Ibnu Ishaq rahimahullah berkata:

ثُمّ إنّ قُرَيْشًا حِينَ عَرَفُوا أَنّ أَبَا طَالِبٍ قَدْ أَبَى خِذْلَانَ رَسُولِ اللّهِ – صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ – وَإِسْلَامَهُ وَإِجْمَاعَهُ لِفِرَاقِهِمْ فِي ذَلِكَ وَعَدَاوَتِهِمْ مَشَوْا إلَيْهِ بِعُمَارَةَ بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، قَالُوا لَهُ – فِيمَا بَلَغَنِي – يَا أَبَا طَالِبٍ هَذَا عُمَارَةُ بْنُ الْوَلِيدِ أَنْهَدُ فَتًى فِي قُرَيْشٍ وَأَجْمَلُهُ فَخُذْهُ فَلَك عَقْلُهُ وَنَصْرُهُ وَاِتّخِذْهُ وَلَدًا فَهُوَ لَك ، وَأَسْلِمْ إلَيْنَا ابْنَ أَخِيك هَذَا ، الّذِي قَدْ خَالَفَ دِينَك وَدِينَ آبَائِك ، وَفَرّقَ جَمَاعَةَ قَوْمِك ، وَسَفّهَ أَحْلَامَهُمْ فَنَقْتُلُهُ فَإِنّمَا هُوَ رَجُلٌ بِرَجُلِ فَقَالَ وَاَللّهِ لَبِئْسَ مَا تَسُومُونَنِي أَتُعْطُونَنِي ابْنَكُمْ أَغْذُوهُ لَكُمْ وَأُعْطِيكُمْ ابْنِي تَقْتُلُونَهُ هَذَا وَاَللّهِ مَا لَا يَكُونُ أَبَدًا . قَالَ فَقَالَ الْمُطْعِمُ بْنُ عَدِيّ بْنِ نَوْفَلِ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ قُصَيّ : وَاَللّهِ يَا أَبَا طَالِبٍ لَقَدْ أَنْصَفَك قَوْمُك ، وَجَهَدُوا عَلَى التّخَلّصِ مِمّا تَكْرَهُهُ فَمَا أَرَاك تُرِيدُ أَنْ تَقْبَلَ مِنْهُمْ شَيْئًا ، فَقَالَ أَبُو طَالِبٍ لِلْمُطْعِمِ وَاَللّهِ مَا أَنْصَفُونِي ، وَلَكِنّك قَدْ أَجْمَعْت خِذْلَانِي وَمُظَاهَرَةَ الْقَوْمِ عَلَيّ فَاصْنَعْ مَا بَدَا لَك

”Kemudian suku Quraisy ketika mereka mengetahui bahwa Abu Thalib enggan untuk berhenti membela, dan menyerahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bahkan dia bertekad untuk memisahkan diri dan memusuhi mereka, mereka berjalan menemuinya dengan membawa ‘Umarah bin al-Walid bin al-Mughirah. Mereka berkata kepadanya –dalam riwayat yang sampai kepadaku-:’ Wahai Abu Thalib, inilah ‘Umarah bin al-Walid, pemuda yang paling tampan di kalangan Quraisy, dan paling bagus, maka ambilah dia, bagimu pertolongannya dan akalnya (kecerdasannya). Jadikanlah dia anakmu, karena dia untukmu dan (sebagai gantinya) serahkan kepada kami anak saudaramu (Muhammad) ini, yang telah menyelisihi agamamu, dan agama nenekmoyangmu, yang telah memecah belah persatuan kaumm, dan membodoh-bodohkan orang dewasa di kalangan mereka, lalu kami membunuhnya, karena ia hanyalah seorang laki-laki (biasa) yang ditukar dengan seorang laki-laki.’ Maka dia (Abu Thalib) berkata kepada mereka:’Sungguh sangat buruk apa yang kalian tawarkan kepadaku, apakah kalian akan memberikan kepadaku anak kalian, lalu aku memberinya makan menggantikan kalian, sedangkan aku memberikan kepada kalian anakku (maksudnya anak saudaranya, yaitu Nabi), lalu kalian bunuh dia. Ini -demi Allah- tidak akan terjadi selama-lamanya.

Perawi berkata:”Lalu al-Muth’im bin ‘Ady bin Naufal bin ‘Abdi Manaf bin Qusay berkata:’ Demi Allah wahai Abu Thalib, kaummu telah berbuat adil terhadapmu, mereka telah berusaha keras untuk membebaskan dirimu dari apa yang engkau benci (tidak sukai). Namun aku tidak melihat engkau memiliki keinginan untuk menerima tawaran mereka sedikitpun.’ Maka Abu Thalib berkata kepada al-Muth’im:’Demi Allah, mereka tidak berbuat kepadaku, akan tetapi engkau telah bersepakat untuk menginakanku (tidak menolongku), dan membantu mereka memusuhiku. Maka lakukanlah apa yang nampak (baik) bagimu’”” (ar-Raudh al-Unf)

Dan ini (riwayat/kisah ini) mursal, dibawakan oleh Ibnu Ishaq tanpa sanad.

Dan Ibnu Sa’d meriwayatkannya dalam ath-Thabaqat (1/202) dari gurunya, yakni Muhammad bin ‘Umar al-Waqidi. Dan imam adz-Dzahabi juga menyebutkannya dalam kitabnya as-Sirah (hal 152) dari Ibnu Ishaq.

Faidah:

Ibnu Katsir rahimahullah berkata:”Terus menerusnya dia (Abu Thalib) di atas agama kaumnya adalah termasuk hikmah Allah Ta’ala, dan termasuk di antara penjagaan yang Dia lakukan untuk Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena seandainya Abu Thalib ketika itu masuk islam, maka tidak mungkin ia memiliki kewibawaan dan suara yang didengar di kalangan kaum musyrikin. Dan tidak mungkin mereka segan terhadapanya, dan menghormatinya, dan (jika dia masuk Islam) niscaya mereka akan berani terhadapnya, akan menjulurkan tangan dan lisannya dengan keburukan terhadapnya (maksudnya mengganggu dengan tangan dan ucapan). Dan Rabbmu menciptakan apa saja yang Dia kehendaki dan memilih (yang Dia kehendaki).” (al-Bidayah wa an-Nihayah 41)

Dan beliau (Ibnu Katsir) rahimahullah berkata di tempat lain di dalam kitabnya:”…Akan tetapi, sekalipun demikian (bantuan yang diberikan Abu Thalib kepada Nabi) Allah tidak mentakdirkan baginya (Abu Thalib) keimanan, dikarenakan hikmah-Nya yang agung dalam hal tersebut, dan hujjah yang tegas dan jelas yang wajib kita beriman dengannya dan menerima (pasrah) terhadapnya. Dan seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak melarang kita dari beristighfar (memintakan ampunan) untuk orang-orang musyrik, niscaya kami akan memintakan ampun untuk Abu Thalib dan memintakan rahmat untuknya.“

(Sumber:ما شاع ولم يثبت في السيرة النبوية hal. 32-33. Diterjemahkan dengan sedikit perubahan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)