia katakan kepada orang-orang Quraisy dan menginggatkan mereka seperti yang ia ingatkan kepada orang-orang Quraisy.”

“Pada malam Sabtu bulan Syawal tahun kelima Hijriyah di antara yang diperbuat Allah SWT., untuk Rasul-Nya bahwa Abu Sufyan bin Harb dan tokoh-tokoh Ghathafan mengirim Ikrimah bin Abu Jahal beserta beberapa orang dari Quraisy dan Ghathafan kepada Bani Quraizhah dan berkata kepada mereka, ‘Kita tidak berada di negeri abadi. Unta dan kuda banyak yang tewas, oleh karena itu, mari kita berangkat perang hingga mengalahkan Muhammad dan kita selesaikan permasalahan antara kita dengannya.'”

“Kemudian orang-orang Yahudi mengirim delegasi kepada orang-orang Ghathafan dengan membawa pesan, ‘Sesungguhnya hari ini hari Sabtu yaitu hari dimana kami tidak mengerjakan apa pun di dalamnya. Pernah ada sebagian dari kami melakukan sesuatu pada hari tersebut kemudian ia mendapatkan musibah seperti yang kalian ketahui. Kami tidak akan ikut bersama kalian memerangi Muhammad hingga kalian memberi kami gadai dari tokoh-tokoh kalian kemudian tokoh-tokoh tersebut berada di tempat kami sebagai jaminan untuk kami hingga kita bisa mengalahkan Muhammad, karena kita khawatir jika kita kalah di medan perang maka kalian pulang ke negeri kalian dan meninggalkan kami dan Muhammad di negeri kami sedang kami tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapinya.'”

“Ketika delegasi Quraisy dan Ghathafan pulang dengan membawa pesan orang-orang Yahudi Bani Quraizhah, maka orang-orang Quraisy dan Ghathafan berkata, “Demi Allah, sesungguhnya apa yang dikatakan Nu’aim bin Mas’ud kepada kalian adalah benar, maka kirim utusan kepada Bani Quraizhah dengan membawa pesan bahwa demi Allah, kita tidak akan menyerahkan seorang pun tokoh-tokoh kami kepada kalian. Jika kalian ingin perang, keluarlah dan berperanglah.” Ketika delegasi orang-orang Quraisy dan Ghathafan tiba di tempat orang-orang Yahudi Bani Quraizhah dan menyampaikan pesan orang-orang Quraisy dan orang-orang Ghathafan, mereka berkata, “Sesungguhnya apa yang dikatakan Nu’aim bin Mas’ud kepada kalian adalah benar. Orang-orang Quraisy dan orang-orang Ghathafan tidak menginginkan apa-apa kecuali perang. Jika mereka mendapatkan peluang emas, mereka akan menggunakannya baik-baik. Jika mereka tidak mendapatkannya, mereka akan pulang ke negeri mereka dan membiarkan kalian dengan Muhammad di negeri kalian.'”

Lalu Bani Quraidhah mengutus utusan kepada Quraisy dan Ghatha-fan. Utusan itu mengatakan: “Demi Allah, kami tidak akan bersamamu memerangi Muhammad sampai kalian memberikan jaminan kepada kami, kaum Quraisy enggan memberikannya dan Allah memecah belah persatuan mereka, lalu Allah mengutus di malam yang gelap gulita angin yang sangat dingin dan kencang sehingga memporak-porandakan periuk-periuk mereka dan menerbangkan bejana-bejana mereka.

“Ketika Rasulullah SAW., mendengar konflik yang terjadi di pasukan sekutu dan bagaimana Allah memecah-belah persatuan mereka, beliau memanggil Hudzaifah bin Al-Yaman kemudian mengutusnya pergi kepa-da mereka untuk menyelidiki apa yang dikerjakan mereka di malam hari.”

Diriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab Al-Quradhi yang berkata bahwa seseorang dari Kufah berkata kepada Hudzaifah bin Al-Yaman, “Hai Abu Abdullah, apakah engkau pernah melihat Rasulullah SAW., dan menemaninya?” Hudzaifah bin Al-Yaman menjawab, “Ya.” Orang Kufah tersebut bertanya, “Apa yang engkau perbuat?.” Hudzaifah bin Al-Yaman menjawab, “Demi Allah, dulu kami sangat menderita.” Orang Kufah tersebut berkata, “Demi Allah, jika kami berjumpa dengan Rasulullah, kami tidak akan membiarkannya berjalan di atas permukaan bumi dan kami pasti memanggulnya di atas pundak-pundak kami.” Hudzaifah bin Al-Yaman berkata, “Hai anak saudaraku, demi Allah, dulu kami bersama Rasulullah SAW., di Khandaq (parit). Beliau melakukan qiyamul lail kemudian menoleh kepada kami dan bersabda, “Siapa yang siap pergi kepada kaum tersebut (pasukan sekutu) untuk melihat apa yang mereka kerjakan kemudian ia pulang lagi kepada kita? Sebagai gantinya, aku meminta kepada Allah SWT., agar orang tersebut menjadi sahabat karibku di Surga.” Beliau memberi syarat orang yang diutus tersebut harus kembali lagi. Tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang siap menunaikan tugas tersebut karena takut, lapar, dan udara sangat dingin. Karena tidak ada seorang pun dari sahabat yang berdiri untuk menunaikan tugas tersebut, beliau memanggilku. Mau tidak mau aku harus menunaikan tugas tersebut ketika beliau memanggilku.

Beliau bersabda kepadaku, “Hai Hudzaifah, pergilah dan masuklah ke tempat mereka. Lihatlah apa yang sedang mereka kerjakan dan jangan melakukan perbuatan apa pun hingga engkau tiba di tempat kita.” Aku pun berangkat kemudian masuk ke tempat kaum tersebut, sementara itu, angin dan tentara-tentara Allah beraksi kepada mereka hingga tidak ada periuk, api, dan kemah yang tetap utuh. Abu Sufyan bin Harb berkata, “Hai orang-orang Quraisy, hendaklah setiap orang melihat kepada orang yang ada di sebelahnya.” Aku segera memegang tangan seseorang yang ada di sampingku dan bertanya kepadanya, Siapa engkau.?” Orang tersebut menjawab, “Aku Fulan bin Fulan.”**

Setelah itu, Abu Sufyan bin Harb berkata, “Hai semua orang-orang Quraisy, demi Allah, kalian tidak berada di negeri yang layak untuk tinggal. Sungguh betis dan tapak kaki hewan telah kelelahan. Bani Quraizhah telah berkhianat dan kita mendengar sesuatu yang tidak kita sukai dari mereka. Kita juga mendapatkan serangan angin keras seperti yang kalian lihat. Periuk kita tidak ada yang utuh. Api tidak ada yang menyala. Dan kemah tidak ada yang tegak untuk kita. Oleh karena itu, pulanglah kalian, karena aku juga akan pulang.” Usai berkata seperti itu, Abu Sufyan bin Harb berdiri menuju untanya yang masih terikat kemudian duduk di atasnya. Ia pukul untanya, kemudian untanya berdiri dengan tiga kaki. Demi Allah, Abu Sufyan bin Harb tidak melepaskan ikatan untanya melainkan ia berada di atasnya. Seandainya saja Rasulullah SAW., tidak membuat perjanjian denganku agar aku tidak mengerja-kan perbuatan apa pun hingga aku datang kepada beliau, aku pasti membunuhnya dengan panah jika aku mau.

Setelah itu, aku pulang menghadap Rasulullah SAW., yang ketika itu sedang berdiri shalat dengan mengenakan pakaian dari bulu milik salah satu istrinya. Ketika beliau melihat kedatanganku, beliau menyuruhku masuk ke kedua kakinya dan menyodorkan ujung pakaian bulunya kepadaku. Setelah itu, beliau kembali sujud dan aku berada di dalam pakaian itu. Sesudah beliau salam, aku laporkan apa yang aku lihat kepada beliau.

Orang-orang Ghathafan mendengar apa yang dialami orang-orang Quraisy, kemudian mereka pulang kembali ke negeri mereka.”

* Ibnu Hisyam berkata: Yang mengajukan usulan pembuatan parit itu kepada Rasulullah adalah Salman Al-Farisi.

** Dalam kitab Syarah Mawaahib disebutkan: “Aku pun menggenggam tangan orang yang berada di sebelah kiriku dan bertanya kepadanya: “Siapa Anda?” Ia menjawab: “Mu’awiyah bin Abi Sufyan” Kemudian aku menggenggam orang yang berada di sebelah kananku dan bertanya kepadanya: “Siapa Anda?” Ia menjawab: “Amru bin Al-Ash”.